August 8, 2024

Menyoal Sistem Penegakan Hukum Politik Uang

Fenomena politik uang menyebar sangat cepat dan menggejala hampir di seluruh wiayah Indonesia. Menjelang pemilu, politik uang dapat dilihat pada berbagai level pemilihan, mulai dari Pilpres, Pileg DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kab/Kota, Pilkada, hingga Pemilihan Kepala Desa.

Praktik politik uang sangat buruk lantaran berdampak negatif dengan menggeser adu gagasan menjadi adu finansial. Dengan memberikan uang atau barang kepada pemilih, si penerima bisa menentukan pilihan berdasar pertimbangan siapa yang memberi. Akhirnya pilihan seorang pemilih yang harusnya berdasarkan preferensi, gagasan, serta rekam jejak para kandidat, berpindah menjadi pertarungan uang.

Negara transisi

Kontestasi pemilu yang menjadi inang politik uang, merupakan sarana kedaulatan rakyat yang sangat penting. Sebab, pascaperang dingin dan runtuhnya komunisme, membuat banyak negara mulai meninggalkan otoritarianisme dan beralih pada demokrasi yang humanistik. Seolah, negara-negara yang baru selesai bergulat dengan otoritarianisme, berbondong-bondong mengajukan demokrasi sebagai pegangan dengan berbagai alasan. Konon, bila mengelak dari gelombang  demokrasi, negara bisa dikucilkan dari dunia internasional, serta diancam dengan embargo, intervensi militer, coup de etat, dan persoalan lainnya.

Salah satu pengejawantahan demokrasi yang paling penting adalah pemilu, yang menggambarkan kedaulatan rakyat seluas-luasnya. Menurut Abdul Gaffar Karim (2008), pemilu menjadi token of membership bagi seluruh negara agar diakui sebagai negara yang demokratis. Tak ada alternatif lain untuk masuk dalam “klub demokrasi”.

Pemilu menjadi salah satu ornamen paling penting dalam modernitas politik semenjak demokrasi dan manifestasi proseduralnya menjadi pilihan nyaris tunggal (Karim, 2008). Namun begitu, walaupun terkesan positif, transisi demokrasi negara-negara dunia ketiga nyatanya cukup problematik

Transisi ini mengalami turbulensi cukup parah, akibat ketaksiapan suatu negara. Hal ini terlihat dari banyaknya negara demokrasi baru, yang hanya memenuhi standard minimal demokrasi elektoral berdasarkan keberhasilannya menyelenggarakan pemilu. Paradigma “token of membership” kemudian membuat banyak negara demokrasi baru, melihat pemilu sebagai syarat satu-satunya demokrasi.

Hingga hari ini, ada 90% lebih negara di dunia yang menyelenggarakan pemilu multipartai yang kompetitif (Van Ham dan Lindberg, 2015). Namun, persoalan-persoalan nondemokratik semacam pelanggaran HAM, Korupsi, dan lainnya, masih menghantui negara-negara tersebut. Parahnya lagi, free and fair election yang prinsipil dalam pemilu, juga banyak dilanggar dengan berbagai perbuatan, misalnya politik uang.

Studi Jensen dan Justesen (2014), menyebutkan praktik politik uang dengan pertukaran keuntungan materil dengan maksud mendapatkan suara, kerapkali dijumpai pada negara demokrasi baru. Ini disebabkan menjamurnya partai politik baru. Fase sebelumnya rezim otoriter merepresi, mengaburkan identitas politik partai.

Hal itu juga terjadi di Indonesia pasca-Reformasi hingga hari ini. Ramainya partai politik namun niridentitas membuat publik kebingungan untuk mengdentifikasi mereka sehingga tak memiliki pilihan pasti. Ditambah lagi sistem pemilu proporsional terbuka yang diterapkan Indonesia, menitikberatkan peran calon legislatif (caleg) dan memaksa mereka menghasilkan “personal vote” berdasarkan ketokohannya dari kampanye berbasis partai. Alhasil, para caleg agar lebih menonjol di internal partai, terperangkap dalam lingkaran setan politik uang (Muhtadi, 2020).

Praktik politik uang kemudian berdampak pada kualitas pemilu dan kandidat-kandidat yang dihasilkan. Jual beli suara sebagai bagian fenomena politik uang, turut membengkakkan dana politik untuk pemenangan kandidat, dengan menganggarkan sejumlah dana untuk dibagi-bagikan kepada pemilih.

Politik uang juga terjadi dalam pengusungan kandidat oleh partai. Kandidat harus mengeluarkan sejumlah dana untuk mahar meminang partai. Menurut ICW (2018), vote buying dan nomination buying, mengakibatkan politik berbiaya tinggi dan melahirkan korupsi untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan. Selain itu, pertarungan uang yang tak sehat juga tercipta akibat politik berbiaya tinggi, serta menutup kesempatan setiap kandidat untuk terpilih tanpa berdasarkan kekuatan finansialnya.

