September 13, 2024

Parpol dan Sistem Pemilu OLEH RAMLAN SURBAKTI

Dua rekomendasi penataan sistem politik yang diajukan dalam tulisan ini saling berkaitan. Kedua hal yang merupakan satu paket reformasi itu adalah reformasi parpol dan perubahan sistem pemilu anggota DPR dan DPRD.

Dari pemberitaan akhir-akhir ini terungkap adanya rencana pemerintah (Kemendagri) dan DPR (Komisi II) menata ulang sistem politik Indonesia dengan merevisi sejumlah undang-undang tentang politik.

Setidaknya dua agenda penting hendak direformasi, yaitu partai politik (parpol) dan sistem pemilu anggota DPR dan DPRD. Kedua hal ini dipandang penting direformasi karena menjadi penyebab demokrasi Indonesia belum terkonsolidasi dan penyebab mengapa sistem politik Indonesia masih defisit sebagai sistem politik demokrasi.

Berikut penjelasannya. Sistem pemilu proporsional (SPP) terbuka merupakan sistem pemilu yang digunakan untuk memilih anggota DPR dan DPRD sejak Pemilu 2009. SPP seperti ini ditandai oleh enam unsur: (1) partai politik sebagai peserta pemilu (P4) dengan pola pencalonan mengikuti daftar partai (daftar calon disusun berdasarkan nomor urut, sekurang-kurangnya 30 persen perempuan sebagai calon dan setiap tiga calon sekurang-kurangnya seorang perempuan di setiap dapil); (2) jumlah kursi yang diperebutkan di setiap dapil terdiri dari 3-10 untuk DPR, dan 3-12 untuk DPRD; (3) pemilih diminta mencoblos satu partai dan/atau satu calon sebagai model penyuaraan.

Kemudian, (4) proporsional sebagai formula pemilihan. Metode pembagian kursi pada Pemilu 2009 dan 2014 menggunakan Metode Kuota Hare (BPP), tetapi pada Pemilu 2019 menggunakan Metode Divisor Sainte-Lague, sedangkan penentuan calon terpilih dilakukan berdasar suara terbanyak.

Sistem pemilu proporsional (SPP) terbuka merupakan sistem pemilu yang digunakan untuk memilih anggota DPR dan DPRD sejak Pemilu 2009.

Selanjutnya (5) ambang-batas perwakilan pada Pemilu 2009 sebesar 2,5 persen, dan Pemilu 2014 sebesar 3,5 persen, tetapi pada Pemilu 2019 dinaikkan menjadi 4 persen; dan (6) kalender Pemilu 2009 dan 2014 berupa pemilu legislatif lebih dulu tiga bulan daripada pilpres, tetapi pada Pemilu 2019 semua dipilih secara serentak.

Kegagalan sistem pemilu campur aduk

SPP seperti itu acap kali dinamai SPP yang mengedepankan calon (candidate-centered) karena yang bersaing dalam pemilu bukan partai, melainkan antarcalon dari partai yang sama dan di dapil yang sama. Saya menamai SPP seperti itu bukan SP campuran yang dikenal dalam kajian pemilu, melainkan SP campur aduk.

Disebut campur aduk karena: (a) parpol yang jadi peserta pemilu, tetapi calon yang bersaing; persaingan tak terjadi antarpartai, tetapi antarcalon dari partai yang sama dan di dapil yang sama; (b) pola pencalonan berdasarkan daftar calon partai (daftar calon berdasarkan nomor urut), tetapi penetapan calon terpilih tak berdasar nomor urut calon, tetapi berdasarkan urutan suara terbanyak; (c) parpol yang menetapkan visi, misi, dan program partai sebagai materi kampanye, tetapi setiap calon berupaya mendapat suara dengan cara apa saja yang mungkin.

Selain itu, (d) calon yang mencari dan menggunakan dana kampanye, tetapi parpollah yang wajib mempertanggungjawabkan penerimaan dan penggunaan dana kampanye; (e) mencoblos satu nama calon (yang berarti mencoblos partai yang mencalonkan) lebih berdaulat daripada mencoblos satu partai; dan (f) para calon yang aktif mencari suara, tetapi P4 yang berhak mengajukan gugatan terhadap hasil pemilu kepada Mahkamah Konstitusi.

Setidaknya ada empat konsekuensi politik dari SP campur aduk seperti ini. Pertama, sistem kepartaian yang terbentuk merupakan sistem multipartai: jumlah parpol di DPR dan DPRD berkisar 9-10 sejak Pemilu 2009. Salah satu konsekuensi sistem multipartai adalah pemerintahan daerah tak efektif pada sebagian terbesar daerah otonom.

