Pemilihan umum yang ”luberjurdil” (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil) dan diselenggarakan setiap lima tahun sekali oleh Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri adalah salah satu perubahan atas dan tambahan pada UUD NRI 1945 yang disepakati pada Sidang Tahunan MPR, 9 November 2001.
Pemilu tak dicantumkan dalam UUD NRI 1945 yang semula, bukan tanpa sengaja. Berpidato di dalam sidang BPUPK, 31 Mei 1945, Soepomo, yang kemudian jadi ketua Tim Kecil Panitia Hukum Dasar Penyusun Rancangan UUD 1945, antara lain mengemukakan hendaknya mengangkat pemimpin negara itu jangan menurut sistem demokrasi Barat, karena sistem itu berdasar atas paham perseorangan.
Soepomo menolak paham perseorangan karena sistem itu menyamakan manusia satu sama lain seperti angka-angka belaka yang semuanya sama harganya (Sekneg, Risalah BPUPKI/PPKI, 1995, hlm 42). Pendapat itu sebangun dengan Jean Bodin, filsuf Perancis abad ke-16, yang menyatakan, sistem terburuk adalah sistem kedaulatan rakyat atau demokrasi karena suara rakyat dihitung berdasarkan jumlah, bukan ditimbang, sementara jumlah orang bodoh, pendosa, dan penipu beribu kali lebih banyak daripada orang jujur (Bodin dalam MJ Tooley, 2009, hlm 230-239).
Pendapat Mohammad Hatta dalam persidangan BPUPK 15 Juli 1945, agar hak suara, hak berserikat dan berkumpul dicantumkan dalam UUD ditolak karena dinilai tak sesuai paham kekeluargaan (Risalah, hlm 262, 276). Pendapat Hatta anggota DPR harus dipilih rakyat juga diabaikan. Sebaliknya, Iwa Kusumasumantri berpendapat anggota DPR diangkat MPR, sedangkan anggota MPR terdiri dari anggota DPR dan utusan golongan yang diangkat. Jadinya mbulet (Risalah, hlm 430- 431). Sampai UUD NRI 1945 disahkan 18 Agustus 1945 tak jelas bagaimana cara memilih dan mengangkat anggota DPR.
Pemilu pertama 1955 dilaksanakan pada masa Indonesia berdasar UUD Sementara 1950 yang menganut sistem parlementer. Pelaksanaannya berdasar UU No 17/1953 tentang tata cara pemilihan anggota DPR dan anggota Konstituante. Pada masa UUD NRI 1945 berlaku, enam pemilu dilaksanakan di masa Orde Baru. Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 dilaksanakan berdasar UU.
Semula, pemilu berikutnya akan dilaksanakan 2002, tetapi gerakan reformasi 1998 mengakhiri era Orde Baru. Tap No XIV hasil Sidang Istimewa MPR 1998 mempercepat pemilu menjadi Juni 1999. Juga ditegaskan, Pemilu 1999 harus ”luberjurdil”. Sejumlah parpol baru dapat ikut dalam pemilu sehingga jumlah peserta pemilu 1999 adalah 48 parpol (3 lama, 45 baru). Pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam UU No 3/1999 tentang Pemilu.
Pasal 8 UU Pemilu menyatakan, penanggung jawab pemilu adalah presiden dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dibentuk sebagai penyelenggara pemilu. KPU punya 53 anggota yang terdiri dari 48 wakil parpol peserta pemilu dan 5 wakil pemerintah. Rudini, wakil partai MKGR, seorang jenderal purnawirawan dan mantan Mendagri, disepakati jadi Ketua KPU. Selanjutnya, berdasar Pasal 10 (c) UU No 3/1999, KPU membentuk Panitia Pemilihan Umum Indonesia (PPI) sebagai pelaksana pemilu. PPI juga terdiri atas 48 wakil parpol, dipimpin ketua dan wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota KPU. Saya, anggota KPU dari PDI-P, jadi ketua terpilih PPI.
Pasal 13 UU Pemilu menugaskan PPI membentuk dan mengoordinasikan kegiatan PPD tingkat I di seluruh Indonesia, menetapkan nama calon anggota DPR di setiap dapil, melaksanakan pemilu untuk memilih anggota DPR dan menghitung suara hasil pemilu untuk menentukan anggota DPR terpilih. Pasal 24 mengatur pengawasan melekat dilakukan Panwas. Pelaksanaan Pemilu 1999 juga diawasi berbagai pihak independen dari dalam negeri, seperti LSM, jaringan 14 universitas di Indonesia, Forum Rektor, dan dari luar negeri, seperti Carter Center dari AS..
