JAKARTA, KOMPAS – Penyelenggara Pemilu masih mengupayakan agar hak pilih sekitar 849.000 calon pemilih yang dicoret dari daftar pemilih karena belum mempunyai kartu tanda penduduk elektronik tetap bisa diakomodasi. Komisi Pemilihan Umum mengupayakan agar sebagian besar dari jumlah pemilih itu bisa masuk dalam daftar pemilih sebelum batas waktu mulainya produksi surat suara Pilkada Serentak 2018.
Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, penyusunan daftar pemilih berbasis KTP-el atau surat keterangan KTP-el. Pemilih yang belum memiliki bukti kependudukan itu tidak bisa diakomodasi dalam daftar pemilih.
Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pramono Ubaid Tanthowi, di sela-sela Rapat Koordinasi Penetapan Daftar Pemilih Tetap Pemilihan Tahun 2018 di Jakarta, Rabu (9/5) menuturkan, dalam komunikasi antara KPU dengan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil, Kemendagri, sudah ada komitmen dari Kemendagri untuk memeriksa ulang data kependudukan pemilih yang terindikasi belum punya KTP-el atau surat keterangan pengganti KTP-el.
“Sejauh ini masih tersisa 849.000 orang. Data itu akan dicek kembali di data perekaman KTP-el atau data SIAK (sistem informasi administrasi kependudukan) KTP lama. Akan diperiksa sekali lagi lebih teliti, kemudian jika masih ada yang tersisa tentu harus ada jalan keluar yang radikal,” kata Pramono.
Menurut dia, upaya maksimal harus dilakukan karena hak pilih warga harus dilindungi. Apalagi, ratusan ribu nama itu sudah didapat dari proses pencocokan dan penelitian daftar pemilih di lapangan. Namun, dia juga menyebut, angka 849.000 orang itu sebenarnya sudah jauh berkurang dibandingkan data awal 7,6 juta pemilih saat penetapan daftar pemilih sementara. Dia berharap jumlah itu masih tetap bisa ditekan.
“Harus dicari jalan keluar. Di Pilkada 2017, lalu sempat ada surat keterangan khusus untuk memilih di hari pemungutan suara saja yang tidak ada foto dan barcode. Tapi kami belum sampai membahas ke sana,” kata Pramono.
Potensi persoalan
Dalam rapat koordinasi antara KPU RI dengan KPU provinsi di 31 provinsi, muncul pula potensi persoalan pemilih di lembaga pemasyarakatan di sejumlah provinsi. Anggota KPU Sumatera Utara Nazir Salim Manik menuturkan, ada 24.938 warga binaan di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan di Sumatera Utara. Mereka tidak bisa masuk dalam DPT karena belum punya KTP-el atau surat keterangan pengganti KTP-el. Setelah ada koordinasi KPU Provinsi dengan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil setempat serta Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM, baru 4.000 di antaranya mendapat dokumen kependudukan.
“Mohon ada koordinasi antara KPU RI, Bawaslu dengan mengundang Direktorat Jenderal Dukcapil dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan,” katanya.
Anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar yang hadir dalam rapat koordinasi itu menuturkan, upaya untuk mengatasi adanya ratusan ribu pemilih yang belum punya KTP-el masih menjadi fokus Bawaslu, KPU, dan Direktorat Jenderal Dukcapil. Para pemilih itu tengah diupayakan untuk bisa masuk dalam DPT atau dalam daftar pemilih tambahan (DPTb) dengan datang ke tempat pemungutan suara di satu jam terakhir waktu pemungutan suara. Namun, mereka tetap harus punya dokumen kependudukan.
“Kami juga perlu koordinasi dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan karena banyak nama-nama pemilih di lembaga pemasyarakatan. Ini bukan soal jumlah, tetapi mengenai potensi suara hilang dan potensi orang kehilangan hak suara,” kata Fritz. (ANTONY LEE)
Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 11 Mei 2018 di halaman 4 dengan judul “Peluang Akomodasi Masih Terbuka”. https://kompas.id/baca/polhuk/2018/05/11/peluang-akomodasi-pemilih-masih-terbuka/