Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.31/2018 menyatakan bahwa frasa hari di dalam Pasal 468 ayat (2)Undang-Undang (UU) Pemilu bermakna hari kerja, bukan hari kalender. Pemaknaan hari kerja ditujukan untuk menyamakan perlakuan dengan proses pemeriksaan dan penyelesaian sengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang menggunakan hari kerja.
“Pasal 468 ayat (2) UU Pemilu harus dimaknai sebagai hari kerja.,” kata Hakim MK, I Dewa Gede Palguna, di Gedung MK, Gambir, Jakarta Pusat (23/7).
Dalam pertimbangannya, MK memposisikan kewenangan Bawaslu untuk menerima dan menyelesaikan sengketa proses pemilu dalam sebuah alur penegakan hukum pemilu yang ujungnya adalah gugatan banding di PTUN. Jika tenggang waktu penerimaan aduan dan penyelesaian sengketa di PTUN berdasarkan hitungan hari kerja, maka hal yang sama mesti diterapkan kepada Bawaslu.
“Ada perbedaan perlakukan ketika memberikan waktu penyelesaian sengketa proses pemilu kepada KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu dengan PTUN, baik tenggang waktu mengajukan permohonan penyelesaian sengketa proses pemilu maupun tenggang waktu proses persidangan. Oleh karena itu, karena proses ini merupakan satu kesatuan, maka proses sengketa di Bawaslu menggunakan tenggat waktu hari kerja,” terang Dewa.
MK menekankan pentingnya memberikan kepastian hukum mengenai hari kerja karena ada perbedaan signifikan antara hari kerja dengan hari kalender. Pada hari kerja, hari libur tak dihitung. Namun pada hari kalender, hari libur masuk dalam hitungan.
“Menjadi hari kerja akan menambah tenggang waktu secara akumulatif dan akan semakin menambah kesempatan bagi Bawaslu untuk dapat menyelesaikan sengketa proses pemilu secara komprehensif dan lebih optimal,” jelas Dewa.