November 15, 2024

Merawat Toleransi dalam Demokrasi NTT

Demokrasi yang tidak dibarengi toleransi, jika dibiarkan berkembang secara perlahan namun pasti akan membunuh demokrasi itu sendiri. Karena pada saat otoritas pemerintah tak lagi dihiraukan, dan hak-hak orang lain diabaikan, maka pada saat itulah demokrasi mati. Itulah sebabnya mengapa toleransi, menurut Robert Putnamm menjadi modal sosial yang teramat penting bagi demokrasi. Bahkan, Habermas (2004) melihat bahwa toleransi dalam kehidupan beragama dipandang sebagai “alat pacu jantung” bagi multikulturalisme modern di mana demokrasi bertumbuh subur. Bagaimana merawat toleransi dalam demokrasi di NTT?

Pada tahun 2019 terdapat 7 provinsi kategori kualitas capaiannya “baik”, yaitu DKI Jakarta (88.29), Kalimantan Utara (83.45), Kepri (81.64) Bali (81.38), Kalteng (81.16), Nusa Tenggara Timur (81.02), dan DI Yogyakarta (80.67). Di luar tujuh provinsi ini, 26 provinsi menunjukkan capaian kondisi demokrasi  dalam kategori “sedang”, dan satu provinsi dengan kategori capaian “buruk”.  Banyaknya provinsi dengan capaian sedang ini mengukuhkan kesimpulan statistik bahwa demokrasi Indonesia berada dalam kualitas “sedang”. Capaian terendah pada tahun 2019 ini diperoleh Provinsi Papua Barat dengan capaian sebesar 57.62poin, sementara capaian tertinggi diperoleh oleh Provinsi DKI Jakarta dengan capaian sebesar 88.29 poin.

Intoleransi dalam konteks Pemilu dipicu oleh politisasi isu SARA. Bahkan reproduksi isu SARA saat pemilu terus berlanjut pascapemilu. Sementara dalam pengaturan regulasinya penggunaan isu SARA diatur dalam Pasal 280 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menggariskan pelaksana, peserta, dan tim kampanye dilarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau peserta pemilu yang lain.

Berdasarkan kewenangannya, Bawaslu melakukan pencegahan agar tidak terjadi pelanggaran pemilu/pemilihan, melakukan pengawasan, melakukan penindakan atas pelanggaran dan menyelesaikan Sengketa Proses Pemilu. Dalam kerangka pencegahan Bawaslu bersama jajarannya melakukan Kampanye Tolak Politisasi SARA secara masif. Bawaslu juga bekerja sama dengan semua pemanggku kepentingan institusi demokrasi seperti organisasi kemahasiswaan, organisasi keagamaan seperti KWI, MUI, PGI, PHDI, WALUBI, Pemuda Katolik, Pemuda Kristen, Remaja Masjid, Pemuda Hindu dan Budha, agar ikut serta mengkampanyekan tolak Politisasi SARA melalui mimbar-mimbar keagamaan dengan materi sosialisasi yang disusun Bawaslu bersama semua organisasi keagamaan dalam bentuk buku panduan bersama materi kampanye tolak Politisasi SARA.

Dalam konteks pengawasan, Bawaslu melakukan pengawasan secara langsung di masa kampanye terkait konten kampanye agar tidak mengandung isu SARA yang bisa memicu praktek intoleransi. Aturan isu SARA seharusnya tidak hanya mencakup soal larangan penggunaan isu tersebut dalam kampanye. Definisi politisasi SARA dalam aturan itu harus jelas agar isu tersebut tak disalahgunakan  untuk memecah belah.

Sayangnya, salah satu isu yang paling sulit diusut dalam Pemilu adalah isu SARA. UU Pemilu hanya dapat menindak pelanggaran isu SARA yang dilakukan pada masa kampanye saja. Padahal, pelanggaran isu SARA kerap dilakukan di luar masa kampanye. UU Pemilu hanya dapat menjangkau perbuatan atau tindakan seseorang terkait politisasi SARA di masa kampanye saja. Padahal kita ketahui, seringkali Politisasi SARA dilakukan bukan di masa kampanye tapi di saat minggu tenang, pemungutan suara, rekapitulasi, dan sebagainya.  Sehingga yang terjadi di luar kampanye sulit diatur apalagi ditindak. Hal lain yang menjadi kesulitan adalah sulitnya membedakan konten ujaran kebencian atau hoaks. Untuk membuktikan itu, Bawaslu pun harus meminta pendapat ahli. Tantangan lainnya adalah proses pembuktian pelanggaran yang panjang. Karena itu Bawaslu harus merancang strategi pencegahan secara simultan.

Saat ini, indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) yang ditetapkan oleh  Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI menempatkan NTT pada urutan ke dua setelah Papua Barat dengan nilai KUB sebesar 81,1 (Warta Ekonomi, 2019) angka ini juga berarti bahwa nilai KUB NTT berada di level sangat tinggi (Kompas, 2019). Tingginya indeks KUB di NTT dengan toleransi sebagai variabelnya adalah sebuah anomali, mengingat NTT adalah salah satu provinsi termiskin di Indonesia (Gatra, 2019) dengan rasio di atas 0,35 (Kata Data, 2019).

