Maret 28, 2024
iden

Paradoks Demokrasi RUU Pemilu

Pemilu merupakan satu-satunya jalan mencapai kekuasaan demokrasi tapi undang-undangnya makin menutup kebebasan politik. Partisipasi tiap warga adalah pembeda utama demokrasi dengan krasi lainnya, namun kenyataanya kesepuluh fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) malah menutup kontestasi kekuasaan 2019-2024.

Syarat usia minimal calon Presiden dan Wakil Presiden dinaikkan dari 35 tahun menjadi 40 tahun. Syarat usia minimal anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pun dinaikkan 5 tahun untuk semua tingkatan: di tingkat pusat jadi 40 tahun yang sebelumnya 35 tahun, di provinsi 35 (30) tahun, dan di kabupaten/kota 30 (25) tahun. Jelas ini bentuk diskriminasi politik warga pemuda yang pengertiannya berusia 16 sampai 30 tahun (UU No.40/2009 tentang Kepemudaan).

Perumusan UU Pemilu baru bertujuan untuk penguatan presidensialisme dan efisiensi anggaran melalui pemilu serentak. Concurrent election sebagi rujukan konsep pemilu serentak adalah penggabungan pemilu presiden dan pemilu parlemen. Hasil pemilu serentak lebih mungkin menciptakan parlemen yang kondusif mendukung kerja presiden sehingga bisa menghindari pemerintahan terbelah (divided government).

Pemungutan suara dalam satu hari untuk memilih Presiden-Wakil presiden, anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta DPR Daerah (DPRD) pun menghemat biaya logistik dan tenaga penyelenggara pemilu.

Tapi, tren UU pemilu malah menjadikan konstestasi Capres-Cawapres dan partai tak kompetitif. Dengan melarang semua partai mencalonkan Presiden-Wakil presiden berarti warga punya pilihan pemimpin Indonesia yang terbatas. Presidensial Indonesia jadi paradoks karena pencalonannya ditentukan keadaan parlemen.

UU Pemilu pun membebani APBN. Kursi DPR ditambah dari 560 jadi 575 kursi. Saksi partai politik dan kampanye dibiayai APBN. Anggota KPU dan Bawaslu ditambah dari pusat hingga kabupaten/kota. Lembaga pengawas pemilu dipermanenkan sampai kabupaten/kota.

Sikap Pemerintah dan fraksi DPR

UU Pemilu sebagai undang-undang inisiatif Pemerintah sejak awal dirumuskan tidak didasarkan pada konsep pemilu serentak partisipatif. Undang-undang untuk penyelenggaraan Pemilu 2019 ini lalu disikapi pragmatis 10 fraksi di DPR dengan hanya membahas isu-isu yang berkaitan langsung dengan niat mempertahankan dan melebihkan kekuasaan partai parlemen. Hasilnya, UU Pemilu dirumuskan sebatas seteru partai besar yang satu selera dengan Pemerintah melawan partai kecil.

Mulai dari verifikasi syarat partai politik peserta pemilu (P4). Berdasar UU pemilu versi pemerintah, verifikasi P4 tak diubah. Pemerintah yang diwakili Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyerahkan syarat P4 ke DPR dengan alasan ketentuan ini menentukan hidup/mati partai politik.

Tapi sebetulnya, Tjahjo Kumolo yang juga politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), menginginkan syarat P4 yang amat berat tak diubah dan partai parlemen otomatis lolos jadi P4. Alhasil, Panitia Khusus (Pansus) UU Pemilu memutuskan syarat P4 berupa kepemilikan kantor 100% provinsi, 75% kabupaten/kota, dan 50% kecamatan dan hanya dibebankan pada partai di luar peserta Pemilu 2014.

Artinya, PDIP, Partai Golkar, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), dan Partai Bulan Bintang (PBB), otomatis lolos P4 Pemilu 2019.

Sedangkan, puluhan partai politik yang terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum-HAM) harus diverifikasi administrasi dan faktual memiliki kantor di 100% provinsi, 75% kabupaten/kota, dan 50% kecamatan. Syarat berat kepesertaan harus dilalui Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), dan Partai Idaman, dan partai yang bukan peserta Pemilu 2014 lainnya.

