Koordinator Pengelolaan Pengetahuan Kalyanamitra, Lailatin Mubarokah mengatakan ada tiga kategori pelaku kekerasan berbasis gender (KBG). Kategori pertama yakni politik, sosial, dan negara. Pelaku dalam kategori ini termasuk pimpinan dan anggota partai politik, kandidat, dan simpatisan partai atau calon, yang melakukan intimidasi kepada pemilih. Sementara itu, keluarga dan tokoh masyarakat menjadi pelaku KBG dalam lingkup sosial. Konteks negara, penyelenggara pemilu dan aparat negara turut melakukan KBG di pemilu.
“Dari sosial, lingkungan terdekat yang mana merupakan keluarga, menjadi pelaku KBG seperti tidak mengizinkan istri mendaftarkan diri menjadi caleg, memaksa agar istri dan anak perempuan mengikuti pilihannya. Kemudian tokoh masyarakat, ikut menyebarkan narasi-narasi untuk tidak memilih caleg perempuan. Lalu negara menjadi bagian dari pelaku KBG dalam pemilu. Penyelenggara pemilu sedari awal tidak memilik perspektif gender, sehingga banyak proses penyelenggaraan pemilu yang rentan terjadi KBG,” tutur Lailatin pada diskusi “Hasil Pemantauan Kekerasan Berbasis Gender dalam Pemilu di Indonesia” (24/6).
Merespons hal tersebut, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Pramono Ubaid Tanthowi menilai mestinya Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mencopot Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Hasyim Asy’ari atas aduan pelecehan seksual oleh Ketua Umum Partai Republik Satu, Hasnaeni, kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Dalam Putusan DKPP No.35-PKE-DKPP/II/2023 dan No.39-PKE-DKPP/II/2023, meskipun DKPP menyatakan tidak teryakinkan oleh terjadinya kasus pelecehan seksual, namun DKPP menilai Hasyim melanggar prinsip profesional dengan melakukan komunikasi yang tidak patut dengan calon peserta pemilu sehingga mencoreng kehormatan lembaga penyelenggara pemilu.
“DKPP juga tidak mendukung penindakan yang benar terhadap KBG. Ketua KPU-nya terbukti melakukan pelecehan seksual, tetapi tidak dicopot dari jabatan ketua. Itu kan mengerikan sekali, orang yang terbukti melakukan pelanggaran etik, harusnya kan bisa dikoordinasikan. Copot dulu jabatannya sebagai komisioner atau ketua, baru diusut pidananya. Jadi, di tingkat pusatnya, tidak punya perspektif keberpihakan pada perempuan,” tegas Pramono.
Menurut Kalyanamitra, KBG dalam pemilu berdampak tidak hanya secara langsung terhadap fisik dan psikis korban, namun juga pada partisipasi perempuan. Dampak secara langsung, perempuan mengalami cedera fisik, kelelahan, serta trauma dan gangguan kecemasan. Sementara dampak tidak langsung, partisipasi perempuan dalam politik berkurang, sehingga jumlah perempuan yang duduk di pemerintahan semakin sedikit.
“Terbatasnya visibilitas perempuan dan kelompok rentan dalam partai, menyebabkan dia tidak banyak dikenal oleh publik. Hal ini berpengaruh pada sedikitnya jumlah perempuan dan kelompok rentan yang akhirnya terpilih. Ini menyebabkan perspektif perempuan dalam penyelenggaraan pemilu dan negara akhirnya luput,” tutup Lailan. []