August 8, 2024

Menyoal Partisipasi Pemilih

Pelaksanaan pemilu legislatif tinggal menghitung bulan menuju pencoblosan 9 April 2014. Dari sekian banyak isu yang menjadi wacana dan perdebatan, partisipasi pemilih kurang mendapatkan perhatian memadai. Tingkat partisipasi pemilih, seharusnya menjadi salah satu indikator penting, sejauh mana respon pemilih terhadap pemilu.

Data partisipasi pemilih pada tiga kali pemilu legislatif menunjukkan kecenderungan penurunan. Dari angka 92,99 persen di Pemilu 1999, turun menjadi 84,07 persen pada Pemilu 2004. Lalu, terus turun pada angka 70,99 persen di Pemilu 2009.

Tingkat partisipasi pada pemilu legislatif juga tidak berbeda jauh jika diperbandingkan dengan data pilkada di 11 provinsi dalam kurun waktu 2012-2013. Mulai dari Papua Barat, NAD, Sulawesi Barat, Bangka Belitung, Banten, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Papua, Jawa Barat, dan terakhir Sumatera Utara. Secara rata-rata tingkat partisipasi berada pada angka 68,82 persen.

Suara Tidak Sah

Data lain yang terungkap dari tiga kali pelaksanaan pemilu legislatif maupun 11 data pilkada gubernur, adalah peningkatan jumlah suara tidak sah. Suara tidak sah, berkaitan erat dengan mekanisme dan tata cara pemberian suara. Semakin meningkat jumlahnya, dapat dikatakan pemilu semakin rumit atau bahkan makin tidak ramah bagi pemilih.

Pada tiga kali pemilu legislatif jumlah suara tidak sah secara konsisten terus mengalami peningkatan. Diawali pada angka 3,33 persen di Pemilu 1999, naik menjadi 9,66 persen pada Pemilu 2004, dan melonjak pada angka 14,43 persen di Pemilu 2009. Persentase pada pemilu terakhir setara dengan 14 juta lebih suara pemilih.

Jumlah suara tidak sah pada 11 data pilkada gubernur sendiri secara rata-rata berada pada kisaran angka 4,10 persen. Angka ini relatif kecil dan dapat dipahami, karena mekanisme pemberian suara pilkada lebih sederhana dibandingkan pemilu legislatif. Namun jika diperhatikan data dua provinsi, yaitu Sulawesi Barat dan Papua menunjukkan angka 14,44 dan 14,47 persen. Jumlah yang tidak kecil, meski tata cara pemberian suara yang jauh lebih sederhana.

Tidak Menggunakan Hak Pilih

Jumlah pemilih terdaftar yang tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu legislatif  atau kerap disebut ‘golput’ juga terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Diawali dengan angka 7,01 persen Pemilu 1999, meningkat menjadi 15,93 persen pada Pemilu 2004, dan kemudian naik hampir dua kali lipat menjadi 29,01 persen pada Pemilu 2009 lalu. Angka 29 persen ini setara dengan 49,7 juta pemilih dari total 171 juta pemilih terdaftar.

Sedangkan data 11 pilkada provinsi, secara rata-rata berada pada kisaran angka 31,18 persen. Jumlah yang tidak jauh berbeda antara pemilu legislatif terakhir dengan rata-rata pilkada gubernur.

Untuk pilkada provinsi, rekor tertinggi ‘golput’ terjadi di Provinsi Sumatera Utara dengan angka 51,42 persen atau setara 5,2 juta pemilih terdaftar. Kemudian berturut-turut Papua Barat 46,61 persen, Bangka Belitung 38,15 persen, Banten 37,62 persen, dan Sulawesi Selatan 36,27 persen. Sedangkan untuk Provinsi Jawa Barat berada pada angka 36,34 persen atau setara 11,8 juta pemilih terdaftar.

Catatan akhir

Dari beberapa data dan kecenderungan yang tersaji di atas, tentu memunculkan pertanyaan lebih lanjut. Apakah tingkat partisipasi pemilih Pemilu 2014 mengalami peningkatan, berada pada kisaran yang sama, atau bahkan mengalami penurunan. Hal ini akan diuji dengan target yang telah dicanangkan KPU pada pemilu mendatang, yaitu meningkatkan partisipasi pemilih hingga 75 persen.

Mengenai kecenderungan peningkatan jumlah suara tidak sah, hendaknya diperhatikan semua pihak, karena ini menjadi tanggung jawab kita bersama. Dari sisi penyelenggara, perlu ada penjelasan mengenai penyebab peningkatan jumlah suara tidak sah. Apakah kerumitan dalam hal tata cara pemberian suara, ataukah faktor-faktor lain. Sebagai catatan, data sensus penduduk BPS 2010 menyatakan tingkat melek huruf pada angka yang cukup tinggi sekitar 92,58 persen.

Pada Pemilu 2014 mendatang, dialokasikan kurang lebih 14 trilyun anggaran negara. Suatu angka yang cukup fantastis. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab bersama baik penyelenggara, pemerintah, partai politik, dan organisasi non-pemerintah untuk dapat bekerjasama dalam rangka mengembangkan berbagai aktifitas yang dapat merangsang pemilih lebih tertarik kepada pemilu.

Khusus untuk administrasi pemilu dalam hal ini KPU, akan sangat bermanfaat jika dalam daftar pemilih memuat klasifikasi gender dan pemilih berkebutuhan khusus (disabilitas). Klasifikasi tersebut hendaknya juga diterapkan dalam pencatatan bagi pemilih terdaftar yang tidak menggunakan hak pilihnya.

Sepintas penyajian data ini terkesan hanya sederet angka-angka. Namun sesungguhnya ada makna tersembunyi di balik angka-angka tersebut. Sudah saatnya aktor-aktor pemilu mengungkap makna di sederetan angka-angka itu. []

AUGUST MELLAZ
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)