August 8, 2024

Mudaisme: Politik Identitas Pemuda

Pemuda merupakan bagian dari warga negara Indonesia yang mengalami diskriminasi politik. Negara telah mengakui kekhususan identitas pemuda secara hukum melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, yang mendefinisikan pemuda sebagai warga negara berusia 16-30 tahun. Namun, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum malah melarang pemuda mencalonkan sebagai presiden/wakil presiden dan mensyaratkan usia minimal 40 tahun. Dalam undang-undang yang sama, pemuda pun dilarang menjadi calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota.

Undang-undang pilkada pun diskriminatif terhadap pemuda. UU 10/2016 jo UU 8/2015 jo UU 1/2015 melarang pemuda mencalonkan sebagai gubernur/wakil gubernur. Undang-undang tentang pemilihan kepalada daerah ini mensyaratkan usia minimal 30 tahun untuk calon pemimpin provinsi.

Padahal, negara ini punya warisan paradigma hukum yang cukup baik dalam menempatkan standar usia dewasa warga negara. Dalam hukum privat keperdataan, usia dewasa dalam kepemilikan barang serta dokumen harta adalah minimal 21 tahun. Sedangkan dalam hukum publik, usia minimal dewasa yang umum adalah 18 tahun. Jadi, dengan regulasi yang melarang hak politik untuk dipilih dalam pemilu dan jabatan yang berkaitan dengan kepemiluan, sehebat apa pun pemuda Indonesia, mereka tidak memiliki kesempatan menjadi presiden/wakil presiden, gubernur/wakil gubernur, dan anggota penyelenggara pemilu.

Selain mengalami diskriminasi dalam hak untuk dipilih, di dalam lembaga legislatif, keterwakilan pemuda sangat kecil. Representasi pemuda dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil Pemilu 2019 hanya 12,5% (72/575). Pada hasil pemilu sebelumnya, jumlah pemuda DPR malah belum jadi perhatian.

Diskriminasi bagi pemuda dalam menggunakan hak untuk dipilih dalam pemilu tersebut mirip dengan pengalaman sejarah perempuan di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa sebelum tahun 1920. Saat itu, perempuan tidak mempunyai hak memilih dan dipilih dalam pemilu. Berkat gerakan perempuan yang panjang dan berkelanjutan, ketentuan larangan memilih bagi perempuan dihapus melalui Amendemen ke-19 konstitusi Amerika Serikat tentang hak pilih (Mangan et al. 2019, hlm. 58).

Capaian gemilang itu merupakan hasil dari perjuangan panjang gerakan perempuan sejak pertengahan 1800-an. Perempuan berhasil merebut hak memilih dan dipilih dalam politik. Hak memilih dan dipilih merupakan bagian dari hak asasi manusia (HAM), yang bukan hanya merupakan hak dasar tapi juga hak kodrati yang hadir seiring manusia lahir. Saat pendiri atau penyelenggara negara membuat hukum yang melarang hak politik perempuan, berarti terjadi pencurian hak yang melanggar kemanusiaan. Perjuangan panjang dan capaian hak politik perempuan ini, jadi bagian dari lahirnya konsep pemikiran dan gerakan feminisme gelombang pertama (Mangan et al. 2019, hlm. 59-63).

Hingga kini, perjuangan dan capaian feminisme dalam memperjuangkan hak perempuan menjadi inspirasi dan telah diimplementasikan di banyak negara, termasuk Indonesia. Sejak berdiri sebagai negara pada 1945, Indonesia tidak pernah melarang perempuan berpolitik. Lalu, capaian amandemen konstitusi pasca-reformasi, menghasilkan pasal afirmatif warga negara hasil perjuangan politik perempuan. Pasal 28H Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 berbunyi: “Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Ketentuan konstitusi ini yang kemudian menjadi dasar politik afirmasi perempuan dalam undang-undang partai politik dan pemilu yang berbentuk keterwakilan perempuan minimal 30% (Ana et al. 2010, hlm. 169).

