Tiga mantan penyelenggara pemilu di tingkat kabupaten dan kecamatan, serta dua mantan pengawas tingkat kabupaten mengajukan uji materi atas Pasal 92 huruf c Undang-Undang (UU) No.7/2017 tentang Pemilihan Umum, berikut penjelasan Pasal dan lampirannya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal tersebut memuat norma bahwa anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) kabupaten/kota berjumlah 3 atau 5 orang.
Ketentuan digugat karena setidaknya tiga alasan. Satu, mendiskriminasi kelembagaan Bawaslu dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dua, jumlah tiga orang tak sesuai dengan beban kerja Bawaslu kabupaten/kota yang bertambah, seperti tugas memutus sengketa proses pemilu, sehingga berpotensi menyebabkan tidak maksimalnya pengawasan Pemilu 2019, sebab Pemilu 2019 merupakan pemilu lima kotak. Tiga, ketentuan menghambat hak konstitusional para pemohon untuk mengabdikan diri sebagai anggota Bawaslu.
Para pemohon menghadirkan Bambang Eka Cahya Widodo, mantan ketua Bawaslu RI, sebagai saksi ahli. Namun, argumentasi para pemohon dan saksi ahli tak cukup meyakinkan MK untuk mengabulkan permohonan. Bahkan, MK tak menerima kedudukan hukum para pemohon, sebab pemohon tak menjelaskan secara spesifik kerugian konstitusional yang dialami.
“Pasal-pasal di dalam konstitusi juga tidak dirujuk. Pemohon hanya menggunakan Pasal 22E UUD (UU Dasar) 1945. Padahal, Mahkamah sudah memberikan nasihat agar pemohon memperbaiki permohonan untuk tidak menggunakan Pasal 22E,” kata hakim MK, I Dewa Gede Palguna, saat membacakan putusan atas perkara No.93/2019 di gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat (28/3).
MK berargumen, bahwa meskipun MK pernah mengabulkan permohonan uji materi atas jumlah anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) atas alasan keseimbangan antara beban kerja dengan jumlah anggota, tetapi permohonan serupa untuk anggota Bawaslu kabupaten/kota tak dapat diseragamkan. KPU dan Bawaslu memiliki kewenangan dan tugas yang berbeda. KPU adalah lembaga yang bertanggungjawab atas pelaksanaan tahapan-tahapan pemilu, sementara Bawaslu bertanggungjawab untuk mengawasi proses pemilu serta menerima atau menemukan dugaan terjadinya pelanggaran untuk diproses sesuai dengan kewenangannya.
“Karena perbedaan tugas dan wewenang tersebut, komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu tidak harus sama sehingga kebijakan pembentuk undang-undang dapat menyesuaikannya dengan tugas, wewenang, kewajiban, dan beban kerja masing-masing. … Lebih jauh, justru pada saat kebijakan hukum mempersamakan jumlah keanggotaan penyelenggara Pemilu di tingkat kabupaten/kota dengan beban kerja yang berbeda, kebijakan dimaksud menjadi tidak rasional,” ucap hakim MK, Suhartoyo.
Argumentasi pemohon bahwa penambahan jumlah anggota Bawaslu kabupaten/kota dari 3 menjadi 5 diperlukan karena terdapat penambahan tugas pun dibantah oleh MK. Penanganan sengketa proses diselesaikan oleh Bawaslu sesuai dengan tingkatannya, dan Bawaslu telah dilengkapi dengan pengawas kecamatan, pengawas desa/kelurahan dan pengawas Tempat Pemungutan Suara (TPS).
“Bawaslu memiliki perangkat sampai tingkat TPS. Masyarakat juga dapat berpartisipasi untuk mengawasi dan melaporkan pelanggaran kepada Bawaslu. Dengan demikian, beban Bawaslu kabupaten /kota tidak hanya dijalankan bBawaslu, tetapi juga oleh masyarakat dan peserta pemilu,” tandas hakim Palguna.
Lebih lanjut, MK memandang, penambahan tugas Bawaslu kabupaten/kota merupakan konsekuensi dari dipermanenkannya status Bawaslu kabupaten/kota. Kunci efektivitas pengawasan dan penindakan terletak pada profesionalisme anggota Bawaslu, bukan pada jumlah yang ditambah.