November 15, 2024

Parpol, Penyelenggara Pemilu, dan Antagonisme Politik

DPR RI melalui Pansus RUU Pemilu dikejar deadline pengesahan paket UU Pemilu yang terdiri dari UU Pileg, UU Pilpres, dan UU Penyelenggara Pemilu. Berbagai wacana dan perdebatan akan subtansi dari aturan yang akan menentukan arah bangsa ini lima tahun ke depan itu, bak cerita telenovela yang hingga batas pengesahan masih menyajikan tontonan yang membuat publik dan pihak terkait terperanjat.

Beberapa isu krusial yang sempat dilontarkan kepada publik yaitu keanggotaan calon KPU dan Bawaslu dari unsur Parpol. Wacana tersebut didapat dari kunjungan ke negara Jerman dan Meksiko yang dilakukan anggota Pansus dan perwakilan pemerintah. Selanjutnya, isu lainnya yang telah disepakati oleh seluruh Parpol adalah penambahan jumlah anggota KPU dan Bawaslu di tingkat pusat dan rasionalisasi jumlah KPU di daerah berdasarkan jumlah penduduk. Belum selesai kegaduhan atas wacana tersebut, beberapa anggota Komisi II DPR RI kembali melontarkan statemen untuk mengubah status KPU kabupaten/kota menjadi lembaga ad hoc yang dibentuk menjelang pelaksanaan Pemilu.

Bertepatan dengan pembahasan RUU penyelenggara Pemilu tersebut, Komisi II melakukan fit and proper test terhadap 14 calon komisioner KPU dan 10 calon pimpinan Bawaslu. Isu yang mencuat ke permukaan adalah lolosnya petahana KPU yang jelas-jelas melakukan tindakan pembangkangan terhadap Komisi II DPR—yang notabene merupakan ibu kandung yang melahirkan KPU—dengan melakukan uji materi terhadap kewajiban konsultasi dan persetujuan DPR atas peraturan yang dibuat oleh KPU.

Konsep “fourth estate of indonesian democracy” yang dikemukakan Jimly Ashidiqie atas kedudukan penyelenggara pemilu, tak sejalan dengan proses rekrutmen anggota KPU dan Bawaslu yang kewenangannya berada di DPR. Uji materi yang dilakukan KPU—karena sebelumnya uji materi serupa yang digagas koalisi masyarakat ditolak legal standingnya—dianggap seolah menegasikan kekuasaan parlemen yang dibalas dengan membuat antitesis atas konsep penyelenggara Pemilu pilar keempat demokrasi di Indonesia. Bahkan kemandirian KPU disorot dan dipeloroti atas nama etika. Tak etis sesama lembaga negara beradu di meja hijau, Mahkamah Konstitusi.

Relasi Parpol, Penyelenggara Pemilu, dan Antagonisme Politik

Duverger menyatakan antagonisme politik merupakan unsur yang paling penting dalam politik. Keberadaan antagonisme, menjadi penyebab adanya usaha untuk menghilangkannya atau sekurang-kurangnya untuk menguranginya kekuasaan berbagai komunitas/kelompok lawan. Sudut pandang antagonisme politik, bagi kaum konservatif tradisional adalah perjuangan untuk merebut kekuasaan dengan menempatkan petugas partai mereka—yang mampu melaksanakan kekuasaan—melawan atau menolak bahkan mengurangi kekuasaan lawan.

Konsep antagonisme itu ternyata melebar, tidak saja terjadi di lingkungan Parpol—baik internal maupun eksternal antar Parpol—tetapi juga berusaha menunjukkan eksistensi kekuasaannya terhadap penyelenggara Pemilu yang lahir dari sebuah proses politik di parlemen. Meminjam istilah anggota DPR, partai politiklah yang punya hajatnya, sedangkan KPU adalah panitianya yang ditunjuk oleh sohibul hajat “hanya” sebagai pelaksana. Sesuai dengan label hanya pelaksana itulah, maka tidak etis KPU melakukan judicial judicial review terhadap aturan yang dibuat pemilik hajat.

Kondisi ini justru membuat konsep demokrasi ideal yang diharapkan mampu memberikan kesejahteraan sebesar-besarnya untuk masyarakat semakin jauh panggang dari api. Mengapa?

Elite Parpol seolah lupa bahwa Pemilu bukan hanya milik partai politik saja. Pemilu yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari konsep demokrasi, adalah milik rakyat. Partai politik seolah tengah mem-branding  hegemoninya atas  Pemilu. Kedaulatan rakyat yang menjadi nafas dari demokrasi menjadi barang abstrak yang sudah terwakili oleh jumlah suara hasil Pemilu sebelumnya. Lalu falsafah Abraham Lincoln demokrasi dari kita, oleh kita dan untuk kita menjadi antiklimaks menjadi dari Parpol, oleh Parpol, dan untuk Parpol.