Berkat perjuangan panjang feminisme itu, kini semua negara demokrasi menjamin perempuan warga berpolitik. Bukan hanya jaminan memilih tapi juga jaminan mencalonkan dan terpilih sebagai pejabat politik melalui pemilu. Berdasarkan data dari Inter-Parliamentary Union (IPU), berbagai lembaga negara dan jabatan politik sudah diisi perempuan. Pada Januari 2023 didapat data yang relatif positif. Ada 11,3% negara yang punya perempuan sebagai kepala negara (17/151). Ada 9,8% negara yang punya perempuan sebagai kepala pemerintahan (19/193). Untuk posisi menteri, rata-rata dunia ada 22,8% perempuan masuk dalam kabinet pemerintah. Dan untuk lembaga parlemen, rata-rata negara di dunia punya 26,6% perempuan dalam parlemen (IPU 2023).

Perjuangan kelompok pemuda dalam menghapus diskriminasi dan mendapat afirmasi politik, punya tantangan berat. Tantangannya adalah variabel usia yang jadi pembentuk identitas pemuda, merupakan variabel yang bersifat cair. Sedangkan variabel gender/seks yang jadi pembentuk identitas perempuan, merupakan variabel yang relatif tetap. Sebagian kalangan sangat mungkin mempertanyakan politik pemuda ini. Jika pemuda adalah warga berusia 16 sampai 30 tahun, bukankah perjuangan identitasnya akan kehilangan relevansi saat usia para pejuangnya keluar dari pengertian “pemuda”? Dan, apa yang menjadi hal yang khas/khusus bagi kaum muda dibanding kaum tua jika semua orang bisa muda atau pernah muda? Cara pandang ini yang membuat banyak organisasi kemasyarakatan yang mengatasnamakan “pemuda” tapi membiarkan dipimpin orang tua yang tidak melibatkan perkembangan kebutuhan pengalaman pemuda.

Berdasarkan informasi yang didapat dari pemberitaan, tidak ada organisasi kemasyarakatan pemuda yang dipimpin ketua umum yang berusia muda sesuai UU Nomor 40 Tahun 2009 (16-30 tahun). Semuanya di atas 30 tahun, dengan rataan usia 49,5 tahun. Yang termuda adalah Dzulfikar Ahmad (36 tahun), Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah. Yang tertua adalah Japto Soerjosoemarno (74 tahun), Ketua Umum Pemuda Pancasila. Bagi para penggiat organisasi ini, pemuda dimaknainya sebagai semangat muda, bukan usia.

Dari sifat cair variabel usia dan keraguan identitas politik pemuda itu, justru semakin mengharuskan kelompok pemuda untuk belajar dari gerakan politik perempuan. Khasanah feminisme punya penjelasan yang bisa menguatkan kecairan variabel identitas untuk menjadi identitas gerakan politik. Feminisme dengan dasar pengalaman tubuh menyadarkan bahwa, tubuh kita dengan rentang usianya punya pengalaman diri dan kolektif. Diskriminasi dan kekerasan bisa dirasakan sejak dini, termasuk dalam rentang usia pemuda (16-30 tahun).

Tantangan lain dari identitas politik muda adalah keraguan kualitas. Keraguan ini berdasar pada ageisme (Butler 1969). Badan Kesehatan Dunia (WHO) menjelaskan, ageisme mengacu pada stereotip (bagaimana kita berpikir?), prasangka (bagaimana kita merasa?), dan diskriminasi (bagaimana kita bersikap?) yang ditujukan kepada orang-orang berdasarkan usia mereka. Dapat berupa institusional, interpersonal, atau mandiri. Ageisme institusional mengacu pada hukum, aturan, norma sosial, kebijakan, dan praktik institusi yang secara tidak adil membatasi peluang dan secara sistematis merugikan individu karena usia mereka. Ageisme interpersonal muncul dalam interaksi antara dua atau lebih individu. Ageisme mandiri terjadi ketika ageisme diinternalisasi dan berbalik melawan diri sendiri (Gutterman 2022, hlm. 2).

Pandangan ageisme terhadap pemuda mirip dengan patriarki terhadap perempuan. Identitas politik perempuan sebelumnya tidak diterima, juga karena keraguan kualitas. Secara umum, pemuda masih dipersepsikan banyak orang di Indonesia sebagai kelompok usia yang belum layak menjadi pemimpin. Pengalaman pemuda masih sedikit dan kemampuannya belum cukup baik (Wahyudi 2021). Hal ini juga jadi bagian pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menolak judicial review syarat pencalonan kepala daerah. Berdasarkan Putusan Nomor 58/PUU-XVII/2019, para hakim penjaga demokrasi dan konstitusi ini berpendapat, penentuan usia pencalonan dalam pemilu bukan kewenangan MK sehingga diserahkan kepada lembaga legislatif bernama DPR.

