August 8, 2024

Partai Hijau dan Politik Alternatif yang Bertenaga

Pada tahun 1960an, politik hijau muncul dan berkembang di sebagian besar negara Eropa Barat, mengisi kekosongan gerakan politik alternatif sejak menghilangnya gerakan mahasiswa dari peredaran politik nonformal. Pada era ini, isu-isu baru seputar pencemaran udara dan air, zat berbahaya dalam makanan, dan kelangkaan sumber daya memang mencuat, memasuki perdebatan politik dan mempolitisasi opini di Eropa. Sejak itu, kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan terus berkembang dan menjadi dasar dari gerakan politik hijau (Sejarah Partai Hijau).

Gerakan politik hijau awalnya dilakukan oleh jaringan dan aliansi gerakan-gerakan inisiatif warga di tingkat lokal yang merasa resah terhadap perilaku partai-partai mapan baik di dalam pemerintahan maupun oposisi, yang kian menerapkan kebijakan yang berimplikasi pada meningkatnya ketimpangan kesejahteraan dan kerusakan lingkungan. Kelompok-kelompok ini menempuh berbagai jalan untuk mempengaruhi dan mengubah kebijakan, mulai dari audiensi kepada pemerintah dan parlemen, aksi demonstrasi, pembentukan organisasi nasional, hingga pembentukan partai politik hijau.

Higuchi Naoto dkk dalam artikel mereka (PDF) menuliskan bahwa partai hijau terdapat di hampir semua negara industri dan telah ada di beberapa negara berkembang. Namun, Naoto enggan menjawab bahwa apakah semua negara dengan perkembangan industri yang cepat dan mengancam lingkungan pasti akan memunculkan partai hijau.

Values Party di Selandia Baru merupakan partai hijau nasional pertama di dunia, didirikan pada awal 1970-an. Dari catatan Ferdinand Muller-Rommel, partai hijau ada di hampir semua sistem partai di Eropa Barat. Antara 1978 dan 1994, partai hijau telah berpartisipasi dalam hampir dua ratus pemilihan lokal dan regional serta dalam 81 pemilihan nasional di lima belas negara.

Saat ini, partai hijau merupakan partai kecil di setidaknya 11 parlemen nasional, yaitu Jerman, Belgia, Luksemburg, Finlandia, Italia, Irlandia, Austria, Swiss, Yunani, Belanda, dan Kanada. Rommel melihat eksistensi partai-partai hijau di parlemen memiliki fungsi khusus dalam sistem kepartaian di Eropa, yakni dalam beberapa kasus, partai hijau bertindak sebagai “penggerak konflik sosial dan politik” dalam spektrum baru yang berbeda dari kiri dan kanan.

Benar! Dari berbagai riset mengenai partai hijau, partai ini memang membawa warna ideologi yang berbeda dari partai-partai di spektrum kiri maupun kanan, dan dukungan terhadapnya banyak ditentukan oleh dukungan terhadap post-materialisme dan banyaknya pemilih yang relatif aktif secara politik.

Karakteristik partai hijau  

Rommel menyebutkan tiga karakter utama partai hijau yang berbeda dari partai-partai besar yang mapan. Pertama, sebagian besar partai hijau membawa ideologi yang berperhatian kuat pada persamaan hak, pemikiran ekologi dan anti-nuklir, solidaritas terhadap Dunia Ketiga, tuntutan untuk perlucutan senjata, dan egalitarian.

Kedua, semua partai hijau menunjukkan preferensi yang kuat pada organisasi partai yang terdesentralisasi dan partisipatif. Struktur organisasi sebagian besar partai hijau memberi cabang partai lebih banyak otonomi dalam pengambilan keputusan. Hal itu dilakukan untuk memberikan akar rumput kesempatan maksimal untuk mengartikulasi kepentingan lokal masing-masing. Partai hijau relatif mempercayai bahwa mendistribusikan kekuasaan ke banyak unit akan membuat partai lebih transparan sehingga kebijakan partai dapat dipahami oleh seluruh anggota partai.

Ketiga, dan yang terpenting, pemilih partai hijau merupakan apa yang disebut oleh Muller dan Rommel (1989) sebagai “Kiri Baru”. Mereka memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan pemilih partai-partai mapan. Sebagian besar pemilih partai hijau merupakan kaum muda, kelas menengah baru, tinggal di daerah perkotaan, berpendidikan tinggi, berorientasi pada politik sayap kiri, dan memiliki pekerjaan kerah putih.

Pada karakteristik yang ketiga, penelitian Higuchi Naoto dkk menunjukkan pula bahwa pemilih partai hijau di Eropa merupakan pemilih yang lebih aktif secara politik dibandingkan dengan pemilih lainnya. Para pemilih ini juga merupakan warga yang memiliki dorongan untuk melakukan hidup secara alternatif, seperti menerapkan zero-waste, mengkonsumsi produk-produk organik, dan menjalankan pola hidup sehat dan minimalis, serta anti-otoritarianisme.

