Koalisi Masyarakat Sipil mendesak agar Panitia khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu membuka rapat Panitia Kerja (Panja) untuk publik. RUU Pemilu berhubungan dengan kepentingan publik, dan pemilu merupakan pemilihan umum bukan pemilihan khusus atau pemilihan elit. Pemilu merupakan salah satu ukuran dari kehidupan demokrasi sehingga monopoli terhadap UU Pemilu tak dapat dibenarkan.
Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Masykurudin Hafiz, mengatakan bahwa Pansus mesti belajar dari rapat yang digelar oleh Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bersama Tim seleksi (Timsel) calon penyelenggara pemilu periode 2017-2022. Pada rapat tersebut, Komisi II menuntut agar Timsel melakukan transparansi terhadap proses dan hasil seleksi, serta melibatkan partisipasi publik. Hal ini menunjukkan bahwa keterbukaan adalah nilai penting untuk menumbuhkan kepercayaan publik dan jalan untuk mendapatkan legitimasi.
“Banyak ucapan-ucapan dari Komisi II tentang keterbukaan. Ini menunjukkan bahwa Komisi II menginginkan keterbukaan. Pansus harusnya belajar dari keinginan mereka akan keterbukaan,” kata Masykur, di Cikini, Jakarta Pusat (31/3).
Direktur Lingkar Madani (LIMA), Ray Rangkuti, mengatakan bahwa alasan Pansus menutup rapat Panja dengan tujuan agar pembahasan RUU Pemilu tak bertele-tele merupakan asumsi tak berdasar. Publik memiliki hak untuk mendapatkan informasi mengenai kebijakan publik.
“Yang membuat panjang diskusi-diskusi di DPR itu karena ulah mereka sendiri. Mereka mencabut hak warga negara untuk mendapatakn informasi mengenai kebijakan publik,” tukas Ray.
Pada prinsipnya, kata Ray, semua rapat di DPR adalah terbuka, kecuali yang menyangkut rahasia negara, moral dan etika seseorang, dan sumber daya alam (SDA).