Kedua, parpol tak hanya kehilangan legitimasi di mata rakyat (persepsi rakyat terhadap partai kian lama kian buruk), tetapi juga gagal melaksanakan fungsi utama partai, seperti penyiapan calon pemimpin, representasi kepentingan, dan penyiapan rencana kebijakan publik, dan saluran partisipasi politik warga negara.

Ketiga, sistem perwakilan politik yang muncul tak begitu jelas. Siapakah yang mewakili dapil: P4 yang dapat kursi di dapil itu ataukah anggota DPR yang terpilih dari dapil tersebut? Karena SP yang digunakan proporsional, dan karena itu kursi yang diperoleh dari setiap dapil adalah milik partai, maka P4 itulah yang seharusnya mewakili dapil.

Akan tetapi, karena calonlah yang secara aktif bersaing dengan calon lain untuk mendapatkan suara dan penetapan calon terpilih dilakukan berdasarkan suara terbanyak, maka anggota DPR-lah yang mewakili dapilnya. Partai menganggap anggota DPR-lah yang akuntabel, sedangkan anggota DPR menganggap partailah yang akuntabel. Akibatnya, rakyat merasa tak diwakili.

Keempat, menghasilkan perilaku politisi yang korup. Calon yang secara aktif bersaing mendapatkan suara bukan dengan menawarkan materi program (visi, misi, dan program partai), melainkan menawarkan materi. Hampir semua calon terpilih menyatakan mengeluarkan dana sangat besar walaupun tak semuanya dilaporkan ke KPU.

Pengeluaran setiap parpol jauh lebih besar daripada penerimaan resmi partai. Kekurangan dana ini dicari dengan berbagai cara, seperti fee yang diperoleh dari kontraktor pembangunan infrastruktur, suap untuk dapat proyek, pungutan untuk promosi dan mutasi penjabat, dana ketuk palu untuk mengesahkan APBN dan APBD, dana aspirasi, serta uang mahar yang diterima pada pencalonan pilkada.

Salah satu konsekuensi sistem multipartai adalah pemerintahan daerah tak efektif pada sebagian terbesar daerah otonom.

Ratusan kepala daerah, anggota DPR dan DPRD, serta pejabat pemda yang tertangkap oleh KPK menunjukkan perilaku korupsi ini. Semua jenis dana ini dicari untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan melalui pemilu. Jadi, sistem politik Indonesia berbiaya tinggi dan menimbulkan perilaku korupsi karena SPP campur aduk itu.

Singkat kata, SPP terbuka alias SP campur aduk gagal mencapai empat tujuan: tak menghasilkan sistem kepartaian pluralisme moderat (multipartai sederhana) dan pemerintahan yang efektif, tak menghasilkan parpol sebagai penggerak demokrasi perwakilan dan pemerintahan demokratis, tak menghasilkan sistem perwakilan politik (DPR dan DPRD) yang representatif substansial, dan tak menghasilkan perilaku politisi yang kompeten dan berintegritas. Kalau pengamatan ini benar, mengapa SP seperti itu dipertahankan?

Rekomendasi penataan

Dua rekomendasi penataan sistem politik yang diajukan dalam tulisan ini saling berkaitan karena yang satu akan dapat diwujudkan apabila yang lain juga dilaksanakan. Kedua hal yang merupakan satu paket reformasi itu adalah reformasi parpol dan perubahan sistem pemilu anggota DPR dan DPRD.

Parpol merupakan faktor mutlak, tetapi parpol saja tak cukup menyebabkan sistem politik demokrasi dapat berfungsi. Selain parpol, juga diperlukan faktor lain, seperti negara hukum (rule of law), partisipasi aktif warga negara dalam proses politik, dan sistem pers yang obyektif dan meliput semua pihak.

Parpol mutlak diperlukan karena setidaknya melaksanakan dua peran penting. Pertama menyiapkan calon pemimpin dan kemudian menawarkan mereka kepada rakyat melalui pemilu. Kedua, menyiapkan rencana kebijakan publik untuk kemudian menawarkannya kepada rakyat melalui pemilu. Alternatif partai/calon dan rencana kebijakan yang harus dipilih pemilih tak hanya sudah disederhanakan, tetapi juga telah dipersiapkan dan diseleksi.

P4 di Indonesia sudah melaksanakan kedua peran ini secara formal, tetapi dari segi kualitas dan substansi belum mampu jadi penggerak demokrasi perwakilan dan pemerintahan demokratis dalam pemilu legislatif dan pilpres. Hal ini akibat enam kelemahan kelembagaan parpol.