Disamping tiga karakteristik utama partai hijau, Rommel mengklasifikasi partai hijau ke dalam dua jenis. Jenis pertama ialah partai reformis hijau murni. Partai ini tidak menolak ekonomi pasar dan lebih memilih untuk fokus pada isu-isu ekologis murni yang tidak membawa partai pada konfrontasi kuat dengan negara atau pihak-pihak yang mapan. Partai ini juga lebih memilih beraliansi dengan partai-partai sosial demokrasi dibandingkan dengan partai-partai kiri baru yang radikal. Jenis partai hijau reformasi murni terdapat di Belgia, Inggris, Finlandia, Swedia, Irlandia, Swiss (Green Party of Switzerland), dan Prancis.

Sementara itu, jenis kedua, yakni partai radikal hijau alternatif. Partai ini bertujuan untuk melakukan perubahan radikal terhadap institusi sosial dan politik demi terciptanya alternatif baru. Sebagian besar, partai hijau jenis kedua menolak aliansi dengan partai sosial demokrasi dan memilih aliansi kiri baru yang radikal. Partai jenis ini bisa ditemukan pada kasus partai hijau di Luksemburg, Austria, Italia, dan Swiss (Green Alternative List).

Politik hijau dan tantangan elektoral

Dari sekian banyak partai hijau di berbagai belahan dunia, tak semua beruntung menjadi partai politik parlemen. Bertenaga atau lemasnya performa partai hijau, seperti partai politik alternatif lainnya, ditentukan oleh keramahan sistem pemilu yang diterapkan.

Di Kanada misalnya, Partai Hijau yang telah berdiri sejak 1983 dan mengikuti Pemilu Federal 1984, hanya mampu meraih 3 kursi pada Pemilu Federal 2019, sebuah capaian kursi terbanyak sepanjang sejarah pemilu yang diikuti Partai Hijau. Dengan sistem first past the post (FPTP) satu kursi untuk setiap daerah pemilihan (dapil), meski memperoleh suara 6,4 persen, kandidat Partai Hijau Kanada hanya lolos di tiga dapil. Tak heran, partai ini secara tegas meminta agar sistem pemilu diubah menjadi proportional representative (PR).

“Sistem pemilu Kanada FPTP harus dicabut. Itu tidak mewakili suara atau nilai-nilai kita. Sistem ini memberikan insentif kepada partai-partai mapan yang memenangkan 100 persen kekuasaan dengan kurang dari 40 persen suara. Kami menuntut sistem proportional representative karena warga Kanada menginginkan sistem pemilu yang adil yang: Menempatkan nilai yang sama pada setiap suara; Mendorong kolaborasi dan persatuan lintas partai; Memungkinkan untuk mengadopsi kebijakan jangka panjang yang stabil; Mendorong partisipasi yang lebih besar dan partisipasi pemilih; serta Meningkatkan literasi politik,” dikutip dari visi Partai Hijau Kanada.

Berbeda dengan nasib Partai Hijau Kanada, Partai Hijau di Swedia berkiprah dengan lebih mudah dalam sistem pemilu PR. Pada pemilihan nasional 1988, Partai Hijau memenangkan 5,5 persen suara dan mendapatkan 20 kursi di parlemen. Namun sayangnya, ketika Swedia menerapkan ambang batas parlemen nasional 3 persen pada Pemilu 1991 dan saat itu suara Partai Hijau mengalami penurunan, Partai Hijau kehilangan semua kursinya di parlemen nasional.

Di kawasan Asia Pasifik, hingga 2013, hanya Partai Hijau Australia dan Selandia Baru yang memiliki perwakilan signifikan di parlemen nasional. Bahkan, masih banyak negara Asia Tenggara yang tak memiliki partai hijau. Hanya Indonesia dan Filipina yang terdapat Partai Hijau, dan keduanya bukanlah partai parlemen. Bahkan di Filipina, Partai Hijau Republik Filipina dianggap tak mewakili politik hijau dengan berbagai nilai yang dianut oleh kebanyakan partai hijau di seluruh dunia. Di Indonesia, sejak 2014, Partai Hijau Indonesia (PHI) bertekuk lutut tak berdaya di hadapan syarat menjadi partai politik peserta pemilu yang berat dan mahal. Hal yang sama dialami oleh Partai Hijau di Fiji, sebab undang-undang mewajibkan partai politik untuk memiliki setidaknya lima ribu anggota.

Kecenderungan untuk mendesain sistem pemilu yang dapat menghasilkan sistem dwipartai memang dipandang oleh Ben Reilly sebagai penyebab meningkatnya marjinalisasi partai kecil. Yang jamak ditemui yakni syarat menjadi partai politik peserta pemilu yang dipersulit dan ambang batas parlemen yang ditingkatkan. Sebagai dampak ikutan, sejak 2001 hingga 2013, terjadi penurunan jumlah partai peserta pemilu di seluruh kawasan Asia Pasifik, kecuali Nepal dan India. Kecenderungan ini tentu tak menguntungkan partai hijau sebagai partai kecil.

