Studi terbaru mengenai politik uang mengungkap Indonesia masuk jajaran negara dengan intensitas politik uang cukup tinggi dalam penyelenggaraan pemilu (33 persen). Dengan rerata dunia yang 14,22 persen, Indonesia tak lebih baik dari Kenya (32 persen), Liberia (28 persen), Swaziland (27 persen), Mali (26 persen), dan Nigeria (24 persen).
Studi ini membuktikan politik uang sudah menjadi kelaziman meski politik hukum pemidanaan terhadap politik uang kian berkembang (Muhtadi, 2020). Aspinal dan Berenschot (2019), dalam Democracy for Sale: Pemilu, Klientelisme, dan Negara di Indonesia, menggambarkan dalam konteks elektoral di tingkat lokal praktik klientelisme juga semakin menguat.
Ada bukti sahih sistem pemilu dan kepartaian hanya menghasilkan sistem politik yang mengandalkan materi untuk memperoleh kekuasaan, sekalipun Muhtadi dalam studinya menyebut politik uang di konteks pemimpin eksekutif, termasuk pilkada, jauh lebih rendah ketimbang pemilu legislatif.
Dari aspek hukum, politik uang maupun candidacy buying mengalami perkembangan cukup pesat.
Dari aspek hukum, politik uang maupun candidacy buying mengalami perkembangan cukup pesat. Pengaturan yang bertujuan memberikan penghukuman terhadap pemberi/penerima politik uang dan mahar politik seperti mengalami kebuntuan. Di satu sisi ada instrumen hukum yang bisa menjerat pelaku, tetapi di sisi lain tidak diimbangi penegakan hukum yang memadai.
Over kriminalisasi?
Instrumen hukum pidana atas pelanggaran dalam penyelenggaraan pemilu tak cukup efektif mengingat rumitnya proses pembuktian. Proses hukum tak akan dilakukan tanpa disertai bukti dan terpenuhinya unsur perbuatan pidana. Ditambah lagi batasan waktu lebih singkat yang diberikan undang-undang untuk menyelesaikan suatu perkara pidana pemilu dibandingkan dengan pidana pada umumnya.
Proses pidana dan penghukuman yang bersifat fisik dalam perkembangannya tak lagi dianggap relevan untuk memberikan efek jera. Tentu ini disesuaikan dengan tipikal dan jenis kejahatan atau perbuatan yang dianggap melawan hukum atau setidaknya bertentangan dengan sikap moral dalam masyarakat yang baik.
Secara materiil, pemberian atau penerimaan uang sepanjang bersumber dari yang sah secara hukum, atau bukan dari hasil kejahatan, dibolehkan. Hanya kemudian perbuatan itu menjadi dilarang karena dilakukan di waktu dan dalam masa pemilu. Karena dampak politik uang yang begitu masif dalam memengaruhi proses pemilu, serta-merta dikategorikan sebagai sebuah kejahatan. Dengan demikian, muncul dua sanksi yang kemudian diancamkan ke pelaku, yakni berupa hukuman fisik (penjara) dan diskualifikasi dari peserta pemilu.
Menurut penulis, arah pengaturan politik uang dalam pemilu seharusnya cukup dinilai sebagai perbuatan yang melanggar hukum administrasi sehingga sanksinya relevan dengan ”mendiskualifikasi peserta pemilu”. Kecuali perbuatan itu diiringi perbuatan lain yang terindikasi pidana, misalnya ada unsur paksaan, ancaman, dan sumber uang dari kejahatan.
Namun, ada dua tantangan yang mesti dijawab. Pertama, putusan terhadap politik uang harus bersifat final, tak dimungkinkan adanya upaya hukum lain. Ini sekaligus memberikan standar tinggi bagi lembaga mana pun yang akan memutus perkara ini. Kedua, perlu menghadirkan institusi yang kredibel untuk memutus perkara politik uang, atau secara lebih luas jadi bagian dari kewenangan pengawasan terhadap dana politik/kampanye (Surbakti, 2015).
Problem kelembagaan
Jika ditelusuri ke belakang, secara kelembagaan, penanganan politik uang tak efektif mengurangi praktik ini, bahkan semakin terbuka dilakukan para kandidat/tim. Kelaziman ini memperkuat asumsi sekalipun dianggap sebagai kejahatan tidaklah mengurangi intensitas politik uang dalam pemilu. Muhtadi (2020) dalam studinya juga menemukan fakta bahwa politik uang adalah pilihan yang harus diambil setiap politisi agar dapat berkompetisi sebab semua politisi melakukan.
Kelaziman ini memperkuat asumsi sekalipun dianggap sebagai kejahatan tidaklah mengurangi intensitas politik uang dalam pemilu.
Penanganan politik uang atau tindak pidana pemilu yang diberikan kepada Sentra Gakkumdu (Bawaslu, kepolisian, dan kejaksaan) sekilas memang ditujukan untuk memperkuat kelembagaan yang menangani tindak pidana pemilu. Namun, dalam praktiknya, keberadaan institusi kepolisian dan kejaksaan justru tak signifikan dalam mengakselerasi kinerja penegakan hukum pemilu dan cenderung menempatkan posisi Bawaslu sebagai ”minoritas” dalam pengambilan keputusan.
Buktinya, di tengah maraknya politik uang, tak ada kasus yang bisa dinilai sebagai prestasi dalam penegakan hukum pemilu. Bahkan, pembuktian politik uang justru ramai dibawa ke dalam sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi. Ini sekaligus memperlihatkan ketidakpercayaan publik terhadap penanganan politik uang yang selama ini dilakukan Sentra Gakkumdu sehingga redesain kelembagaan penanganan tindak pidana pemilu perlu dilakukan sesegera mungkin. Momentum perubahan UU Pemilu yang sedang dibahas di DPD mungkin saja jadi salah satu peluang untuk mengusulkan perubahan tersebut.
Terakhir, ada tantangan yang paling dekat, yakni penyelenggaraan pilkada serentak 2020. Beragam problem sudah bermunculan, sebut saja pencalonan kandidat yang bermasalah secara hukum, termasuk bekas terpidana korupsi. Situasi ini semakin menunjukkan bahwa sistem politik memang berbasiskan patronase dan klientelistik. Partai politik hanya akan memilih figur dengan elektabilitas tinggi tanpa menghiraukan aspek integritas calon.
Pada titik inilah sistem pemilu seolah mengafirmasi korupsi politik. Dengan demikian, tak heran jika politik uang akan selamanya menjadi pandemi dalam pemilu-pemilu ke depan.
Reza Syawawi, Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia.
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 7 September 2020 di halaman 7 dengan judul “Pandemi Politik Uang”. https://www.kompas.id/baca/opini/2020/09/07/pandemi-politik-uang/