Konsep antagonisme politik telah keluar dari sarangnya dan menyasar penyelenggara Pemilu sekaligus menegasikan kedaulatan rakyat. Parpol yang seharusnya bertugas mewakili rakyat pemilihnya, justru bersatu padu menunjukkan superioritas dengan mereposisi kedudukan penyelenggara Pemilu sebagai atasan – bawahan. Dalam posisi barunya ini, tidak boleh terjadi pembangkangan salah satunya dengan melakukan judicial review atas kekuasaan DPR.

Carl Schmitt pernah menyampaikan konsep antagonisme relasional dalam setiap aktivitas politik. Menurutnya, demokrasi secara alamiah membentuk distingsi antara kami, sebagai orang-orang yang diikat dalam suatu identitas yang sama (demos), dan mereka, yakni orang-orang yang berada di seberang sana. Dengan kata lain demokrasi selalu bersifat political.

Mau tidak mau proses fit and proper test KPU dan Bawaslu adalah sebuah proses politik. Untuk menghilangkan sifat politis atas keadaan itu, Schmitt menawarkan sebuah konsep distingsi kawan–lawan. Jika antinomi atas kawan–lawan lenyap, maka politik juga lenyap.

Schmitt juga mendeskripsikan bahwa terdapat paradoks antara demokrasi dan liberalisme. Demokrasi selalu bersifat political, sedangkan liberalisme sebaliknya. Liberalisme tidak membutuhkan distingsi, dan semata-mata merupakan abstraksi dari suatu nilai-nilai yang ideal. Keadilan dalam liberalisme cenderung merupakan etika humanitarian-individualistik yang harus dipahami tidak setara dengan demokrasi. Artinya, liberalisme sesungguhnya tidak menawarkan solusi atas penghilangan distingsi dalam demokrasi.

Relasi hubungan intern dan ekstern Parpol dewasa ini menunjukkan kecenderungan menyusupnya gejala liberalisme dalam demokrasi kita. Padahal liberalisme dan demokrasi tidak dapat dicampur adukkan sebagai konsep tunggal, karena menurut Schmitt keduanya menegasikan. Demokrasi sebagai sebuah konsep politik dan liberalisme sebagai konsep etika humanitarian.

Beranjak dari keadaan tersebut, maka seyogyanya relasi hubungan yang terjadi antara Pemerintah dan DPR yang memiliki kewenangan membentuk undang-undang, dengan penyelenggara Pemilu KPU, Bawaslu sebagai pelaksana undang-undang, harus diarahkan sedemikian rupa. Caranya dengan menghilangkan distingsi (kawan–lawan, atasan– bawahan, kita–mereka) serta menyamakan persepsi bahwa terciptanya kesejahteraan rakyat dan masyarakat adil makmur menjadi satu-satunya tujuan yang hendak dicapai secara bersama-sama.

Harus dipahami oleh seluruh elite Parpol bahwa Pemilu bukanlah hajat partai politik saja, tetapi merupakan hajat hidup orang banyak. Di mana di dalam Pemilu terletak harapan rakyat akan kesejahteraan, keamanan, dan kemakmuran. Parpol dan penyelenggara Pemilu harus dimaknai juga sebagai bridge of desire dari tujuan pelaksanaan Pemilu.

Demokrasi Agonistik

Chantal Mouffe dalam The Democratic Paradox merumuskan model demokrasi agonistik yang menekankan pentingnya dimensi pluralisme dalam demokrasi dan perlunya menjaga konflik antar ideologi secara terus-menerus. Yang terpenting bagi model demokrasi agonistik adalah ketegangan dialektis antara “kami” dan “mereka”.

Demokrasi agonistik merubah paradigma lawan dari musuh yang harus dimusnahkan, sebagai penyeimbang yang berperan menjaga ideologi. Di samping itu, dalam penerapan demokrasi agonistik semua partai politik –yang berlomba-lomba menempatkan kadernya di jabatan publik—tidak memposisikan kader partai politik lain sebagai musuh yang harus dibinasakan. Justru keberadaan lawan menjadi unsur yang melegitimasi menang-kalah. Tanpa ada lawan, maka kemenangan juga akan hilang.

Yang perlu diperbaiki adalah penyelenggaraan Pemilu. Parpol seharusnya berkewajiban untuk memastikan bahwa Pemilu berjalan dengan Luber dan Jurdil. Caranya dengan memilih figur yang mumpuni serta berintegritas untuk menjadi komisioner KPU dan pimpinan Bawaslu. Bukan dengan cara melakukan mendudukkan DPR dengan penyelenggara Pemilu sebagai atasan-bawahan. Apalagi dengan menjadikan KPU daerah sebagai lembaga ad hoc yang bekerja serabutan menjelang Pemilu. Tabik! []

FAUZI HERI

Ketua Komisi Pemilihan Umum Kota Bandar Lampung