August 8, 2024

Partai Politik Berbasis Agama dan Demokrasi Inklusi

Partai politik berbasis agama atau religious political party merupakan fenomena yang lazim ditemukan di berbagai negara di seantero dunia. Partai ini tak hanya bercokol di negara-negara yang meresmikan agama dan budaya tertentu sebagai identitas negara, seperti Israel, Pakistan, dan Afghanistan, namun juga di negara-negara sekuler seperti Jerman dan Belanda, atau negara-negara multikultur seperti Indonesia.

Penelitian Nancy L Rosenblum dari Harvard University terhadap partai-partai berbasis agama dan etnis di Eropa dan Turki menunjukkan bahwa munculnya partai-partai berbasis agama dan etnis ke dalam arena politik berkontribusi pada konsolidasi rezim demokrasi. Keharusan untuk berkompetisi di pemilu telah mengubah sifat kelompok-kelompok agama dan etnis dari sebelumnya berlawanan terhadap pemerintah dan sektarian, menjadi pendukung demokrasi dan mengakui pluralisme.

Di Jerman misalnya, Christian Democratic Union (CDU) yang membawa warna konservatif budaya dan politik Kristen, perlahan beradaptasi dengan arus keberagaman di Jerman. Kemudian di Turki, Adalet ve Kalkınma Partisi (AKP) atau Partai Keadilan dan Pembangunan mulai mengurangi kebijakan-kebijakan berbasis agama. Partai-partai berbasis agama yang dominan, faktanya, telah memperluas konstituennya melampaui pendukung agamanya, dan membawa kelompok-kelompok baru yang selama ini termarginalkan secara politik ke dalam politik demokratis.

“Keharusan persaingan, dan bukan liberalisasi dan akomodasi teologis/ideologis, adalah kekuatan untuk integrasi politik. Demokrat Muslim di jalan-jalan mencari suara dan dalam prosesnya mengubah hubungan Islam dengan politik. Bahkan di Irak, yang tidak memenuhi syarat demokrasi partai, pada pemilu 2005, Ayatollah Syiah, Ali Sistani— seorang pendukung daftar calon Syi’ah bersatu— mengingatkan para perempuan tentang kewajiban agama mereka untuk memilih bahkan jika suami mereka melarang mereka. Keharusan kemenangan elektoral, bukan reformasi agama, yang memaksanya.” (Rosenblum 2007, hal. 58).

Pada fenomena lain, partai-partai non agama memainkan kata kunci agama untuk kepentingan elektoral. Penelitian yang diampu oleh Leon van den Broeke  dan Katharina Kunter memperlihatkan kita bahwa partai-partai konservatif sayap kanan di Belanda, yakni Lijst Pim Fortuyn (LPF), Partij voor de Vrijheid (PVV), dan Forum voor Democratie (FvD), sekalipun sekuler, namun memanfaatkan sentimen agama dan budaya Kristen untuk meraup dukungan. Partai-partai ini membingkai narasi politik dengan sikap melawan Islam. Hal yang sama ditemukan pada partai Alternative for Germany (AfD). Identitas budaya dominan Kristen pada masyarakat Jerman dimainkan untuk melawan ancaman Islam, sesuatu yang populis di kedua negara ini.

Pada kasus partai-partai yang disebutkan di Belanda dan Jerman, sentimen anti agama atau ras tertentu turut dibawa oleh partai nasionalis-sekuler. Namun, sesuai dengan tesis Brubaker, Leon dan Katharina juga menemukan bahwa gerakan populis tersebut lebih menekankan agama Kristen sebagai identitas budaya dan peradaban, bukan agama (Brubaker 2017).

Di Pakistan dan Israel, politik agama memainkan peran dalam pembangunan bangsa. Tanpa Islam, tak akan ada negara Pakistan. Tanpa Yahudi, tak berdiri negara Israel. Tak heran, otoritas dan aktor agama di kedua negara ini memainkan peran penting dalam sektor-sektor pemerintahan. Dengan karakteristik demikian, partai politik sekuler pun akan menggunakan simbolisme agama dalam arena politik negara.

