Hanya ada sekitar tujuh persen perempuan yang terdaftar dari total 1614 calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang memenuhi syarat. Angka ini menunjukkan perempuan masih ter(di)singkiran dari peta pertarungan pemilihan kepala daerah.
Dari data yang diolah Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), keberadaan perempuan calon kepala daerah tersebut tersebar di 90 dari 262 daerah yang menyelenggarakan pilkada serentak. Lebih rinci, perempuan mencalonkan di 76 dari 219 kabupaten, 14 dari 34 kota; serta 1 dari 9 provinsi.
Sebaran daerah yang mengusung calon perempuan memang memenuhi 30 persen. Tetapi dari jumlah calon, panggung Pilkada Serentak 2015 belum menunjukkan adanya keseimbangan gender. Kehadiran perempuan menjadi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah sangat kecil.
Penyelenggaraan pilkada serentak ini sekaligus menkonfirmasi minimnya jumlah perempuan di kontestasi pilkada. Minimnya jumlah calon tentu memperkecil kemungkinan perempuan duduk dalam tataran pengambil kebijakan/eksekutif. Jika salah satu tujuan dari penyelenggaraan pemilu adalah representasi, maka repsentasi perempuan juga belum tercapai.
Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggrain, mengatakan, angka ini bisa menjadi gambaran awal untuk melihat tantangan pilkada serentak bagi perempuan dan gerakan perempuan. Maka perlu mengkaji lebih lanjut sejauh apa perubahan UU 8/2015 tentang pilkada, mempengaruhi representasi perempuan di pilkada.
“Dari sisi persentase perempuan sangat kecil jumlahnya. Ini bisa jadi mempengaruhi gerakan dan strategi perempuan,†katanya.
Ketatnya aturan dan abainya partai
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab minimnya jumlah perempuan dalam Pilkada. Titi menilai, penyusunan regulasi penyelenggaraan pilkada perlu dilihat kembali. Dalam UU 8/2015 tentang Pilkada, salah satu perubahan yang cukup signifikan mengenai syarat pencalon. Aturan pencalonan ini cenderung lebih ketat.
Partai atau gabungan partai setidaknya harus memiliki jumlah kursi minimal 20 persen di DPRD atau 25 persen suara sah. Sementara untuk calon perseorangan juga mengalami kenaikan syarat yang sangat signifikan, yakni harus mengumpulkan 7-12 persen jumlah dukungan dari jumlah penduduk.
Syarat ini memaksa partai untuk mengusung calon yang lebih unggul dari sisi popularitas, elektabilitas sosial dan finansial. Secara umum, syarat tersebut lebih banyak dimiliki calon laki-laki dibandingkan calon perempuan. Ketika partai tidak mengakomodir calon perempuan, bagi perempuan yang ingin maju lewat jalur perseorang pun bukan hal yang mudah.
Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Dian Kartika Sari, membenarkan bahwa lebih sulit bagi perempuan untuk masuk dalam jajaran eksekutif daripada legislatif. Kontestasi pilkada masih terkesan mahal dan membutuhkan kekuatan yang besar baik dari sisi popularitas, sosial, dan finansial.
“Untuk memasuki eksekutif membutuhkan power yang lebih besar dan ternyata partai lebih suka mencalonkan laki-laki ketimbang perempuan,†katanya.
Dian mengatakan, saat ini hanya ada sepuluh perempuan anggota KPI yang mencalon di pilkada, dimana seluruhnya adalah mantan anggota legislatif. Menurut Dian, mendorong perempuan yang berada di legislatif menjadi eksekutif adalah salah satu cara mendorong keterwakilan perempuan di eksekutif.
Tingkat elektabilitas perempuan memang seharusnya tidak selamanya dilihat berdasarkan popularitas dan finansial yang dimiliki. Koordinator nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masyukuruddin Hafidz, menilai perempuan memiliki tingkat keterpilihan yang lebih tinggi karena ada anggapan publik yang melihat tingkat kepercayaan terhadap perempuan lebih tinggi. Selain itu, sebagian besar di 269 daerah yang pilkada memiliki perempuan pemilih yang lebih banyak.
