August 8, 2024

Partisipasi Politik Kelompok Difabel

Kelompok difabel awalnya dikenal dengan sebutan penyandang cacat/disabilitas. Kata difabel merupakan singkatan dari “different ability”, yang menggantikan sebutan  awalnya seperti penyandang cacat dan penyandang disabilitas. Orang yang dianggap memiliki kebutuhan khusus tidak dianggap sebagai memiliki keterbatasan, melainkan setara dengan orang-orang lainnya, maka dari itu mereka bukan dianggap tidak mampu tapi memiliki kemampuan yang berbeda. Terminologi difabel lebih akrab digunakan di Indonesia daripada secara internasional. Istilah universal yang masih kerap digunakan adalah penyandang disabilitas/disability.

Kelompok difabel telah menjadi salah satu sasaran pemilih oleh KPU disamping kelompok pemilih perempuan, pemula, marjinal, dan keagamaan. Secara representasi di kalangan masyarakat sipil, melalui LSM maupun komunitas kelompok difabel cukup berkontribusi dalam upaya advokasi kepentingan difabel. Namun lain halnya ketika berbicara mengenai representasi difabel di pemerintahan maupun dalam proses partisipasi politik.

Sebagian besar difabel yang bekerja di pemerintahan hanya seputar dinas sosial dan dinas pendidikan (pengajar khusus untuk SLB). Sedangkan dalam konteks partisipasi politik, gerakan peduli difabel ditandai dengan hadirnya beberapa organisasi besar yang memayungi kepentingan difabel seperti PPUA Penca, PPDI, HWPDI, dan Pusat Kajian Disabilitas UI. Gerakan LSM tersebut pada umumnya masih mengalami kendala terutama dari segi belum adanya kebijakan yang pro-difabel.

Partisipasi Politik

Kelompok difabel yang diwakilkan oleh gerakan LSM Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) baru-baru ini turut mendorong dalam perumusan RUU Disabilitas dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) tahun ini. Urgensi dari penyusunan RUU disabilitas ini merupakan tuntutan kelompok penggiat advokasi difabel mengenai posisi difabel yang masih belum kuat secara representatif di masyarakat maupun di hadapan negara.

Draf RUU yang disusun itu di dalamnya terdapat bagian yang memuat mengenai kebebasan dasar dan hak difabel. Salah satunya mengenai hak berpolitik, di mana pemerintah menjamin dan melindungi hak difabel dalam kesamaan hak berpolitik. Hak ini sudah termasuk baik itu hak untuk memilih maupun hak untuk dipilih. Hal lainnya yang juga tidak kalah penting adalah mengenai adanya ketersediaan sarana dan prasarana yang aksesebilitas dan tidak adanya persyaratan yang diskriminatif  bagi penyandang disabilitas dalam pemilu agar dapat menyalurkan hak politiknya secara langsung, umum, bebas dan rahasia.

Namun pada kondisi riil di masyarakat, posisi difabel masih menjadi subjek diskriminasi dan eksklusi sosial. Baru-baru ini muncul kabar yang cukup mengejutkan, KPU pusat tidak menyediakan surat suara dengan template Braille untuk penyandang tuna netra. Dari keseluruhan surat suara yang dialokasikan, hanya surat suara DPD saja yang menyediakan template Braille, sedangkan surat suara DPR tidak menyediakannya. Kebijakan sementara untuk menangani hal tersebut adalah dengan mengizinkan adanya pendamping atau pihak ketiga bagi difabel ketika memilih di TPS.

Jika merujuk pada RUU disabilitas, tidak disediakannya fasilitas atau alat yang memudahkan akses difabel ketika memilih ini bisa dikategorikan sebagai praktik diskriminasi. Sebab, ketika digunakan mekanisme pendamping, peluang kerahasiaan pilihan difabel di pemilu sangat kecil. Padahal telah disebutkan bahwa hak politik difabel dapat disalurkan dengan umum, bebas, dan rahasia.

Meskipun begitu, upaya gerakan kelompok advokasi difabel dalam mendorong RUU disabilitas masuk dalam prolegnas perlu diapresiasi. Jika payung hukum bagi difabel secara nasional telah jelas maka kemungkinan untuk meningkatkan partisipasi politik pemilih difabel juga akan terbuka lebar. []

FEBRILLIAN PRATAMI
Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia