October 15, 2024

Pasca Putusan Bawaslu, Perludem dan APHTN Usulkan Dua Pilihan kepada KPU

Senin (14/1), Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara (APHTN) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyelenggarakan diskusi bertajuk “Catatan terhadap Putusan Bawaslu No.008/2018 tentang Pelanggaran Administrasi Pemilu oleh KPU terkait Pencalonan DPD”. Dalam diskusi tersebut, APHTN dan Perludem mengusulkan dua pilihan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam rangka menindaklanjuti putusan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Opsi pertama, tidak melaksanakan putusan Bawaslu. Opsi kedua, menindaklanjuti dengan meminta Oesman Sapta Odang (OSO) untuk menyerahkan surat pernyataan berkekuatan hukum yang menyatakan bahwa yang bersangkutan bersedia mengundurkan diri apabila terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) periode 2019-2024 pada Pemilu 2019.

“Tidak ada opsi untuk melaksanakan putusan Bawaslu sebagaimana adanya karena inkonstitusional. Jadi, pilihannya dua, tidak melaksanakan dengan menjawab dengan surat, atau tidak melaksanakan langsung tetapi meminta syarat dulu untuk memastikan kalau yang bersangkutan akan mengundurkan diri kalau terpilih,” tegas Ketua APHTN wilayah Jakarta Raya, Bivitri Susanti, di gedung Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Kuningan, Jakarta Selatan.

Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, mendorong KPU agar tetap berpegang pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.30/2018. KPU tak dapat menggunakan asas lex posterior derogat legi priori, yakni asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang terbaru mengesampingkan hukum yang lama, sebab asas tersebut hanya berlaku jika putusan dikeluarkan oleh lembaga pengadilan yang setara.

“Tidak bisa KPU menggunakan pendekatan seperti itu. Itu hanya bisa dilakukan pada putusan lembaga yang  setara. Nah, kasus sekarang, saat KPU diperhadapkan pada empat putusan yang berbeda, KPU harus merujuk pada putusan MK,” tandas Titi.

Titi juga mendorong agar KPU berlaku adil sebagaimana amanat Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. 203 pengurus partai politik telah mengundurkan diri dari kepengurusan partai karena menaati putusan MK, maka OSO yang merupakan pengurus partai politik mesti juga menaati putusan MK dengan mengundurkan diri sebagai pengurus partai.

“Kalau KPU mengikuti putusan Bawaslu, maka KPU secara terang-benderang telah berlaku tidak adil kepada 203 pengurus partai yang sudah taat, mampu, dan konsisten menjalankan putusan MK. Yang sudah undur diri ini termasuk, Mahyudin, Wakil Ketua MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), dan Fadel Muhammad,” ujar Titi.

Titi menilai, putusan Bawaslu offside dari UUD 1945 dan UU Pemilu No.7/2017. Amar putusan Bawaslu poin kedua hingga kelima tak memiliki rujukan hukum. Tata cara, prosedur, dan mekanisme dalam pelanggaran administrasi mestinya mengacu pada UUD 1945 dan UU Pemilu. Dengan demikian, menurut Titi, Bawaslu telah menciptakan norma baru yang tak ada cantolan hukumnya.

“Prosedur, tata cara, dan mekanisme yang dimana yang dirujuk Bawaslu? UUD 1945 tidak ada, UU Pemilu tidak ada, putusan MA (Mahkamah Agung) tidak ada, dan putusan PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) juga bunyinya tidak begitu,” tegas Titi.

Norma baru yang dibuat Bawaslu dipandang akan menimbulkan pelanggaran administrasi baru. Jika KPU melaksanakan, maka KPU menyelenggarakan pemilu yang tidak berlandaskan hukum. Di UU Pemilu, kata Titi, tak ada norma yang menyatakan KPU dapat dipidana jika tidak melaksanakan Putusan MK.