Partai belum dikelola secara demokratis, secara finansial dibiayai para elite partai, baik uang sendiri maupun uang yang diupayakan dari sumber lain secara tak sah (korupsi), lebih berorientasi jabatan (power seeking) daripada kebijakan publik (policy seeking), ideologi lebih difungsikan sebagai tontonan publik daripada tuntunan bagi kader dalam melaksanakan kegiatan politik, lebih dikenal dari popularitas tokoh dan kadernya daripada rencana kebijakan dan program yang diperjuangkan jadi kebijakan publik, jumlah warga negara yang mengidentifikasi diri secara psikologis dan ideologis dengan suatu partai sangat rendah.

Hal ini merupakan produk dari kelima kelemahan tadi. Akibatnya, secara substansial demokrasi di Indonesia belum terkonsolidasi dan sistem politik masih mengalami defisit demokrasi. Karena itu, parpol merupakan titik lemah sistem politik Indonesia.

Karena itu, dari segi kelembagaan sekurang-kurangnya tiga hal di parpol harus direformasi melalui perubahan UU Parpol. Pertama, pengelolaan parpol harus demokratis (intra-party democracy). Pengelolaan parpol secara demokratis berarti pengambilan keputusan yang menyangkut isu penting harus melibatkan anggota partai pada akar rumput.

Isu penting yang dimaksud antara lain penentuan calon anggota DPR dan DPRD, pasangan capres/cawapres, pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah, dan rencana kebijakan partai sebagai materi kampanye pemilu. Para calon dipersiapkan dan diseleksi oleh partai, sedangkan penetapan daftar calon dilakukan para anggota dari daftar bakal calon yang diajukan partai. Rencana kebijakan dipersiapkan partai, tetapi penentuan keputusan oleh para anggota dari rencana kebijakan yang ditawarkan oleh partai.

Akibatnya, secara substansial demokrasi di Indonesia belum terkonsolidasi dan sistem politik masih mengalami defisit demokrasi.

Kedua, APBN dan APBD memberi subsidi kepada P4 yang punya kursi di DPR dan DPRD. Namun, penggunaan subsidi ditentukan dalam UU Parpol, yaitu membiayai kedua fungsi utama P4: menyiapkan calon pemimpin dan menyiapkan rencana kebijakan publik. Bukankah UUD 1945 menugaskan partai mengusulkan pasangan capres/cawapres (Pasal 6A Ayat (1) dan menjadi peserta pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD (Pasal 22E Ayat (3).

Ketiga, pertanggungjawaban parpol baik dari segi pelaksanaan fungsi maupun penggunaan anggaran harus diatur secara rinci dalam UU Parpol. Karena parpol lembaga publik yang keberadaannya diperintahkan UUD 1945, UU Parpol harus mengatur pengelolaan parpol secara jelas arah dan rambu-rambunya sehingga AD dan ART tak bisa lain harus dirumuskan berdasarkan UU Parpol.

Parpol yang direformasi menjadi dasar perubahan sistem pemilu anggota DPR dan DPRD. SP campur aduk harus ditinggalkan karena telah gagal mewujudkan empat tujuan. Yang disebut SP campuran, seperti diterapkan di Jerman (MMP) dan di Filipina (paralel), pada dasarnya menggunakan SP pluralitas dan SP proporsional yang masing-masing digunakan secara murni untuk memilih anggota DPR. SP campur aduk menggunakan SPP memilih semua anggota DPR, tetapi setiap unsur sistem pemilu merupakan campuran proporsional dengan pluralitas sehingga tak menghasilkan konsekuensi politik yang diharapkan.

Kedua varian SP campuran itu secara teknis sukar diterapkan di Indonesia, khususnya SP mayoritarian/pluralitas karena ketidakseimbangan jumlah penduduk di Jawa dan di luar Jawa. Karena itu, alternatif yang lebih sederhana dan lebih bisa diterapkan adalah SP proporsional daftar partai.

Enam unsur SP proporsional yang diusulkan adalah pertama, besaran dapil anggota DPR dan DPRD diusulkan 3-6 kursi. Kedua, daftar calon anggota DPR dan DPRD dipilih anggota partai di tingkat kecamatan dari daftar calon yang diajukan partai. Ketiga, pemilih mencoblos satu partai, tetapi DCT anggota DPR dan DPRD setiap partai diumumkan luas ke masyarakat, termasuk di TPS.

Keempat, proporsional sebagai formula pemilihan, tetapi metode pembagian kursi setiap dapil menggunakan metode Divisor Sainte Lague yang dimodifikasi. Kelima, ambang batas perwakilan untuk DPR dan DPRD 4 persen. Keenam, kalender pemilu berupa pemisahan waktu penyelenggaraan pemilu nasional selang 30 bulan dari waktu penyelenggaraan pemilu daerah.

RAMLAN SURBAKTI, Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas https://kompas.id/baca/opini/2020/03/02/parpol-dan-sistem-pemilu/