December 24, 2024

Pemilu 2024 adalah Pemilu Terburuk Indonesia

Pemilu 2024 adalah pemilu terburuk sepanjang sejarah demokrasi Indonesia. Penilaian ini tidak menyertakan pemilu Orde Baru karena pada era pemerintahan otoriter ini yang diselenggarakan adalah pura-pura pemilu. Pemilu 2024 terburuk jika dibandingkan dengan pemilu lain pasca-Reformasi dan pemilu pertama Indonesia pada 1955.

Agar lebih jelas untuk sampai pada kesimpulan terburuk, kita perlu menyertakan sejumlah variabelnya. Tentu saja, variabelnya bukan persentase pengguna hak pilih yang mungkin bisa mengabaikan faktor mobilisasi atau perbandingan negara lain yang mewajibkan warganya untuk memilih di pemilu. Variabelnya ada pada kualitas aktor utama pemangku kepentingan dalam pemilu.

Jika pada pemilu sebelumnya, buruknya pemilu ditujukan pada peserta pemilunya, baik partai politik maupun calon, pemilu keenam pasca-Reformasi ini punya aktor yang bertambah buruk. Pertama, penyelenggara pemilu, khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kedua, Mahkamah Konstitusi (MK). Mari kita perjelasan gambaran buruk dua lembaga negara utama dalam pemilu Indonesia ini.

KPU Terburuk

KPU Pemilu 2024 adalah KPU terburuk sepanjang sejarah pemilu Indonesia karena penyelenggara utama pemilu ini mengeluarkan peraturan KPU yang bertentangan dengan undang-undang dan putusan MK. Di antaranya adalah PKPU pencalonan anggota DPR/DPRD yang mengaibakan pencalonan perempuan 30%, PKPU percepatan pencalonan mantan koruptor, dan PKPU daerah pemilihan.

Pemilu 2024 merupakan pemilu terburuk dalam sejarah afirmasi keterwakilan perempuan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berkewenangan menetapkan partai politik dan para calon legislator Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) malah mengabaikan undang-undang pemilu yang sudah menjamin pencalonan keterwakilan perempuan minimal 30% di tiap daerah pemilihan pemilu DPR dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Ketentuan Pasal 8 ayat (2) PKPU No.10 Tahun 2023 tentang formula penghitungan keterwakilan perempuan berupa pembulatan ke bawah, telah dikoreksi oleh MA melalui Putusan MA No.24 P/HUM/2023 pada 29 Agustus 2023. Putusan tersebut memerintahkan KPU untuk mencabut Pasal tersebut karena bertentangan dengan UUD, UU No.7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi CEDAW, dan UU Pemilu. Namun, sampai dengan ditetapkannya DCT, KPU mengabaikan perintah MA.

PKPU percepatan mantan koruptor adalah PKPU 10 & 11/2023. Lebih tepatnya, Pasal 11 ayat (6) PKPU 10/2023 tentang Pencalonan DPR/DPRD dan Pasal 18 ayat (2) PKPU 11/2023 tentang Pencalonan DPD. PKPU ini telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Menurut MA, dua ketentuan dalam PKPU ini bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juncto Putusan MK 87/PUU-XX/2022.

Putusan MA itu merupakan respon dari uji materi yang dilayangkan oleh koalisi masyarakat sipil. Para pemohon uji materi terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), serta dua mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu, Saut Situmorang dan Abraham Samad.

KPU pun mengabaikan Putusan MK 80/2022 tentang pembentukan daerah pemilihan DPR/DPRD. Permintaan MK untuk menyusun ulang dapil malah gagal dipahami KPU. Kalimat “Langkah yang mesti dilakukan adalah mengeluarkan rincian pembagian daerah pemilihan dan alokasi kursi dari Lampiran UU 7/2017 dan menyerahkan penetapannya kepada KPU melalui Peraturan KPU” tidak dapat diartikan secara letterlijk hanya mengeluarkan susunan dapil dalam Lampiran III dan Lampiran IV di UU 7/2017 dan menetapkanya di dalam Peraturan KPU.

MK dalam Paragraf [3.15.3] Putusan MK 80 /2022, juga memandang penyusunan dapil dan alokasi kursi sebagai tahapan pemilu yang seharusnya dilaksanakan oleh KPU, setelah merujuk pada norma Pasal 167 ayat (4) UU 7/2017. Dalam Paragraf [3.15.5], MK menekankan bahwa penyelenggaraan pemilu dilaksanakan oleh KPU yang mandiri, sehingga independensi penetapan dapil dan alokasi kursi dapat terjaga.

MK Terburuk

MK terburuk berkaitan dengan putusan MK 90/2023. Putusan ini telah melampaui kewenangannya. Sebagai kekuasaan yudisial, MK malah menambah norma hukum syarat capres/cawapres dalam UU 7/2017. Padahal ini kewenangannya DPR & Pemerintah sebagai pembentuk undang-undang. Padahal, jika mau menambah norma hukum politik muda seperti isi putusan itu, prosesnya ada di DPR/Pemerintah melalui revisi UU 7/2017 tentang Pemilu.

MK sebagai kekuasaan yudisial yang melindungi konstitusi, fungsi konkretnya adalah mengoreksi dengan menghapus ketentuan undang2 yang bertentangan dengan UUD, bukan menambahkan ketentuan baru. Selebihnya MK bisa memberikan argumen hukum untuk dipertimbahkan DPR/Pemerintah.

Penambahan ketentuan hukum usia capres/cawapres ini terlihat jelas ngawur jika kita bandingkan dengan ketentuan ambang batas pencalonan presiden. Pembatasan ini jelas bertentangan dengan UUD & MK bisa menghapusnya tapi malah diserahkan ke DPR/Pemerintah sbg open legal policy.

Usia minimal dan ambang batas pencalonan, keduanya sama, merupakan syarat calon presiden/wakil presiden. Dengan menambah norma baru dalam usia minimal, MK bukan hanya tidak konsisten tapi juga sudah melampaui kewenangannya.

Pembagian kekuasaan dan saling koreksi antar cabang kekuasaan adalah hal prinsipil dalam demokrasi sebagai sistem politik. MK mengoreksi hukum lalu membuat norma hukum baru usia capres/cawapres berarti kesewenangan menerabas triaspolitika. []

USEP HASAN SADIKIN