â€Misalnya di Nusa Tenggara Timur, 52 persen pemilihnya perempuan. Hampir semua daerah memiliki perempuan pemilih yang jumlahnya setengah dari pemilih, dari pada laki-laki. Secara angka harusnya sudah bisa dimenangkan, tetapi partai belum melihat itu,†katanya.
Masyukuruddin mangatakan, bagaimanapun hebatnya pengaturan pencalonan, yang memegang peranan penting pencalonan adalah partai. Partai harus mulai memandang penting kehadiran perempuan dan melakukan kaderisasi perempuan agar tersedianya calon yang memiliki elektabilitas dan kualitas yang baik.
Pentinganya perempuan di Jajaran eksekutif
Upaya mendorong hadirnya perempuan di jajaran eksekutif atau pengambil kebijakan sangat penting untuk mendukung lahirnya kebijakan-kebijakan yang tidak mendiskriminasi perempuan. Koordinator Aliansi Masyarakat Sipil untuk Perempuan dan Politik (ANSIPOL), Yuda Irlang, menyampaikan kebijakan-kebijakan diskriminatif gender itu banyak sekali muncul apalagi di daerah dalam bentuk peraturan daerah (perda).
Lahir perda-perda diskriminatif gender tersebut tidak lepas dari sikap kepala daerah. Menurut Yuda, kehadiran perempuan kepala daerah penting dalam hal mencegah semakin banyaknya peraturan-peraturan daerah (perda) yang sangat mendiskriminasi perempuan.
“Munculnya kebijakan diskriminatif dan bias gender sangat bergantung atas sikap dan kebijakan kepala daerah. Kalau perempuan dan perspektif gender sebagai kepala daerah akan memberikan ruang yang baik terhadap gerakan perempuan,†kata Yuda di Jakarta (14/9).
Dian Kartika Sari juga mengatakan, dengan semakin banyaknya kepala daerah perempuan, ruang terhadap gerakan perempuan akan terbuka. Sebab, meskipun laki-laki dan perempuan memiliki perspektif gender yang sama, perempuan memiliki pengalaman yang tidak dimiliki oleh laki-laki.
Dengan kepala daerah perempuan, peluang meningkatkan kesejahteraan perempuan akan semakin besar. Meski demikian, apabila kepala daerahnya bukanlah perempuan mesti didorong untuk memiliki strategi terhadap perempuan.
“Siapapun yang terpilih nanti harus punya komitmen yang tinggi untuk mempercepat kesetaraan, kemakmuran masyarakat, hak asasi perempuan termasuk partisipasi perempuan dalam partai politik,†katanya.
Perkuat afirmasi lewat uu pemilu
Agar jumlah calon perempuan kepala daerah bisa bertambah, kebijakan afirmasi harus diatur lewat undang-undang dengan mempermudah syarat pencalonan bagi pasangan calon kepala daerah perempuan.
Titi mengatakan bentuk afirmasi bisa saja diatur dalam bentuk mengurangi jumlah syarat dukungan kursi DPRD bagi partai yang mengusung calon perempuan. Misalnya, partai dan koalisi boleh mengusung calon jika memiliki kursi di DPR sebanyak 20 persen dari total kursi. Jika jumlah 20 persen tersebut sama dengan 30 kursi, maka akan dikurangi sebanyak 30 persen.
“Misalnya kalau ada calon perempuan, maka partai akan mendapat diskon 30 persen dari 30. Cukup dengan 20 kursi, partai bisa mengusung calon,†kata Titi.
Sama halnya dengan syarat calon perseorangan, calon perempuan bisa mendapat pengurangan 30 persen dari total dukungan yang harus dikumpulkan.
Sementara itu, Yuda Irlang juga menganggap kebijakan afirmatif masih diperlukan sebab kondisi struktural dan kultural masih mengahalangi perempuan maju di dunia politik. Sembari diterapkannya kebijakan afirmatif, maka dilakukan perbaikan kebijakan yang tujuannya meningkatkan kualitas perempuan.
Dian Kartika Sari menekankan tujuan akhir afirmasi bukanlah kekuasaan tetapi bagaimana agar kebijakan yang dihasilkan akan berpihak kepada perempuan. Salah satu caranya dengan menempatkan perempuan di posisi eksekutif.
DEBORA BLANDINA