Selain kemiskinan dan ketimpangan ekonomi, segresi di wilayah politik juga sangat keras terjadi di NTT, di mana, saat ini area politik hanya dikuasai oleh sekelompok orang yang datang dari kelompok tuan tanah, bangsawan, dan pensiunan  birokrat (Resosudarmo & Jotzo, 2009). Perpaduan ketimpangan dari sisi ekonomi dan politik ini selanjutnya dapat juga kita lihat sebagai sebab mendasar terjadinya migrasi masyarakat NTT ke luar negeri yang memakan banyak korban dalam rentang satu dekade    terakhir (Barlow & Gondowarsito, 2009; Li, 2018).

Di tengah fenomena kemiskinan, masyarakat NTT semakin toleran. Setidaknya ada dua hal yang melatarbelakangi warga NTT semakin toleran di tengah meluasnya ketimpangan ekonomi dan politik. Pertama, ada pendekatan budaya yang begitu kuat. Pendekatan budaya dapat  dilihat dari pola relasi kehidupan sosial. Secara umum ada banyak suku di NTT yang membuat budaya masyarakatnya begitu kompleks, sangat beragam, dan dapat mempengaruhi cara hidup.

Namun, di tengah kompleksitas dan keberagaman itu, ada satu ciri budaya yang sama yaitu kebersamaan, gotong royong dan penerimaan yang terus digelorakan dalam kehidupan keseharian masyarakat. Pengaruh kuat budaya positif ini terinfiltrasi dengan baik ke dalam laku hidup dan menjadi payung bagi seluruh aktivitas sosial termasuk terinkulturasi dalam praktik keagamaan. Contoh di Ruteng-Manggarai, dalam satu wilayah terdapat penganut agama Kristen Protestan, Islam, Hindu dan Katolik tetapi dalam relasi kehidupan sosial nyaris tidak terdapat gesekan sejak kelompok ini terbentuk. Hal ini terjadi karena orang-orang di tempat ini masih tekun menjalankan praktik budaya yang sama, sebagai misal, jika terjadi kedukaan ada kelompok yang disebut “ase kae kelompok” lintas agama yang akan hadir bersama-sama untuk  membantu keluarga yang berduka.

Kedua, ada upaya pembangunan ekonomi berbasis Lembaga Keuangan Mikro. Selain budaya, faktor lain yang juga bisa dilihat sebagai alasan mengapa sikap toleransi dapat berkembang di tengah masyarakat multikultural dengan ketimpangan ekonomi dan politik semacam NTT adalah pembangunan ekonomi. Di tengah kemiskinan selalu ada inisiatif bersama untuk saling membantu, khususnya masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah melalui pendirian Lembaga Keuangan Mikro (LKM) semacam koperasi. Hal ini dibuktikan  dengan data jumlah koperasi di NTT sebanyak 2.734 koperasi dan diprediksi akan terus meningkat di tahun mendatang (Depkok, 2020).

Sementara kita tahu bahwa ketimpangan pendapatan menjadi semacam jebakan bagi orang-orang untuk terus berperilaku intoleran. Kondisi ini didukung oleh laporan Harvard Business Review (2019) yang mengungkapkan bahwa semakin tinggi ketimpangan pendapatan dalam masyarakat, maka semakin sulit bagi seseorang untuk pindah ke luar kelas pendapatan tempat ia hidup. Variabel ekonomi dan politik sebagai penyebab kasus intoleransi yang tergambar dalam berbagai  laporan sudah sungguh mencemaskan, terutama jika dikaitkan dengan kondisi kita hari-hari ini. Ada sebuah kemendesakan untuk menghadirkan upaya pengembangan prilaku toleran di tengah masyarakat sebagai langkah fundamental dalam memperkuat kebhinekaan dan merajut perdamaian.

Untuk memulai niat baik ini, agaknya kita memerlukan gagasan berbasis bukti sebagai panduan   penting untuk bisa dianalisis dan dikembangkan lebih jauh. Setidaknya pendekatan berbasis pengalaman dalam upaya mengembangkan perilaku toleransi sejauh ini berhasil dilakukan di NTT.

Selain itu, memburuknya kualitas demokrasi selama pandemi perlu mendapat perhatian serius semua kalangan. Upaya-upaya perbaikan harus dilakukan, misalnya dengan memperkuat peran kelompok-kelompok masyarakat sipil dalam pengawasan dan pembatasan terhadap kekuasaan negara. Program-program berbasis komunitas yang menguatkan kohesi sosial dan solidaritas perlu didorong untuk mengurangi meningkatnya eksklusivitas kelompok di masyarakat selama pandemi. Oleh karenanya, inisiatif-inisiatif berbasis komunitas ini harus terus didorong dan difasilitasi untuk memperkuat kembali kohesi sosial di tengah masyarakat. Penguatan kembali kontranarasi harus dilakukan.

Demokrasi bukan sesuatu yang terberi. Demokrasi harus terus diperjuangkan dan dirawat dalam kehidupan bersama sebagai sebuah bangsa. Karena itu, Bawaslu sebagai sebuah institusi demokrasi perlu mendorong program-program kontranarasi untuk memutus isu SARA yang potensial melemahkan demokrasi dan toleransi. Penguatan kapasitas  institusi demokrasi dan konsolidasi aktor pro demokrasi harus terus dilakukan sebagai bentuk aksi nyata mendorong peningkatan penghargaan terhadap nilai-nilai demokrasi dan  toleransi, karena intoleransi adalah pembunuh demokrasi. []

FORTUNATUS HAMSAH MANAH

Anggota Bawaslu Kabupaten Manggarai Provinsi NTT