August 8, 2024

MK: Syarat Keterwakilan Perempuan sampai Kepengurusan Tingkat Kecamatan Tak Sesuai Kesanggupan Partai

Permohonan uji materi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) terhadap Pasal 173 ayat (2) huruf e Undang-Undang (UU) No.7/2017 ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK). MK menyimpulkan bahwa pasal a quo telah sesuai dengan Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Pasal 28H ayat (2) huruf e UUD 1945 berbunyi, “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”

Pasal 173 ayat (2) huruf e mengatur bahwa untuk menjadi peserta pemilu, partai politik harus menyertakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan tingkat pusat.

Di dalam putusannya, MK menjelaskan bahwa kebijakan afirmasi perempuan telah dimuat di UU Partai Politik dan UU tersebut telah mengacu pada Pasal 28H ayat (2). Dengan demikian, apabila UU Pemilu memuat ketentuan keterwakilan perempuan di kepengurusan partai politik hingga sampai tingkat kecamatan, justru akan menyebabkan ketidaksesuaian antara UU Pemilu dan UU Partai Politik.

“Apabila norma a quo dimaknai menjadi mencakup kepengurusan tingkat provinsi, kabupaten/kota, maka akan dapat menyebabkan ketidakpastian hukum terhadap pengaturan tentang syarat keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik,” termuat di dalam dokumen Putusan MK No.60/PUU-XV/2017 (11/1).

Yang dibutuhkan adalah pendidikan politik untuk perempuan

Hal lain yang digunakan MK sebagai argumentasi penolakan yakni belum maksimalnya peran perempuan di dalam politik, sekalipun telah diberlakukan kebijakan afirmasi di UU Partai Politik dan UU Pemilu. Yang dibutuhkan untuk menjawab minimnya keterlibatan perempuan yaitu pendidikan politik intensif untuk perempuan, bukan semata penambahan  kebijakan afirmasi.

“Peningkatan peran perempuan dalam partai politik dan pemilu haruslah ditingkatkan pula melalui pendidikan politik bagi perempuan dan upaya-upaya lain, sehingga suatu saat perempuan yang terlibat dalam politik semakin banyak dan maksimal.”

Kebijakan afirmasi perempuan yang dituntut belum sesuai kondisi dan kemampuan

Selain itu, dalam menerapkan suatu kebijakan yang menyangkut hak suatu pihak di dalam politik, mesti mempertimbangkan kesiapan pihak-pihak yang bersangkutan, dalam hal ini partai politik. Memaksakan kewajiban 30 persen keterwakilan perempuan di semua tingkat kepengurusan justru akan berdampak buruk bagi kualitas demokrasi partai politik dan elektoral Indonesia, karena berpotensi mengurangi kesempatan warga negara untuk membentuk partai politik yang dimaksudkan untuk menjadi peserta pemilu.

Lebih jauh, MK mengatakan, penerapan kebijakan afirmasi perempuan harus diterapkan sesuai perkembangan dan kondisi partai politik dan pemilu di Indonesia. Kebijakan yang dipaksakan pelaksanaannya kepada pelaksana kebijakan “dapat mempersulit penyusunan kepengurusan partai politik di setiap tingkat kepengurusan dan berpotensi menghalangi hak warga negara untuk berserikat dan berkumpul.”

Pada poinnya, MK mendukung keterlibatan perempuan lebih maksimal di dalam politik. Namun, tak ingin memaksakan kebijakan afirmasi di tengah kondisi perempuan Indonesia yang dinilai belum “terpapar pendidikan politik” dengan baik. Adapun partai politik yang berhasil melibatkan 30 persen perempuan di setiap tingkatan menjadi nilai plus.

Yuda Irlang: sejak awal kami sudah tebak permohonan akan ditolak

Menyikapi putusan MK terhadap permohonan PSI tersebut, aktivis senior perempuan politik,  Yuda Irlang, mengatakan tak heran dengan putusan tersebut. Bahkan, sejak sidang pertama diselenggarakan, Yuda telah menduga bahwa permohonan PSI akan ditolak.

Yuda menyayangkan tak adanya komunikasi PSI dengan kawan-kawan perempuan politik yang tergabung di Maju Perempuan Indonesia (MPI), Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), dan Kaukus Perempuan Parlemen RI (KPPRI) untuk membicarakan masalah afirmasi perempuan dan strategi afirmasi.

“PSI ini kan partai baru, kita tidak tau siapa aktivis yang ada di sana. Kalau ada perempuan, tidak pernah komunikasi dengan kita. Mereka tidak usah malu bertanya. Kan kita bisa koordinasi, kami punya pengalaman berjuang untuk afirmasi perempuan sejak 2003,” kata Yuda saat dimintai keterangan lewat telepon (12/1).

Menurut Yuda, memenuhi keterwakilan perempuan di tingkat provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan adalah hal yang memang sulit dilakukan. Jika ada sepuluh partai saja, dengan kewajiban 30 persen perempuan di dalam kepengurusan tingkat kabupaten/kota, tak banyak perempuan yang tersedia.

“Pemilu 2004 saja, tidak  ada partai yang sanggup menyiapkan perempuan di kepengurusan, khususnya di kabupaten. Kalau untuk tingkat nasional, semuanya bisa. Provinsi, agak susah. Kota sangat susah, tapi kabupaten mission impossible.  Misal Papua Barat, itu nyaris gak ada/ Yang ada orang-orang dharmawanita, atau isteri-isteri mereka (pengurus partai),” terang Yuda.