Bharatiya Jannati Party (BJP), partai politik berbasis agama terbesar di dunia

BJP atau Partai Rakyat India memiliki jumlah anggota mencapai 180 juta orang. Hal ini menjadikan BJP, partai nasionalis Hindu, sebagai partai berbasis agama terbesar di dunia.

Fadhli Robbi, Dosen Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (UII) menjelaskan bahwa BJP menganut ideologi Hindutva, yakni ideologi yang mengarusutamakan identitas kehinduan dalam upaya bina bangsa di India. Terdapat tiga ajaran pokok Hindutva, yaitu rashtra atau keterikatan akan tanah air yang satu dan tunggal; jati atau keterikatan berdasar asal keturunan biologis dari leluhur era Weda; dan sanskriti atau keterikatan akan budaya dan peradaban Hinduisme. Seorang Hindu mesti memenuhi tiga elemen tersebut.

Secara politik, Hindutva lahir untuk melawan dua hal, yakni kolonialisme dan politik harmonisasi Islam-Hindu ala Gandhi. Gerakan Hindutva berbarengan dengan gerakan revivalisme Hindu yang bertujuan untuk menyatukan umat Hindu dan menguatkan solidaritas antar-kasta dalam masyarakat Hindu guna melawan gelombang Islamisasi dan Kristenisasi.

“Jadi, Hindutva tidak lahir dari ajaran Hindu secara murni, tapi lahir dengan konteks politik masa itu yang mau melawan kolonialisme dan politik Gandhi yang ingin membangun hubungan harmonis antara Hindu dan Muslim saat itu,” tandas Fadhli pada diskusi “Politik Relijius? Mengapa Didukung Rakyat?”, Jumat (30/4).

BJP sendiri merupakan sayap politik dari Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS), gerakan advokasi supremasi Hindu melawan kebijakan yang ramah terhadap minoritas. Banyak anggota RSS yang duduk di tampuk kekuasaan negara India.

“RSS ini besar sekali. Dia punya 1,8 juta kader aktif. Ada 40 ribu ranting. Dipimpin oleh seorang, istilahnya seperti imam besar, Sarsanghchalak,” ujar Fadhli.

BJP memenangkan Pemilu 2014 dan 2019 berkat figur Narendra Modi yang sebelumnya dinilai berhasil sebagai Menteri Besar Gujarat. BJP juga tidak menggunakan narasi Hindutva selama masa kampanye sehingga menarik konstituen lebih besar. Kampanye BJP juga didukung oleh basis massa di akar rumput yang besar dan loyal, dengan strategi patronase. Bahkan, pada 2004, Shah Imam Jama Masjid, Syed Ahmed Bukhari mengajak pemilih Muslim untuk memilih BJP karena kecewa terhadap status quo yang tidak menjamin kesejahteraan ekonomi masyarakat Muslim.

Namun faktanya, menguatnya identitas Hindu dibawah partai berbasis agama BJP juga mengurangi pelayanan dan pengakuan negara terhadap warga Muslim dan Kristen. India dalam pimpinan BJP telah mengeluarkan kebijakan konversi masjid-masjid di era Mughal menjadi kuil Hindu, mengubah status otonomi Jammu dan Kashmir menjadi Union Territory, dan mengeluarkan warga Muslim yang telah tinggal dalam waktu lama di India dari status kewarganegaraan.

Kasus India merefleksikan satu hal, yakni bahwa kuatnya identitas mayoritas di suatu negara, meski ia merupakan faktor pembangun bangsa dan negara, serta menjaga kontrol sosial, namun  memiliki sifat untuk mengesampingkan hak-hak minoritas yang secara agama, ras, dan budaya berbeda dari mayoritas. Pada titik inilah, populisme agama berlawanan dengan perlindungan kepada minoritas. Naiknya BJP juga menggunakan populisme ekonomi kerakyatan untuk tampil cemerlang dalam kompetisi sengit melawan ribuan partai politik.