Sistem penegakan hukum tak memadai

Bila merujuk UU 7/2017 tentang Pemilu, politik uang merupakan perbuatan yang diharamkan. Pada Pasal 515 dijelaskan bahwa setiap orang yang memberikan atau menjanjikan uang atau materi lainnya agar pemilih tak menggunakan hak pilih atau memilih peserta pemilu tertentu, dipidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp 36 Juta. Karenanya, Bawaslu diamanatkan undang-undang untuk memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran politik uang.

Untuk mempermudah penanganan praktik politik uang yang masuk dalam ranah pidana, dibentuk Sentra Gakkumdu sebagai sarana koordinasi antara Bawaslu, Polri, dan Kejagung. Gakkumdu melekat pada Bawaslu, sehingga selain sarana koordinasi, juga menjadi sarana penanganan tindak pidana.

Gakkumdu menangani pidana pemilu dengan menggunakan penyidik yang berasal dari Polri dan penuntut umum dari Kejagung. Mekanismenya sama dengan penanganan tindak pidana lainnya.

Ketentuan itu juga diadopsi pada UU 10/2016 tentang Pilkada. Dalam ketentuannya menjelaskan, Gakkumdu melakukan penyidikan dan penyelidikan setelah mendapatkan laporan dari Bawaslu.

Namun, rekayasa institusional yang ada pun tak mampu mengatasi praktik politik uang. Ternyata, institusi-institusi kepemiluan tersebut tak dioperasikan dengan baik. Bahkan, mungkin ada di antaranya menyertakan praktik main mata antara operator dengan peserta pemilihan.

Penanganan praktik politik uang belum selesai digambarkan dengan banyaknya dalil politik uang yang masuk dalam permohonan Perselisihan Pemilu/Pilkada di MK. Namun banyak permohonan yang gugur akibat ambang batas menyebabkan dalil-dalil praktik politik uang tak terbukti. Dari 100 permohonan yang gugur di tengah jalan Pada PHPKada 2020 di MK, terdapat 39 permohonan yang mendalilkan politik uang. Pada permohonan yang dilanjutkan Mahkamah, hampir semua mendalilkan politik uang, namun semua permohonan dengan dalil politik uang ditolak Mahkamah.

Di sini problem politik uang dimulai. Penanganan praktik politik uang di daerah tak memberikan kepuasan pada pelapor, membuat pelapor yang merasa dicurangi lalu membawa persoalan ini kepada MK.

MK harusnya memahami, permohonan perselisihan hasil pemilihan adalah perkara yang belum selesai di ranah penyelenggara seperti Gakkumdu dan Bawaslu. Capaian ini tak memberikan putusan memuaskan bagi para pihak. Namun, Mahkamah lebih memilih untuk mengenyampingkan dalil-dalil politik uang beserta dalil sejenis yang menjadi pelanggaran prapemilihan.

Paradigma “perselisihan hasil suara” masih menguasai dasar putusan, sehingga dalil-dalil semacam politik uang, sangat sulit dibuktikan bila berdasar pada pengaruhnya terhadap perolehan suara masing-masing peserta pemilu. Dalam dalil ini, Mahkamah biasanya menyandingkan dalil dan bukti-bukti pemohon dengan pernyataan Bawaslu, bahkan bobot pembuktian pemohon sangat mudah dipatahkan oleh keterangan Bawaslu.

Setelahnya, Mahkamah menjelaskan dalam pertimbangan hukumnya, dengan berpatokan pada pernyataan Bawaslu seperti pelanggaran tersebut tak masuk ranah pidana, objek kabur, pelapor tak memiliki kedudukan hukum, dan alasan lainnya. Atas dasar putusan dan pernyataan Bawaslu tadi, Mahkamah kemudian menyatakan dalil politik uang tak beralasan menurut hukum. Tak jarang, Mahkamah juga menyatakan bahwa bila telah terjadi praktik politik uang, namun belum bisa dibuktikan bagaimana pengaruhnya terhadap perolehan suara. Sungguh aneh.

Sistem keadilan pemilu kita, secara institusional bisa dikatakan sangat memadai, terutama dalam menindak para pelaku politik uang. Namun, komitmen dari para operator baik di Bawaslu, Gakkumdu, hingga Mahkamah Konstitusi, masih patut dipertanyakan. Pertanyaan dan keraguan tentu muncul setelah melihat bagaimana cara institusi-institusi tersebut menangani persoalan politik uang.

Di sisi lain, para pelaku praktik politik uang malah bersuka ria karena tak terbukti. Ketakmampuan mereka dalam menggaet publik lewat visi-misi, kemudian mengalihkan mereka pada uang yang praktis dan instan dalam merengkuh suara. Akhirnya, pemilu kita terjebak pada lingkaran setan politik uang, dan demokrasi semu masih terus diterapkan. []

KAHFI ADLAN HAFIZ

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)