Ketika syarat pencalonan politik menjadi usia pemuda kita harapkan disetujui DPR, kemungkinannya menjadi lebih kecil. DPR sebagai cabang kekuasaan legislatif tidak punya insentif untuk mengabulkannya. Keanggotaan DPR dipilih melalui pemilu sehingga cenderung untuk membuat syarat yang eksklusif. DPR yang berisi fraksi partai politik terhubung dengan partai politik yang semuanya dipimpin oleh orang tua. Sehingga, DPR cenderung tidak mau membuat syarat usia muda dalam pencalonan pemilu. Semua pimpinan ketua partai politik ingin jadi presiden/wakil presiden dan tidak mau menambah kompetitor dari kalangan pemuda.

Dari daftar nama ketua partai politik DPR, tidak ada yang berusia sesuai dengan pengertian pemuda dalam Undang-Undang Kepemudaan (maksimal 30 tahun). Usia rataan ketua partai politik adalah 63 tahun. Ketua termuda adalah Ketua Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (46 tahun) yang merupakan anak dari Ketua Partai Demokrat sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden Indonesia, 2004-2009 dan 2009-2014). Ketua partai politik tertua adalah Megawati Soekarno Putri (77 tahun), ketua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang merupakan partai politik pemilik kursi fraksi DPR terbanyak. Untuk mengesahkan syarat usia pemuda pada pencalonan presiden/wakil presiden dan anggota KPU/Bawaslu, dibutuhkan lebih dari 50% kursi DPR, yang sayangnya didominasi anggota tua dan kepemimpinan orang tua di partai politik.

Dominasi orang tua dalam kepemimpinan partai politik berkaitan dengan Undang-Undang Partai Politik yang memuat syarat amat berat dalam pendiriannya. Ini berdampak pada kelembagaan partai politik yang jauh dari pemuda. Syarat ini membuat kecenderungan, hanya orang tua yang bisa mendirikan partai politik dan keanggotaannya jauh lebih banyak diisi orang tua. Dominasi orang tua ditubuh partai politik berdampak pada sulitnya pemuda bergabung dengan partai politik karena dianggap tidak berdaya secara kualitas dan finansial.

Pandangan sebelah mata terhadap pemuda pun tergambar dalam jabatan menteri kepemudaan. Padahal, jabatan dalam kabinet pemerintah ini bisa murni berdasar keinginan dan kewenangan presiden. Tapi sayangnya, hak prerogatif ini tidak dioptimalkan presiden secara afirmatif untuk pemberdayaan pemuda.

Dari daftar menteri pemuda tersebut, tidak ada menteri pemuda yang berusia sesuai dengan pengertian pemuda dalam Undang-Undang Kepemudaan (maksimal 30 tahun). Usia rataan menteri pemuda adalah 49,1 tahun. Menteri pemuda termuda adalah Dito Ariodtedjo (33 tahun) yang menjabat pada periode akhir Pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin (2019-2024). Menteri Pemuda tertua adalah Muhadjir Effendy (67 tahun) yang malah menjadi menteri pertama dari Kabinet Pemerintahan Reformasi Hasil Pemilu 1999 buah dari penggulingan Soeharto oleh mahasiswa dan kaum muda.

Jika masih ada yang mempertanyakan kualitas pemuda, jawabannya adalah pertanyaan balik tentang kualitas terhadap yang tua. Yang pasti, jika merujuk pada Global Corruption Barometer dari Transparency International, DPR/DPRD, hampir selalu menjadi lembaga negara yang paling tidak dipercaya oleh warga. Hasil ini pun mirip dengan data dari berbagai lembaga survei terakreditasi/standar organisasi profesi. Dan kita tahu, parlemen dikuasai para orang tua. Membersihkannya, kita butuh politik identitas pemuda untuk menggantikan politik tua. Potong generasi bila perlu. []

USEP HASAN SADIKIN