Perhelatan pilkada sudah menggeliat. Masa kampanye sudah berjalan separuh waktu. Pemungutan suara tinggal menghitung hari. Meski tampak adem-ayem, pilkada tetap saja menyimpan bara dalam sekam. Berbagai isu kampanye bisa menjelma prahara. Salah satu yang akan mudah tersulut adalah masalah agama. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, bangsa Indonesia memandang agama sebagai hal yang utama. Benar bahwa mayoritas umat beragama terdiri atas kelompok moderat. Tetapi, dengan orientasi teologi dan ibadah yang begitu kuat, karakter keberagamaan lebih cenderung eksklusif. Sentimen agama mudah tersulut.
Contoh aktual adalah aksi massa 411 dan 212 yang terjadi menjelang Pilkada DKI Jakarta. Aksi yang menaklukkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tersebut didukung oleh hampir seluruh unsur umat Islam termasuk dari kalangan moderat.
Kedua, bangsa Indonesia belum memiliki fondasi multikulruralisme dan pluralisme yang otentik dan kokoh. Prasyarat substantif bagi terbangunnya kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan yang ideal belum terbentuk (Setara, 2018). Oleh karenanya, menurunnya angka kekerasan keagamaan tak linear dengan Indeks Kerukunan Umat Beragama (IKUB).
Pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan tercatat 151 peristiwa dan 201 tindakan tahun 2017. Angka ini lebih rendah dibandingkan 2016 masing-masing 2.018 peristiwa dan 270 tindakan. IKUB turun dari 75,36 (2015), 75,47 (2016) dan 72, 27 (2017). Menurunnya IKUB tahun 2017 dipengaruhi oleh pilkada yang sudah memanas di beberapa daerah (Balitbang Kemenag, 2018).
Ketiga, sistem politik yang terbuka dan relasi antara agama dengan negara. Sesuai dengan Dasar Negara Pancasila, Indonesia adalah negara yang religius. Meskipun tidak berdasarkan atas agama tertentu, negara menjamin kebebasan beragama. Menurut Davie (2016) sistem politik Indonesia dapat menumbuhkembangkan iklim kebebasan berbicara, beragama, dan berkeyakinan serta HAM. Akan tetapi, kurangnya koherensi pemahaman atas HAM dapat mengancam kohesi sosial.
Rentan politisasi
Sangat sulit memisahkan agama dalam pilkada. Dalam beberapa bulan terakhir gejala politisasi agama kian terlihat. Isu-isu seperti PKI, partai setan, dan aliran sesat mulai mengemuka. Selain program-program populis seperti pendidikan dan kesehatan gratis, populisme agama juga jadi tema primadona. Banyak calon gubernur/bupati/walikota mengangkat program pembangunan tempat ibadah, santunan duafa (fakir, miskin, yatim-piatu, janda, dan lain-lain), tunjangan guru agama, layanan kematian, dan sejenisnya.
Beberapa kandidat bahkan secara terbuka menyatakan dukungan kepada kelompok agama tertentu dan akan meniadakan kelompok lainnya, khususnya kaum minoritas.
Pengalaman pilkada di beberapa tempat menunjukkan kaum minoritas agama menjadi kelompok yang sangat rentan dan terancam. Karena berkaitan dengan keyakinan, eksistensi kaum minoritas agama dianggap lebih “berbahaya” dibandingkan dengan minoritas etnis atau suku. Kaum minoritas sering dianggap sebagai kelompok sesat, sinkretik, dan “predator” yang mengganggu, mengancam dan mencemari keyakinan kaum mayoritas. Ibarat pelanduk, kaum minoritas terimpit di tengah pertarungan para gajah.
Menurut penelitian Setara (2018), terdapat 20 bentuk kekerasan keagamaan. Lebih dari 50 persen terkait dengan kaum minoritas seperti intoleransi, penyesatan ajaran, pemaksaan keyakinan, pengusiran, ancaman terhadap anak-anak, diskriminasi pelayanan publik, intimidasi, penolakan pendirian tempat ibadah, pelarangan kegiatan ilmiah, intimidasi, perusakan rumah.
Dalam sistem politik Indonesia yang menganut demokrasi mayoritas, eksistensi kaum minoritas semakin tidak diperhitungkan. Dengan jumlah yang sedikit, kaum minoritas dipandang tidak memberikan dukungan signifikan. Demokrasi mayoritas (majoritarian democracy) meniscayakan keberpihakan kepada kelompok mayoritas yang menentukan kemenangan.
Kelompok mayoritas bahkan bisa tampil menjadi kelompok yang menekan dan mendikte kekuasaan (Conversi, 2011). Akibat dari sistem politik liberal, kaum minoritas menjadi nihil di tengah mayoritas yang menggurita (the winners take all). Sistem politik yang demikian itu tidak sehat bagi demokrasi dan persatuan bangsa.
Inklusi dan integrasi
Bangsa Indonesia telah bersepakat memilih demokrasi sebagai sistem seleksi kepemimpinan nasional dan lokal. Spirit dan nilai demokrasi meniscayakan toleransi, akomodasi, dan integrasi sosial atas dasar persamaan antar manusia. Makna fundamental Bhinneka Tunggal Ika adalah inklusi bagi setiap warga negara apapun agamanya.
Keberagaman adalah semen yang memperkokoh persatuan. Kemajemukan adalah modal sosial yang mengangkat marwah bangsa. Integrasi dan inklusi adalah prasyarat persatuan yang merupakan ajaran universal agama. Islam, misalnya, mengajarkan agar manusia saling menghormati, menerima, dan bekerjasama dengan semua kelompok termasuk kaum minoritas (Zanjani, 1997).
Sangat disayangkan, gegap-gempita pilkada alpa dari isu perlindungan kaum minoritas. Nyaris tidak ada yang berani menyuarakan hak-hak beragama, sebagai hak asasi manusia dan hak sipil warga negara. Tak terdengar suara mereka yang melakukan advokasi atas kaum minoritas yang terancam jiwanya dan terampas kebebasannya. Jika ambisi menang dan berkuasa sudah meraja, membela kaum minoritas tak ubahnya hara-kiri.
Betapapun kecil, kaum minoritas tetap merupakan bagian dari bangsa Indonesia. Eksistensi mereka harus diakui dan dilindungi. Diperlukan kesatria demokrasi yang berani memperjuangkan mereka. Secara matematis, mereka akan kalah. Tetapi, dalam konteks kemanusiaan, mereka adalah pemenang sejati.
Pilkada bukanlah sebatas pertarungan menang atau kalah, tetapi idealisme dan jati diri. Indonesia menanti para kesatria demokrasi.
Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 30 April 2018 di halaman 7 dengan judul “Minoritas dalam Pilkada”. https://kompas.id/baca/opini/2018/04/30/minoritas-dalam-pilkada/