April 19, 2024
iden

Menyoal Kisruh Pilkada Papua dan Papua Barat 2017

Tim Asistensi Divisi Pengawasan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Abdul Gofur, dalam diskusi “Kekerasan dalam Pilkada 2017 di Daerah Khusus” menyebutkan bahwa Pilkada Papua dan Papua Barat 2017 merupakan pilkada rawan yang patut diwaspadai. 11 kabupaten/kota di Papua, salah satunya adalah Tolikara, merupakan daerah yang dinilai sangat rawan. Di Puncak Jaya, pasangan calon (paslon) sering melibatkan kelompok sipil bersenjata dalam berkampanye, dengan tujuan mengintimidasi pemilih.

Di Papua Barat, tiga daerah, yakni Maybrat, Tambrauw, dan Sorong, merupakan daerah dengan potensi kekerasan baku botong atau saling bunuh. Peserta pemilu cenderung bergerak secara anarkis. Diharapkan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih), Bawaslu Papua Barat, dan pihak kepolisian memberlakukan pengamanan siaga satu pada hari pemungutan suara.

“Pengawas pemilu di Papua dan Papua Barat, ini adalah alert. IKP (Indeks Kerawanan Pemilu) yang kami susun adalah early warning system agar yang bertugas di lapangan dapat memaksimalkan pengawasan terhadap peserta pemilu,” kata Gofur.

Menanggapi IKP yang disusun oleh Bawaslu RI, Peneliti Papua Research Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Amirudin Al Rahab, menyatakan ketidaksetujuan pada perspektif yang mendasari perancangan IKP. Menurutnya, IKP dibangun dengan kegiatan “mencurigai perilaku pemilih sepanjang tahun”.

“Orang yang merancang IKP ini radalnya kurang tajam dalam menangkap gejala konflik,” tukas Amir.

Menurut Amir, konflik dalam konteks pemilu di Papua dan Papua Barat, atau di daerah mana pun yang terjadi konflik, disebabkan oleh tiga hal. Satu, suasana tidak kondusif yang diciptakan oleh para calon dan tak adanya teguran tegas oleh Panitia Pengawas (Panwas) dan Bawaslu sejak awal. Dua, aturan yang tidak disampaikan dengan jelas oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) provinsi dan kabupaten/kota, sehingga peserta dan pemilih menafsirkan peraturan sesuai pandangan masing-masing. Tiga, perilaku dan putusan penyelenggara pemilu yang tidak konsisten.

“Penting untuk bisa mencegah konflik, tapi yang lebih penting adalah meluruskan cara pandang terhadap konflik itu sendiri. Kerawanan yang terjadi di Papua dan Papua Barat adalah implikasi dari tiga hal pencetus konflik,” tegas Amir.

Masalah Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Papua Barat

Pada 28 Agustus 2016, ketika Rumah Pemilu menghubungi Ketua Bawaslu Papua Barat, Ishak Waramori, Ishak mengatakan bahwa di salah satu daerah terdapat Daftar Pemilih Sementara (DPS) yang jumlahnya lebih besar 300 persen dari jumlah penduduk. Namun, sayangnya, pada saat itu, Ishak tak dapat memeriksa DPS karena pihaknya belum menerima form Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) dari KPU RI dan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) belum terbentuk.

“Masyarakat kami bingung dan protes kenapa bisa jumlah pemilih lebih besar dari jumlah penduduk. Ada daerah yang jumlah pemilihnya lebih besar 300 persen dari jumlah penduduk di daerahnya. Nah, ini kami belum bisa bergerak karena sampai detik ini juga KPU RI belum menyerahkan DP4 kepada kami,” kata Ishak (28/10).

Menanggapi masalah daftar pemilih, Gofur mengatakan bahwa Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Maybrat dan Tambrauw selalu bermasalah. Di Pilkada Papua Barat 2017, penetapan DPT di kedua daerah tersebut ditunda. Semua pemilih yang tercatat dalam DP4, akhirnya dimasukkan ke DPT Pilkada 2017.

“Disdukcapil (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil) sudah mengeluarkan SK (Surat Keterangan). Ada SK yang ada fotonya, ada juga yang tidak. Yang ada foto, berarti sudah merekam KTP elektronik. Yang tidak ada foto, berarti belum merekam,” jelas Gofur.

Masalah DPT tak dapat dianggap remeh. Kecurangan yang terjadi dalam penghitungan suara seringkali memanfaatkan DPT yang jumlahnya melebihi jumlah pemilih asli. KPU Papua dan Papua Barat semestinya dapat mengantisipasi kecurangan yang berasal dari DPT dengan memutakhirkan DPT secara akurat.

Masalah Pengiriman Logistik

Amir menjelaskan satu hal menarik mengenai realitas pengadaan logistik pemilu di Papua dan Papua Barat. “Sejak Papua bergabung dengan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), logistik adalah permasalahan pokok, dan ini masih jadi persoalan hingga saat ini,” kata Amir.

Pengiriman logistik ke seluruh kelurahan di Papua dan Papua Barat mesti diawasi dan dipastikan. Pasalnya, curah hujan di kedua provinsi pada bulan Februari sangat tinggi, sehingga pengiriman logistik dikhawatirkan terlambat atau bahkan tak dapat sampai ke lokasi pemungutan suara.

Di pilkada sebelumnya, di beberapa lokasi di Papua, logistik hanya dapat menjangkau kelurahan, tidak sampai ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Akibatnya, pemilih tak dapat memberikan hak suara sehingga diberlakukan sistem noken secara tak resmi: KPU memanggil perwakilan pemilih untuk mencoblos di kelurahan.

“Kelurahannya jauh dari TPS-TPS. Akhirnya orang yang dipanggil ke sana. Apakah semua pemilih yang disuruh datang ke TPS yang jauh itu? Ya perwakilan,” kata Amir.

Sistem noken menjadi anomali dari sistem demokrasi yang menghendaki setiap individu untuk memberikan suara secara rahasia. Namun, ironisnya, sistem noken di Papua tetap terjadi akibat penyelenggara pemilu yang tak mampu menembus daerah-daerah  yang sulit dijangkau untuk mengirimkan logistik.

“Sistem noken ini diwajarkan oleh KPU karna KPU gak bisa menembus pembagian logistik ke wilayah-wilayah yang sulit dijangkau. Jangan salahkan masyarakat, tanyakan kesiapan penyelenggara,” kata Amir.

Penyelenggara Pemilu di Papua dan Papua Barat Mesti Kompeten dan Konsisten

Kerawanan yang terjadi di pilkada Papua dan Papua Barat disebabkan oleh minimnya kompetensi dan lemahnya konsistensi penyelenggara pemilu dalam memberlakukan aturan main kepada para peserta pemilu. Semestinya, penyelenggara pemilu dapat memberikan jaminan kepastian hukum, agar peserta tak menafsirkan peraturan secara sepihak.

Permasalahan pilkada di daerah-daerah rawan ini mesti menjadi perhatian penyelenggara pemilu tingkat pusat yang akan terpilih nanti. Memastikan semua jajaran penyelenggara pemilu dari tingkat provinsi hingga kabupaten kota agar memiliki kompetensi yang paling baik, berintegritas, dan konsisten adalah mutlak diperlukan.

Amir menyimpulkan, “Apabila tata laksana peraturan pilkada tidak konsisten dan penyelenggara pemilu tidak kompeten, jangankan di Papua, Banten saja bisa berkelahi dan rawan.”