August 8, 2024

Merebut Hak Politik Perempuan melalui RUU Pemilu

Sekitar seratus tahun yang lalu, Kartini berkata di dalam suratnya, “Pergilah, laksanakan cita-citamu. Bekerjalah untuk hari depan. Bekerjalah untuk kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas di bawah hukum yang tidak adil dan paham-paham palsu tentang mana yang baik dan mana yang jahat. Pergi! Pergilah! Berjuang dan menderitalah, tetapi bekerja untuk kepentingan yang abadi.”

Surat tersebut dibacakan oleh Ketua Umum Kaukasus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), Dwi Septiawati, pada diskusi “Kartini Bicara Pemilu” di Senayan, Jakarta Selatan (20/4). Septi mengatakan bahwa perempuan harus meneruskan semangat dan perjuangan Kartini, yakni menuntut hak akses terhadap ruang publik. Pada hari ini, perempuan mesti merebut kepemimpinan publik dan kepemimpinan negara sebagai bagian dari pembuat kebijakan.

“Hadirnya perempuan dalam pentas politik akan mempengaruhi pembuatan kebijakan dan keputusan. Perempuan harus berperan menyokong negara sebagai mitra laki-laki. Oleh karena itu, keterwakilan perempuan sebesar 30 persen harus benar-benar dijamin oleh RUU (Rancangan Undang-Undang) Pemilu,” ujar Septi.

Kemudian, Septi menjelaskan bahwa KPPI akan berupaya menyiapkan perempuan politik yang berkualitas dan berkarakter untuk memenuhi kebutuhan kepemimpinan perempuan di ruang publik. KPPI akan menjalankan program pemberdayaan individu dan keluarga, serta membangun lingkungan masyarakat yang ramah pada kepemimpinan perempuan.

“Jadi, selain individunya, kami juga akan mendorong agar keluarga bisa menjadi supporting system, bukan penghalang. Masyarakat selaku voter juga harus diubah perilakunya dari pragmatis menjadi pro perempuan,” kata Septi.

KPPI meminta kepada Panitia khusus (Pansus) RUU Pemilu untuk memasukkan lima aturan sebagai bukti political will negara dalam memberikan afirmasi politik perempuan. Satu, perempuan calon legislatif (caleg) ditempatkan di nomor urut satu di minimal 30 persen daerah pemilihan (dapil). Dua, syarat yang mengharuskan agar caleg berpartisipasi di partai minimal tiga tahun.  Tiga, apabila terdapat caleg dengan perolehan suara sama, penetapan calon terpilih mengutamakan perempuan. Empat, dukungan finansial untuk perempuan caleg dan saksi partai dari Pemerintah. Lima, tersedianya pusat pengaduan pemilu dengan desk khusus dan hotline service untuk perempuan caleg di Sentra Penegakkan Hukum Terpadu (Gakkumdu).

“Sudah saatnya kita katakan stop pada upaya-upaya parsial, sektoral, dan tidak terencana dengan baik. Pansus RUU Pemilu harus membuktikan kepada publik bahwa dalam penyusunan UU, aspirasi publik didengarkan dan dimasukkan,” tutup Septi.

Terdapat tujuh provinsi yang belum memiliki wakil perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, dua puluh dua kabupaten/kota yang belum memiliki wakil perempuan di DPR Daerah (DPRD), dan sebelas provinsi yang belum memiliki anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) perempuan.

Perempuan telah menyuarakan aspirasinya kepada Pansus RUU Pemilu dalam rangka menagih janji kemerdekaan. Pansus tak boleh menunda hak warga negara.