Adapun studi Higuchi Naoto dkk menunjukkan pada kasus Jepang, bahwa sekalipun Jepang merupakan negara industrialis, terjadi pencemaran lingkungan, dan menerapkan sistem pemilu PR yang ramah pada sistem multipartai, partai-partai hijau di Jepang sulit memiliki posisi yang signifikan lantaran karakter masyarakat Jepang yang apatis dan pasif. Karakter ini membuat politik hijau sulit berkembang di Jepang, sebab partai hijau membutuhkan dukungan suara dari pemilih dengan karakter aktif secara politik, kritis, menyukai gagasan politik sayap kiri, dan berorientasi pada nilai-nilai baru atau alternatif.

Partai Hijau Indonesia (PHI) dan peluang elektoral di 2024

Jackson dan Bhathal (2013) dalam Barriers to the Development of Green Parties in the Asia-Pacific mengungkapkan empat faktor penyebab partai hijau di Asia Pasifik mengalami hambatan elektoral untuk menjadi partai politik signifikan di parlemen, yakni tantangan sistem pemilu, politik patronase, karakter masyarakat, dan kesiapan organisasi.

Satu, tantangan sistem pemilu. Jalan PHI―partai yang berdiri sejak 5 Juni 2012 sebagai buah perkawinan antara Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Sarekat Hijau Indonesia (SHI)―untuk mengikuti politik elektoral selalu terganjal oleh beratnya syarat menjadi partai politik peserta pemilu. Bahkan jika Undang-Undang Pemilu akan direvisi, draf terakhir versi 26 November 2020 masih memberatkan: partai politik peserta pemilu harus melampirkan surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang kantor dan alamat tetap pengurus tingkat pusat, pengurus tingkat provinsi, dan pengurus tingkat kabupaten/kota; serta bukti keanggotaan partai politik paling sedikit seribu orang atau satu perseribu dari jumlah penduduk pada setiap kabupaten/kota.

Rintangan lainnya yakni ambang batas parlemen sebesar 5 persen atau 4 persen jika tak ada revisi UU Pemilu.

Dua, tantangan politik patronase. Dari banyak riset yang dilakukan oleh Edward Aspinall, kita ketahui bahwa partai politik yang mapan di berbagai negara di Asia menjadi besar karena mengakarnya patronase dan budaya klientelisme di masyarakat. Bahkan, Lee dalam Value-cleavages, Issues, and Partisanship (2008) menyebutkan bahwa partai di Filipina pada dasarnya merupakan piramida hubungan antara patron-klien yang membentang dari desa-desa terpencil hingga kota besar Manila.

Dengan demikian, partai hijau yang memiliki karakter terbuka, demokratis, dan bertentangan dengan politik patronase akan berhadapan dengan budaya klientelisme itu sendiri.

Tiga, karakter masyarakat. Pada bagian awal dijelaskan bahwa kaum muda, kelas menengah, kalangan berpendidikan, pekerja kerah putih dan masyarakat perkotaan menjadi basis massa utama pendukung partai hijau di berbagai negara. Di Indonesia, jika merujuk pada Anderson (1972), kelas menengah baru berkembang pesat, dan masyarakat sipil Indonesia tumbuh secara dinamis. Inilah yang bisa menjadi potensi basis dukungan bagi PHI.

Empat, kesiapan organisasi. Hal ini mencakup sumber daya manusia atau pengurus organisasi parpol yang dapat melakukan kerja-kerja operasional, perekrutan, kampanye, pengolahan dapil, dan pendanaan. Tanpa kemampuan manajerial dan operasional yang tertata, profesional, dan konstan, parpol akan sulit bertahan dan meraih kepercayaan publik.

Kini pertanyaannya, siapkah PHI atau partai hijau lainnya menjadi kekuatan politik alternatif yang bertenaga untuk bisa menembus pagar baja syarat partai politik peserta pemilu di 2024? Mengutip Khalisah Khalid, Koordinator Desk Politik Walhi Nasional pada diskusi “Politik Hijau: Menjawab Tantangan Sistem Politik Indonesia” (25/2), “Krisis lingkungan dan iklim menjadi opportunity untuk menawarkan politik alternatif yang mengusung politik hijau. Bencana semakin banyak di Indonesia, dan isu lingkungan adalah isu yang akan mengena di semua orang karena ini terkait dengan lingkungan hidup mereka.”

Jika isu lingkungan dipandang menarik banyak orang, lantas siapkah PHI secara organisasi? Juga, jika ramai di media sosial tentang kebutuhan adanya politik alternatif, dapatkah PHI tampil sebagai partai politik alternatif yang bertenaga dengan cita kepengurusan yang setara, yang bebas dari campur tangan para oligark?