Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (KMPKP) mencatat pada Pemilu 2024 perempuan masih mengalami kekerasan dalam politik maupun kekerasan berbasis gender dalam pemilu. Kekerasan itu dipandang terus meningkat, mulai dari pelecehan, intimidasi, kekerasan fisik dan seksual di publik maupun di media massa. Hal itu berdampak pada sedikitnya jumlah perempuan dan kelompok rentan yang mencalonkan di jabatan politik.
“Terbatasnya jumlah perempuan dan kelompok rentan yang menjabat sebagai penyelenggara pemilu, sehingga perspektif dan kebutuhan khusus perempuan dan kelompok rentan kerap luput dari kebijakan dan mekanisme penyelenggaraan pemilu,” kata Ketua Kalyanamitra, Listyowati dalam diskusi “Evaluasi Pemilu Serentak 2024: Distorsi Keterwakilan Perempuan dan Meningkatnya Kekerasan Terhadap Perempuan oleh Penyelenggara Pemilu” di kawasan Menteng, Jakarta Pusat (1/7).
Berdasarkan data Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) meski mengalami kenaikan, angka keterwakilan perempuan dinilai belum signifikan. Pada Pemilu 2024, angka keterwakilan perempuan di DPR sebanyak 22,1% atau 128 kursi dari 580 kursi DPR. Perludem menilai, angka itu sangat mungkin meningkat jika KPU benar-benar memastikan keterwakilan perempuan minimal 30% pada setiap dapil.
Data keterwakilan perempuan di DPR sepanjang pemilu yakni; pada Pemilu 1999 angka keterwakilan perempuan sebanyak 9% atau 45 kursi dari 500 kursi DPR. Pemilu 2024 sebanyak 61 kursi dari 550 kursi atau 11,1%, kemudian Pemilu 2024 sebanyak 18% atau 101 kursi dari 560 kursi. Sedangkan pada Pemilu 2014 sebanyak 17,3% atau 97 kursi dari 560 kursi DPR, dan pada Pemilu 2019 angka keterwakilan perempuan sebanyak 20,5% atau 118 dari 575 kursi DPR.
Listyowati menyebut, berdasarkan penelitian Kalyanamitra pada Pemilu 2024 kekerasan terhadap perempuan terjadi pada pemilih perempuan dan kelompok rentan, akademisi, jurnalis, pendamping komunitas, relawan, penyelenggara pemilu, dan caleg perempuan. Sementara akar kekerasan berbasis gender dalam pemilu disebabkan ideologi patriarki dan norma gender, ketimpangan relasi kuasa, dan kurangnya regulasi dan perlindungan.
“Negara dan lembaga politik perlu mengadopsi dan menegakkan kebijakan yang melindungi perempuan dari kekerasan, termasuk mekanisme pelaporan yang aman dan tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan,” tegas Listyowati. []