August 8, 2024

Partai Bisa Lebih Sederhana

JAKARTA, KOMPAS – Pemilu 2019 yang digelar serentak antara pemilu legislatif dan pemilihan presiden berpotensi menyederhanakan sistem kepartaian di Indonesia. Selain naiknya ambang batas parlemen, penyederhanaan itu juga bisa disebabkan oleh adanya efek ekor jas yang hanya dirasakan sebagian partai politik.

Pada Pemilu 2014, ada 10 partai politik (parpol) yang lolos ambang batas parlemen atau untuk dapat kursi di DPR, yang saat itu ditetapkan 3,5 persen dari perolehan suara sah nasional. Pada Pemilu 2019, ambang batas parlemen naik menjadi 4 persen. Pemilu kali ini diikuti 16 parpol nasional. Sementara Pemilu 2014 diikuti 12 parpol nasional.

Selain itu, sekitar sebulan menjelang pemungutan suara 17 April 2019, muncul kecenderungan parpol kecil dan menengah tidak mendapat efek ekor jas atau hubungan positif antara kekuatan elektoral kandidat yang diusung di pemilihan presiden (pilpres) dan parpol pengusungnya.

Hasil survei Litbang Kompas, akhir Februari hingga awal Maret 2019, dengan melibatkan 2.000 responden di 34 provinsi menunjukkan, efek ekor jas hanya diterima oleh PDI-P yang diasosiasikan dengan calon presiden Joko Widodo dan Partai Gerindra yang diasosiasikan dengan capres Prabowo Subianto. Sejalan dengan hal itu, PDI-P menjadi parpol dengan elektabilitas tertinggi, yaitu 26,9 persen, diikuti Gerindra di posisi kedua dengan elektabilitas 17 persen. Sebagai pembanding, pada Pemilu 2014, PDI-P mendapat 18,9 persen, sedangkan Gerindra 11,8 persen suara.

Survei Kompas itu juga menunjukkan, hanya empat parpol yang elektabilitasnya   ”langsung” memenuhi ambang batas parlemen. Sementara ada lima parpol yang memenuhi ambang batas dengan memperhitungkan margin of error yang besarnya   +/- 2,2 persen.

Efek ekor jas Kerumitan implementasi pemilu serentak ini, antara lain, dirasakan Partai Demokrat. Parpol ini merasa tidak mendapat efek ekor jas dari sosok capres-cawapres yang mereka usung, yakni Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Renanda Bachtar, saat dihubungi di Jakarta, Rabu (20/3/2019), mengatakan, pihaknya bersama parpol pengusung lain harus bekerja ekstrakeras untuk mendapat kursi di parlemen. Ini karena efek ekor jas hanya dirasakan parpol pengusung utama.

Oleh karena tidak bisa bergantung kepada sosok Prabowo dan Sandi semata, Demokrat, antara lain, juga mengampanyekan 14 program prioritas yang diharapkan bisa menjadi pembeda dari peserta pemilu lainnya.

Demokrat juga menjadikan figur caleg dan sosok   Komandan Satuan Tugas Bersama (Kosgama) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai daya tarik. ”Kami gencarkan pendekatan ke kelompok milenial, khususnya lewat figur Mas AHY. Ia sudah berkeliling ke banyak daerah menyapa masyarakat,” tutur Renanda.

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi mengatakan, sejak awal, PPP tidak percaya pada efek ekor jas. ”Kami sudah menghitung risiko bahwa kami tidak akan mendapat manfaat elektoral dari mendukung Pak Jokowi dan Kiai Ma’ruf. Oleh karena itu, untuk suara partai, kami sadar harus bekerja sendiri, mencari suara sendiri,” kata Baidowi.

Strategi PPP, lanjutnya, adalah terlebih dahulu memperkuat basis pemilih tradisional yang selama ini loyal memilih PPP, baru kemudian membidik pemilih-pemilih baru.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Ferry Juliantono mengatakan, meski kehadiran Prabowo sebagai capres membantu elektabilitas partainya, Gerindra tak hanya menggantungkan harapan kepada Prabowo. Menurut dia, peningkatan elektabilitas Gerindra juga disebabkan kualitas infrastruktur partai yang semakin baik ketimbang Pemilu 2014.

Terkait efek ekor jas Prabowo yang tidak dirasakan partai lain, Ferry menekankan, kemenangan Prabowo-Sandi di Pilpres 2019 akan mendongkrak semua parpol pendukung dan tidak hanya Partai Gerindra. Ia menilai besarnya selisih elektabilitas partai lain dengan PDI-P dan Gerindra adalah   hal yang lumrah dalam kontestasi politik.

Penyederhanaan parpol Renanda meyakini, pemilu yang lebih sengit seperti saat ini merupakan bentuk seleksi alam agar parpol lebih serius mengelola kader dan program kerja untuk ditawarkan kepada masyarakat. Dengan kondisi ini, ada kemungkinan penyederhanaan parpol akan   terjadi.

Sementara itu, Baidowi mengatakan, penyederhanaan parpol dan proses seleksi alam sebenarnya sudah berlangsung lama, melalui syarat ambang batas parlemen yang terus meningkat dari pemilu ke pemilu.

Menurut Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies Philips J Vermonte, dalam pemilu serentak yang menggunakan sistem multipartai, seperti di Indonesia, efek ekor jas sulit dinikmati semua parpol pengusung. Namun, penyederhanaan kuantitas parpol akibat pemilu serentak baru dapat dinilai ketika sistem pemilu serentak diterapkan beberapa kali.

Ia menekankan, pemilu serentak merupakan salah satu cara alamiah untuk mengurangi jumlah parpol di setiap pemilu. Namun, dalam praktiknya, UU Pemilu di Indonesia selalu berganti setiap lima tahun. (AGNES THEODORA/M IKSAN MAHAR)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 21 Maret 2019 di halaman 1 dengan judul ” Partai Bisa Lebih Sederhana”.