Pilihan variabel sistem pemilu merupakan isu krusial yang paling membelah partai besar dan partai kecil. PDIP, Golkar, dan PKS sebelumnya ada di pilihan sistem proporsional daftar partai (yang biasa disebut daftar tertutup) karena sistem ini disukai partai besar atau partai kader. Tapi karena komposisi Pansus UU Pemilu didominasi partai kecil, PKS berubah memilih sistem proporsional daftar calon (yang biasa disebut daftar terbuka).

Awalnya, sikap Pemerintah melalui RUU Pemilu versi Pemerintah merekomendasikan sistem proporsional “terbuka terbatas”. Pasal 138 Ayat (3) bertuliskan, sistem proporsional terbuka terbatas merupakan sistem dengan daftar calon terbuka dan daftar nomor urut calon terikat berdasarkan penetapan partai politik. Lalu Pasal 329 huruf b menyatakan, cara memilih, hanya boleh mencoblos satu kali, lambang atau nomor partai, bukan nama atau nomor urut caleg.

Merujuk pasal-pasal RUU Pemilu itu, “terbuka terbatas” sejatinya merupakan sistem proporsional tertutup. Artinya, jika memilih nama caleg maka surat suara dianggap tidak sah. Sehingga, keterpilihan caleg mendapat kursi DPR ditentukan perolehan suara partai yang diberikan ke caleg berdasar nomor urut.

Dinamika Pansus RUU Pemilu berisi keberatan terhadap sistem terbuka terbatas. Lalu Pemerintah mengubah pengertian sistem terbuka terbatas menjadi: (1) sistem dengan daftar calon terbuka dan daftar nomor urut calon; (2) pemilih bisa memilih lambang/nomor partai atau nama/nomor urut caleg; (3) jumlah suara konversi kursi merupakan gabungan perolehan suara lambang/nomor partai dan nama/nomor caleg;

(4) jika perolehan suara lambang/nomor partai lebih banyak dibandingkan setiap nama/nomor urut caleg, maka perolehan kursi kembali ke nomor urut caleg yang ditetapkan partai; (5) jika perolehan suara nama/nomor urut tiap caleg lebih banyak dibanding perolehan suara partai, maka caleg tersebut yang memperoleh kursi.

Dari perubahan pengertian “terbuka terbatas” itu hanya dua fraksi yang mau menerimanya yaitu: Fraksi PDIP dan Partai Golkar. Delapan fraksi partai lainnya menolak dan tetap pada pilihan sistem proporsional terbuka.

Metode memilih partai atau calon di surat suara mengalami deadlock bersama variabel sistem pemilu lainnya yaitu: ambang batas pencalonan presiden, ambang batas parlemen, besaran daerah pemilihan (dapil), dan metode konversi suara menjadi kursi. Semula Pansus UU Pemilu mengarahkan kelima isu krusial ini dipilih melalui voting 10 fraksi tetapi PDIP, Golkar, dan Pemerintah bisa memaksa dominasi partai kecil di fraksi menyetujui metode paket. Kuat dugaan, berubahnya metode voting menjadi paket disebabkan janji Pemerintah menyetujui dana saksi P4 dibiayai APBN. Dana saksi diinginkan partai kecil karena struktur dan keanggotaannya yang belum kuat.

Partai kecil berpemahaman, petugas pengawas lapangan dari Bawaslu di pemilu sebelumnya tidak cukup menjaga netralitas penyelenggara lapangan dan pencurian suara di tempat pemungutan suara (TPS). Setiap P4 membutuhkan saksi di ribuan TPS sehingga berbiaya besar. Partai kecil berharap di Pemilu 2019 biaya besar saksi partai ditanggung APBN melalui dasar hukum RUU Pemilu.

Pansus RUU Pemilu lalu membentuk empat paket pilihan variabel sistem pemilu. Paket A: (1) Ambang batas pencalonan presiden: 10% kursi DPR atau 15% perolehan suara Pemilu DPR 2014; (2) Ambang batas parlemen 5%; (3) Besaran dapil: 3-8 kursi; (4) Metode memilih di surat suara: proporsional terbuka; (5) Metode konversi suara: saint lague murni (SLM).