Pemilu 1999 terselenggara dengan baik. Tabulasi perhitungan suara dilakukan berjenjang dari TPS, KPPS, PPD II, PPD I, dan PPI. PPI berhasil melakukan tabulasi tingkat nasional dan menetapkan hasil Pemilu 1999 dengan keputusan PPI No 335/15/VII/1999 tanggal 26 Juli 1999 yang ditandatangani pimpinan PPI dan semua wakil parpol anggota PPI. Selanjutnya, tabulasi hasil pemilu dilaporkan kepada KPU untuk dinyatakan sebagai hasil pemilu secara nasional.
Namun, KPU tak berhasil mengesahkan; 27 dari 48 parpol peserta Pemilu 1999 menolak mengesahkan karena menganggap terjadi banyak kecurangan dalam pelaksanaan pemilu. Tuduhan tak dapat dibuktikan. Parpol yang tak dapat kursi menuntut agar masing-masing memperoleh 1 kursi di DPR/ MPR. Untuk mencegah kekosongan politik dengan berbagai risikonya, PPI menyampaikan tabulasi hasil pemilu kepada Presiden dan meminta Presiden sebagai penanggung jawab pemilu mengesahkan hasil Pemilu 1999. Berdasarkan keputusan PPI itu, dan pertimbangan dari Panwaslu Pusat No 427/Panwaspus/VII/1999, Presiden Habibie mengesahkan hasil Pemilu 1999 dengan Keppres No 92/1999, 4 Agustus 1999.
Pemilu era Reformasi
Pemilu 1999 memberi pelajaran amat berharga dan masukan penting pada amendemen UUD NRI 1945. Pemilu adalah sebuah proses memilih orang untuk mengisi jabatan politik tertentu. Mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, hingga kepala desa. Namun, seperti istilah demokrasi, negara hukum dan sebagainya, istilah pemilu tak dengan serta-merta menjelaskan maknanya.
Pemilu bisa berarti sekadar upacara untuk mengesahkan pejabat yang telah ditentukan sebelumnya, seperti di negara- negara otoriter dengan sistem satu partai, atau sekadar ritual formalitas karena pemenang sudah ditentukan. Juga bisa diartikan cara menentukan sistem politik yang akan dianut suatu negara seusai krisis politik dan sebagainya. Karena itu, perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan pemilu di Indonesia.
Pemilu di Indonesia merupakan mekanisme sirkulasi kekuasaan secara berkala lima tahunan, diselenggarakan secara ”luberjurdil” oleh badan independen yang bersifat tetap dan nasional. Melalui pemilu, kita memilih pasangan presiden/ wapres, anggota DPR/DPRD I/DPRD II dan anggota DPD. Bersama dengan prinsip kedaulatan rakyat, negara hukum dan supremasi konstitusi, pembagian dan pembatasan kekuasaan (checks and balances), penghormatan atas HAM dan peradilan yang merdeka, yang tertanam dalam UUD NRI 1945 setelah amendemen, sirkulasi kekuasaan lewat pemilu membentuk Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga.
Berpikir runut dalam kesisteman, pemilu Indonesia merupakan instrumen atau subsistem dari sistem induk NKRI berdasar Pancasila dan UUD NRI 1945. Sebagai subsistem, pemilu sepenuhnya wajib taat asas pada sistem induknya. Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI 1945: ”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Jadi, perencanaan dan pelaksanaan pemilu, termasuk kampanye, harus sesuai dan tak bertentangan dengan prinsip yang dianut UUD 1945, baik yang terkandung dalam Pembukaan maupun pasal-pasalnya, terutama Pancasila, NKRI, dan wawasan kebangsaan Bhinneka Tunggal Ika.
UUD NRI 1945 hasil amandemen juga menegaskan, parpol merupakan instrumen konstitusi dalam menjalankan kehidupan bernegara yang demokratis. Jadi, parpol adalah juga subsistem dalam keseluruhan sistem NKRI yang berdasar Pancasila dan UUD NRI 1945. Eksistensi dan kiprah parpol sebagai instrumen konstitusi tak boleh bertentangan dengan prinsip eksistensial negara sebagaimana ditegaskan Pasal 1 Ayat (2). Di Indonesia yang berpenduduk sangat majemuk tetapi bersatu, Bhinneka Tunggal Ika, keberadaan parpol sebagai penyerap, pemadu dan penyalur aspirasi rakyat yang majemuk dan bersatu perlu ditegakkan.
Di pihak lain, ketentuan Pasal 1 Ayat (2) membentuk ruang amat luas bagi demokrasi yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Ketentuan itu juga tak membenarkan aktivitas demokrasi di luar ruang yang amat luas ini. UUD NRI 1945 menyatakan, peserta pemilu adalah parpol, bukan perseorangan, kecuali pemilu anggota DPD. Yang mengajukan capres/cawapres dan caleg adalah parpol. Dalam rancangan demikian, yang bertanggung jawab menetapkan calon dan memenangkan calon-calonnya adalah parpol peserta pemilu.
