August 8, 2024

MK Harus Berhati-Hati

Setelah pilkada 9 desember 2015  selesai beberapa daerah sudah mengumumkan pemenang dan beberapa daerah lainnya memilih memperkarakan hasilnya kepada MK sebagai bentuk  ketidakpuasan calon terhadap hasil pilkada. Dari 269 daerah yang ikut pilkada seperti yang dilansir Mahkamah Konstitusi 147 pemohan memasukan laporan ke MK (28/12).

Banyaknya permohonan yang masuk ke MK, posisi MK dan kredibilitasnya dipertaruhkan dengan keputusan-keputusan yang dikeluarkan. Kesalahan masa lalu mantan ketua MK, Akil Mochtar telah merusak lembaga ini dengan transaksi Ketua MK yang memenangkan salah satu calon yang berperkara di MK pada tahun 2013.

Berbeda dengan pilkada tahun-tahun sebelumnya, pilkada serentak 9 desember 2015 daerah yang  ikut serta 269 daerah: 9 provinsi, 36 kota, dan 224 kabupaten. Menjawab persoalan itu, MK melakukan pemilihan terhadap selisih suara calon yang melakukan gugatan. Pilkada Provinsi: pertama, provinsi dengan jumlah penduduk kurang dari 2 juta maka maksimal selisih suara 2 persen. Kedua, provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta-6 juta maka maksimal selisih suara 1,5 persen.Ketiga, provinsi dengan jumlah penduduk 6 juta-126 juta maka maksimal selisih suara 1 persen. Keempat, provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12 juta maka maksimal selisih suara 0,5 persen.

Sedangkan untuk Pilkada Kabupaten/Kota: pertama, kabupaten/kota dengan jumlah penduduk kurang dari 250 ribu maka maksimal selisih suara 2 persen. Kedua, kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 250 ribu-500 ribu maka maksimal selisih suara 1,5 persen. Ketiga, kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 500 ribu-1 juta maka maksimal selisih suara 1 persen. Keempat, kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta maka maksimal selisih suara 0,5 persen.

Aturan yang mempermudah MK memutusan perkara pilkada tidak semua pihak menyetujui akan itu. Ada yang menganggab  ini adalah upaya pelanggaran pilkada secara Terstruktur, Sistematis dan Massif (TSM). Makanya, banyak juga pihak-pihak yang menggugat agar pilkada diulang kembali sebagai bentuk penolakan pelpagai pihak terhadap putusan ini. Dilain sisi, aturan ini juga perlu hati-hati dalam pelaksanaanya.

Ungkapan pengacara calon yang kalah, usaha-usaha seleksi terhadap pilkada yang dilaksanakan di MK. Terbaca, kesulitan MK menggali secara mendalam tentang hasil pilkada. Takutnya, kerusuahan massa pendukung yang kalah tak terima terhadap aturan ini perlu juga diperhatikan sebagai bentuk tekanan dan ketidak legowoan kandidat  yang bertarung pada pilkada.

MK hendaknya melibatkan banyak pihak tentang penentuan calon yang menang pada kontestasi daerah yang bersengketa.  Kepercayaan masyarakat  terhadap MK merupakan investasi untuk pilkada tahun 2017. MK sebagai lembaga penyelesaikan sengketa pilkada  berperan penting memerlihatkan kualitas demokrasi Indonesia kedepan dengan keputusan yang dibuatnya. Meskipun, masyarakat dan massa pendukung juga bagian kunci yang mempertontonkan karakternya sebagai warga negara Indonesia untuk terus melakukan proses panjang menjaga dan merawat demokrasi.

Sesungguhnya,  pilkada serentak 9 desember 2015  menjadi baromenter pelaksanaan pilkada serentak tahun 2017. Penanganan sengketa pilkada  menjadi bagian yang perlu mendapatkan “catatan penting”. Proses politik  dominan memepengaruhi hasil pilkada—hubungan kandidat dengan konstituen. Tetapi, putusan MK lebih  berbahaya jika tidak diposisikan pada sesutau yang benar.

Ranah yang  berdialektika adalah pemohon dengan MK, yang nantinya melibatkan saksi-saksi yang dibutuhan. Masyarakat hendaknya bisa berperan diwilayah ini untuk menjaga dan mengawal proses sengketa yang terjadi.

Jadi, MK saat ini adalah harapan bagi rakyat Indonesia yang  memutuskan perkara-perkara pilkada yang sengaja dibuat-buat atau memang seharusnya berada di lingkaran MK. Sehingga, putusan-putusan yang dikeluarkan “palu sidang” hakim MK tak memenangakan pihak yang kalah dan mengalahkan pihak yang menang. []

ARIFKI
Kolumnis, Alumnus Ilmu Politik Universitas Andalas, Padang