August 8, 2024

Parlemen Tak Efektif, Manajemen Pengelolaan Parlemen Perlu Diperbaiki

Pada diskusi “Kembalikan Marwah DPD” (7/3), pakar hukum tata negara, Saldi Isra, menjelaskan bahwa posisi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mesti dikembalikan kepada hakikatnya sebagai kamar kedua di dalam sistem parlemen. DPD perlu untuk tidak hanya sekadar aksesoris demokrasi yang tak punya wewenang kuat untuk mengimbangi kamar pertama.

“Selemah apapun praktek sistem dua kamar di dunia, DPD punya hak untuk menolak Undang-Undang (UU) yg dibuat oleh kamar lainnya. Jadi ada kuasa untuk menunda produk UU sehingga posisi mereka diperhitungkan,” kata Saldi, di Slipi, Jakarta Barat (7/3).

Menurut Saldi, publik tak perlu khawatir dengan posisi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan DPD yang sama kuat, yang dinilai akan menyebabkan lamanya waktu penyusunan dan pengesahan UU. Hal tersebut dapat diatasi dengan disusunnya UU yang memuat aturan main agar anggota parlemen tidak menunda penyusunan suatu UU secara berlarut.

“Di Amerika Serikat, untuk mengatasi pen-delay-an suatu UU, ada UU yang mengatur berapa lama waktu untuk men-delay dan semacamnya. Ketika membahas Rancangan UU (RUU), DPD, DPR dan Presiden adalah tiga pihak, jadi DPD satu mic, DPR satu mic, Presiden satu mic. Untuk DPR, jangan masing-masing fraksi ngomong sehingga pembahasan jadi panjang dan molor,” kata Saldi.

Saldi kemudian mengatakan bahwa tidak efektifnya manajemen pengelolaan parlemen menyebabkan lembaga legislatif tidak produktif dan lamban dalam menghasilkan produk UU. Di Belanda dan Jepang, kata Saldi, lembaga pembuat UU dapat menghasilkan lebih dari seratus produk UU per tahun. Indonesia hanya 30 UU per tahun.

“Lamanya waktu yang dihabiskan untuk menghasilkan regulasi bukan karena sistem dua kamar, tetapi manajemen pengelolaan parlemen yang tidak beres. Harus ada aturan main untuk mengkondisikan agar lembaga pembuat UU produktif,” tutup Saldi.