Kesadaran warga negara
Berdasar urutan prioritas calon yang akan dimenangkan, calon disusun parpol dalam sebuah daftar calon, yaitu daftar calon tertutup. Selanjutnya, parpol bertanggung jawab sepenuhnya dan calon setiap parpol bekerja sebagai satu tim memenangi pemilu bagi partainya. Sebaliknya, dalam sistem daftar terbuka, tiap calon terdorong berlomba-lomba memenangkan diri masing-masing. Kelihatannya lebih ”demokratis”, tetapi politik identitas, politik suap, dan praktik ”jeruk makan jeruk” akan marak berkembang. Peran parpol sebagai instrumen konstitusi untuk menyerap, memadukan, dan menyalurkan aspirasi keragaman tak terjadi. Parpol lebih sebagai event organizer. Bahkan, dalam sistem daftar terbuka, setiap lima tahun sekali, terutama di akar rumput masyarakat, terjadi perusakan fondasi tatanan kebangsaan Bhinneka Tunggal Ika dan negara kesatuan kita.
DPD adalah lembaga khas Indonesia, sebuah sui-generis. DPD tak tergolong sistem bikameral. Dalam NKRI, sumber kedaulatan tetap satu, seluruh rakyat Indonesia. Namun perlu mekanisme agar kepentingan khas daerah, yang amat beragam itu, turut membentuk kebijakan nasional, sesuai moto Bhinneka Tunggal Ika, yang tak hanya menekankan ke-tunggal-an. Kebinekaan adalah potensi yang perlu direalisasikan menjadi kekuatan konvergen mencapai cita-cita bangsa. Itulah sebabnya, pencalonan anggota DPD adalah perseorangan, tak terikat parpol, agar kepentingan khas daerah tak terkooptasi dalam platform atau kepentingan parpol tertentu.
Pilkada tak termasuk rezim pemilu yang dimaksud di UUD NRI 1945. Itu kebijakan di tingkat UU. UUD mengharuskan pilkada dilakukan secara demokratis. Di DIY, Papua, dan Aceh, pilkada dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kekhasan sebagaimana dinyatakan Pasal 18B UUD NRI 1945. Calon perseorangan di pilkada, walau sering dianggap faktor koreksi dan demokratis, mengganggu konsolidasi parpol dan mendorong peningkatan sentimen politik identitas dan politik uang.
Oleh karena itu, realisasi dan konsolidasi parpol sebagai instrumen konstitusi amat penting. Parpol adalah alat perjuangan kelompok masyarakat bangsa yang punya visi dan misi tertentu tentang kehidupan berbangsa dan bernegara. Parpol berada di tengah, menjembatani supra dengan infrastruktur politik negara. Parpol terdiri atas anggota dan pendukung yang memiliki ikatan organisatoris maupun emosional atas visi dan misi parpol. Ia menyerap aspirasi masyarakat, mengolah dan memadukannya sesuai visi dan misinya, dan menyalurkannya ke dalam mekanisme pembentukan kebijakan negara. Untuk itu, parpol perlu konsolidasi. Kepemimpinan parpol, selain mempertimbangkan ikatan emosional, juga memerlukan proses yang terbuka. Pembiayaan parpol seharusnya dicukupkan dari iuran anggota dan dari alokasi anggaran negara yang terbuka bagi pertanggungjawaban hukum.
Pelaku utama pemilu adalah rakyat, yang berhak memilih dan dipilih, sebagaimana diatur dalam UU. Sejalan dengan hak warga negara dalam negara, warga negara juga memiliki kewajiban merawat negara dalam kapasitas masing-masing. Untuk itu perlu ditegaskan bahwa memilih dalam pemilu bukan hanya hak, melainkan juga kewajiban. Semua yang berhak memilih wajib datang ke TPS pada hari-H. Harus dijamin setiap pemilih berhak untuk menggunakan haknya di TPS, yaitu memilih salah satu atau tak memilih siapa pun. Mereka yang tak datang ke TPS tanpa alasan yang sah, sakit, dan sejenisnya perlu memperoleh sanksi sepadan, misalnya dari lingkungan RT/RW masing-masing. Selain lebih menanamkan kesadaran warga negara, ketentuan ini diperlukan untuk memberantas calo suara dan politik suap yang sudah merajalela.
Jakob Tobing Anggota Komisi Pemilihan Umum 1999-2002, Ketua Panitia Pemilihan Umum Indonesia 1999, Anggota Panwaslu 1987 dan Wakil Ketua Panwaslu 1992
Dikliping dari artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Januari 2019 di halaman 7 dengan judul “Pemilihan Umum”. https://kompas.id/baca/utama/2019/01/29/pemilihan-umum-5/