November 27, 2024

Pelestarian Demokrasi OLEH R WILLIAM LIDDLE

Di luar ekspektasi kebanyakan pengamat, demokrasi sudah bertahan lebih dari 20 tahun di Indonesia. Kenapa? Ada tiga faktor menonjol. Pertama, kepuasan sebagian besar masyarakat dengan pembangunan ekonomi pada masa itu.

Kedua, kestabilan politik selama lebih dari 15 tahun. Terakhir, desentralisasi kekuasaan, terutama ke kabupaten dan kota, yang menciptakan puluhan ribu pendukung baru demokrasi yang memegang posisi-posisi strategis.

Kepuasan masyarakat dengan pembangunan terlihat tatkala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertarung kembali dengan Megawati Soekarnoputri pada 2009. Sebanyak 79 persen bersikap positif terhadap kepemimpinan umumnya.

Kebijakan antikorupsinya disukai oleh 89 persen, sementara 66 persen menyetujui kebijakannya untuk mempertahankan harga rendah, dan 54 persen mendukung upayanya mengurangi kemiskinan (Mujani, Liddle, dan Ambardi, Voting Behavior in Indonesia Since Democratization, 2018).

Mirip rekor SBY, kepemimpinan umum Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai positif oleh 71 persen dari masyarakat dalam survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada April 2019. Angka positif juga diraih di beberapa bidang, sebagian sesuai dengan janji kampanyenya pada 2014.

Misalnya, sebanyak 71 persen senang karena jalan umum lebih baik, 62 persen mengapresiasi pembangunan jalan tol di luar Jawa, dan 60 persen berkesan positif terhadap pembangunan jalan trans/lintas antarprovinsi di luar Jawa (SMRC 2020).

Di luar ekspektasi kebanyakan pengamat, demokrasi sudah bertahan lebih dari 20 tahun di Indonesia.

Dua ancaman serius

Kestabilan politik diawali ketika Megawati menerima kemenangan SBY pada 2004. Dia meneruskan tradisi yang dipelopori Presiden BJ Habibie pada 1999 ketika ia (Megawati) dikalahkan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Perlu dicatat bahwa sebelum Habibie, belum ada presiden yang bersedia turun dari jabatannya sesuai dengan peraturan demokratis.

SBY dan Jokowilah di antara yang paling bertanggung jawab pada masa pemerintahannya. Kuncinya, strategi masing-masing untuk dipilih kembali. Strategi itu menuntut dua upaya. Setiap presiden harus bersikap peka secara langsung kepada keinginan masyarakat pemilih. Hal itu telah terbukti dengan perhatian dan kepercayaan masing-masing presiden terhadap survei-survei yang fokus pada kinerja masa jabatan pertama.

Lalu, mereka harus menciptakan koalisi di DPR yang cukup kuat untuk tahan guncangan selama lima tahun. Mutlak pentingnya kooperasi partai-partai di DPR dengan presiden sering ditekankan oleh ilmuwan politik Djayadi Hanan, antara lain, dalam disertasinya di Ohio State University, Making Presidentialism Work: Legislative and Executive Interaction in Indonesian Democracy (2012).

Barangkali semua pengamat setuju bahwa hubungan SBY dan Jokowi dengan DPR, masing-masing pada 2009 dan 2019, bersifat akrab. Yang dipersoalkan, apakah keduanya telah mengorbankan terlalu banyak untuk mencapai keakraban itu? Dua keberatan utama: radikalisme yang seakan-akan maju terus tanpa perlawanan sama sekali dari dua presiden itu; dan ketidakmerataan ekonomi, yang sulit ditangani oleh politisi yang berada dalam sistem kekuasaan korup.

Dua ancaman itu serius sekali, tetapi perlu ditangani dalam kerangka demokratis. Mudah-mudahan presiden-presiden ke depan akan didorong oleh kekuatan-kekuatan dari bawah yang muak dengan korupsi dan pengaruh berlebihan para pengusaha besar.

Dua ancaman itu serius sekali, tetapi perlu ditangani dalam kerangka demokratis.

Kalau radikalisme, rintangan pertama adalah kegamangan politisi moderat yang belum bisa diatasi oleh partai atau pemimpin mana pun. Sayangnya, gejala ketakutan itu berada di mana-mana, termasuk Amerika Serikat.

Desentralisasi kekuasaan

Desentralisasi kekuasaan, khususnya ke kabupaten dan kota, merupakan pilar ketiga yang menopang demokrasi selama ini.

Di seantero negara, masyarakat sudah berpuluh tahun jenuh dengan sentralisasi berlebihan. Penelitian kualitatif saya menunjukkan tak ada daerah, termasuk Jakarta dan Kulon Progo, yang tidak mau memerintah diri sendiri.

Survei ilmiah yang paling meyakinkan tentang para legislator di daerah dilakukan oleh tim yang dikepalai Ed Aspinall dari Australian National University dan baru diterbitkan di jurnal Democratization (27/4/2020).

Judulnya menunjukkan keprihatinan tim tentang masa depan demokrasi di Indonesia: Elites, Masses, and Democratic Decline in Indonesia. Namun, penemuan pokoknya, sebanyak 85 persen dari seluruh legislator bersikap ”liberal” atau liberal-leaning.

Makna liberal: dukungan pada pemilu bebas, sistem multipartai, kewajiban anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mengawasi pemerintah, dan kebebasan dari korupsi.

Kita boleh meragukan sejauh mana para legislator melawan korupsi, tetapi sikap-sikap lain menunjukkan dua hal. Kepentingan sebagian besar anggota DPR-DPRD telah terwujud dalam prosedur-prosedur demokratis. Dan kedua, ”sebagian yang juga signifikan sudah mendukung demokrasi perwakilan secara ideologis”.

Hal-hal itu sulit digugat sekarang, khususnya mengingat ketatnya ikatan kepentingan yang berdasarkan pendapatan dan status.

Akhirul kata, bagaimana cara terbaik untuk melestarikan demokrasi ke depan? Peran paling penting harus dimainkan oleh pertumbuhan ekonomi sebesar dan serata mungkin, pemerintahan nasional stabil, dan penerusan pemerintahan otonom luas oleh para kepala daerah dan anggota DPRD di tingkat kabupaten dan kota.

Tentu tanpa mengabaikan penciptaan strategi dan taktik kreatif untuk mengukuhkan kekuatan pro-pemerataan dan antiradikalisasi!

R William Liddle, Pemenang Anugerah Kebudayaan 2018, Profesor Emeritus Ohio State University, Columbus

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 18 Agustus 2020 di halaman 7 dengan judul “Pelestarian Demokrasi”. https://www.kompas.id/baca/opini/2020/08/18/pelestarian-demokrasi/