Paket B: (1) 20 atau 25%; (2) 5%; (3) 3-8 kursi; (4) Proporsional terbuka terbatas; (5) SLM. Paket C: (1) 0%; (2) 4%; (3) 3-10 kursi; (4) Proporsional terbuka; dan (5) Quota Hare. Paket D: (1) 10 atau 15%; (2) 4%; (3) 3-10 kursi; (4) Proporsional terbuka terbatas; dan (5) SLM.

Dari empat paket rumusan Pansus UU Pemilu itu, penentuan pilihan paketnya melalui voting 10 Fraksi. Di sini Pemerintah kembali menolak. Diwakili Mendagri, Pemerintah ingin ambang batas pencalonan presiden mempertahankan undang-undang sebelumnya (UU No.42/2008) yaitu 20% kursi DPR atau 25% perolehan suara Pemilu DPR. Keinginan Pemerintah ini hanya diakomodasi di Paket A yang kemungkinan melalui voting akan kalah suara.

Pemerintah dan DPR kembali deadlock memutuskan 5 isu krusial variabel sistem pemilu. RUU Pemilu mengalami ketidakpastian lagi sejak mulai dirumuskan pada bulan Oktober 2016. Padahal, tahapan Pemilu 2019 akan dimulai pada bulan Agustus 2017. KPU serta Bawaslu butuh kepastian undang-undang untuk membuat peraturan pelaksana teknis penyelenggara pemilu.

Dari cerita perumusan UU Pemilu dapat disimpulkan bahwa pemerintah ingin mempertahankan ambang batas partai mencalonkan presiden, yaitu kepemilikan 20% kursi DPR atau 25% perolehan suara Pemilu 2014. Untuk mewujudkan itu, dipenuhilah semua keinginan DPR yang didominasi partai kecil: 1) penambahan kursi dari 560 jadi 575; 2) partai parlemen otomatis jadi peserta pemilu; 3) saksi partai dibiayai APBN; 4) proporsional terbuka; 5) penambahan anggota KPU dan Bawaslu sampai tingkat kabupaten/kota; 6) membuat Bawaslu sampai kabupaten/kota permanen.

Dengan kesimpulan itu, hendaknya kita warga negara yang berhak pilih, menolak RUU Pemilu disahkan. Ketentuan yang sudah dan akan disepakati dalam RUU Pemilu merupakan paradoks dari tujuan pemilu serentak yang ingin memperkuat sistem presidensial dan efisiensi APBN.

Dengan ambang batas pencalonan presiden 20%/25%, rakyat dirugikan karena pilihan calon presiden menjadi terbatas. Dan, APBN yang seharusnya dioptimalkan untuk seluruh warga negara malah dikuras untuk kepentingan elit partai dan kontestasi kuasa semata.

Konsekuensi penolakan RUU Pemilu hasil Pansus di DPR ada dua. Pertama, kembali ke UU Pemilu (UU No.42/2008, UU No.15/2011, dan UU.8/2012) dengan kontekstualisasi pemilu serentak melalui peraturan KPU dan Bawaslu. Kedua, jika Presiden Joko Widodo menilai hal ini sebagai keadaan genting, Pemerintah bisa menolak RUU Pemilu hasil Pansus lalu Presiden membuat Peraturan Presiden Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Pemilu, seperti Perppu Pilkada Langsung oleh Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2014.

Namun, pemberitaan pada 17 Juni 2017 menunjukkan Jokowi menginginkan ambang batas pencalonan presiden dipertahankan. Apakah kita akan mempermalukan Jokowi yang mempertahankan kekuasaan dengan menutup kontestasi pemilu presiden sebagaimana kita mempermalukan SBY yang menutup kontestasi kepala daerah dengan UU Pilkada Tak Langsung (melalui DPR)? Atau kita, sebagai rakyat, memang tak mau tahu kedaulatan demokrasi yang kita miliki? []

USEP HASAN SADIKIN

Artikel ini juga dipublikasikan di Suarakebebasan.org pada tautan:

https://www.suarakebebasan.org/id/opini/item/844-paradoks-demokrasi-ruu-pemilu