Partai politik religius di negara lain

Nama Rachid Ghannouchi muncul dalam tema Islam, politik Islam, dan demokrasi. Usai masa pengasingan ke London, pemikir dan aktivis oposisi rezim Ben Ali ini kemudian kembali ke Tunisia pada 2011 dan memimpin gerakan An-Nahdhah, gerakan yang membawa semangat perubahan pada politik Tunisia.

Meski An-Nahdhah dibangun oleh para mantan aktivis Jamaah al Islamiyah yang menyutujui Islamisme, namun sikap politik An-Nahdhah bersifat progresif. Ghannouchi yang dikenal sebagai demokrat tulen membawa An-Nahdhah pada sikap akomodatif terhadap oposisi dan kelompok yang berseberangan dengan mereka. Partai ini juga memiliki keberpihakan pada, pemerataan kesejahteraan, keterpenuhan hak-hak perempuan, kesetaraan gender, pluralisme politik dan kebebasan berpendapat. An-Nahdhah merupakan contoh langka dari partai politik berbasis agama yang sepak terjangnya menunjukkan bahwa identitas keagamaan bukanlah penghalang bagi terlaksananya politik progresif yang inklusif.

Berpindah ke Jerman, CDU merupakan partai politik berbasis agama Kristen yang mendukung ekonomi pasar bebas. Tak seperti Partai Christian Social Union (CSU), CDU dibawah Angela Merkel mengambil langkah yang lebih moderat. Merkel kerap mengajak untuk berlaku tolerasi dan hidup bersama.

“Sebelum dipimpin Merkel, CDU lebih konservatif. Merkel mengajak CDU lebih ke tengah. Nilainya toleransi dan hidup bersama,” ujar Dosen Hubungan Internasional Universitas Slamet Riyadi, Ganjar Widhiyoga pada diskusi yang sama.

Sayangnya, populisme kanan yang tengah menguat di Jerman dengan isu anti pengungsi muslim membuat CDU mendapatkan kritik dari sebagian konstituen. CDU mengizinkan pengungsi muslim untuk masuk ke Jerman.

“Pengikut CDU ada yang kecewa karena CDU mengizinkan pengungsi muslim masuk ke Jerman. Makanya mereka lebih memilih SPD (Social Democratic Party),” pungkas Slamet.

Di Indonesia, partai politik berbasis agama telah ada sejak awal Kemerdekaan. Pasca Reformasi, terdapat sedikitnya enam partai berbasis agama, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sosial (PKS), Partai Damai Sejahtera (PDS), dan Partai Bulan Bintang (PBB). Tak ada dari partai-partai ini yang menyerukan permusuhan terhadap agama minoritas. Namun, keinginan untuk meraup simpati moral mayoritas membuat kelompok rentan seperti transgender masih menjadi korban bullying dalam kampanye-kampanye pemilu.

Ada ragam sifat dari fenomena partai politik berbasis agama di berbagai negara. Ada partai yang dengan sengaja untuk menarik dukungan mayoritas membawa narasi yang mengeksklusi dan mendiskriminasi minoritas, namun ada pula yang membawa platform politik inklusif.

Dari artikel Rosenblum, partai politik berbasis agama yang tak memiliki dukungan besar masyarakat seringkali dibiarkan karena skala kecil dinilai bukan ancaman. Namun, partai berbasis agama dengan dukungan besar kerap dilihat sebagai ancaman dengan berbagai alasan, seperti bahwa partai-partai tersebut anti demokrasi, memunculkan politik identitas yang merugikan minoritas, dan bersikap diskriminatif.

Alasan-alasan tersebut mestilah dievaluasi secara kritis, sebab, diskriminasi dan permusuhan terhadap minoritas merupakan hal negatif, namun mencabut hak untuk membentuk partai politik juga tindakan non demokratis.