Wacana untuk menghidupkan kembali Garis Besar Haluan Negara (GBHN) mencuat pasca kongres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) digelar pada 8-11 Agustus 2019. PDIP mengeluarkan 23 rekomendasi, salah satunya amandemen terbatas terhadap konstitusi untuk menetapkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara yang berwenang menetapkan GBHN sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan dan haluan agar pembangunan berkelanjutan.
Rekomendasi tersebut dikritik oleh Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi. Menurutnya, wacana mengembalikan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan menetapkan GBHN merupakan isu yang dijadikan sebagai pintu masuk untuk amandemen terbatas. Veri menduga ada agenda terselubung dibalik wacana amandemen terbatas, yakni kembali kepada sistem pemilihan presiden tidak langsung atau dipilih oleh MPR.
“Menurut saya, kalau membaca rentetan isu yang diangkat, ini bukan hanya soal GBHN. GBHN bukan isu sentral yang diusung sebenarnya, tetapi pintu masuk yang didorong untuk amandemen. Pemilihan presiden tidak langsung, itu yang saya duga sebagai agenda terselubung isu amandemen konstitusi terbatas,” tandas Veri pada diskusi “Amandemen Konstitusi, Kepentingan Rakyat atau Berebut Kuasa?” di Gondangdia, Jakarta Pusat (14/8).
Veri menyayangkan langkah PDIP yang mengeluarkan rekomendasi politik penguatan MPR disaat Pemilu 2024 diprediksi oleh banyak pihak akan menghadirkan tokoh–tokoh muda sebagai calon presiden dan calon wakil presiden. Jika pemilihan presiden kembali dipilih oleh MPR, maka kesempatan utuk rakyat Indonesia memiliki presiden dari kalangan muda dan baru jauh dari kata mungkin.
“2024 itu momen baik bagi bangsa untuk mendapatkan tokoh-tokoh politik baru, muda, dalam kontes politik naisonal. SBY tidak akan maju lagi, Jokowi sudah dua periode. Megawati dan Prabowo harusnya sudah selesai. Amien Rais gak mungkin lah masa mau maju. Nah, hari ini banyak tokoh-tokoh muda yang akan muncul. Ini udara segar. Kalau sampai ditarik kembali proses politik kita ke pemilihan presiden tidak langsung, ini suatu kemunduran,” ujar Veri.
Menurutnya, pemilihan presiden secara langsung dalam konteks politik Indonesia lebih baik dari pemilihan presiden secara tidak langsung. Pemilihan langsung memberikan ruang bagi munculnya tokoh-tokoh baru diluar elit politik. Presiden Joko Widodo contohnya, merupakan figur di luar lingkaran elit politik.
“Risma misalnya dulu, siapa? Apalagi Jokowi, siapa Jokowi? Tapi karena mereka punya kontribusi yang baik, orang melihat dia sebagai potential leader ke depan. Padahal mungkin partai tidak kepikiran untuk memunculkan orang baru di luar lingkaran mereka,” kata Veri.