Pilkada Jakarta 2017 menyisakan banyak perasaan tidak enak. Dimulai ketika Ahok “terpeleset lidah” menyebut-nyebut surat Al Maidah ayat 51. Umat Islam tersinggung, lalu marah-marah, sampai sekarang. Kontestasi pemilu Jakarta kemudian diwarnai sentimen ras dan agama yang sengit.
Bahkan ketika Ahok akhirnya kalah pemilu dan harus dipenjara atas tuduhan penistaan agama, kita masih bisa melihat sisa-sisa kebencian dan ketegangan antara orang-orang yang mendukung Ahok dan yang membencinya, khususnya di media sosial. Kedua kelompok yang bersitegang saling lempar ejek dan sindiran, beberapa bahkan ada yang saling ancam.
Belum selesai gontok-gontokan Pilkada Jakarta, beberapa orang sudah mulai menyulut api permusuhan untuk Pilkada Gubernur Jawa Barat tahun depan. Memang belum ramai, tapi sudah ada orang-orang yang menebar benih-benih disinformasi bahwa Ridwan Kamil, salah satu calon kandidat kuat, adalah penganut Syiah.
Itu baru Pilkada Jabar. Padahal, bakal ada 172 daerah yang akan melaksanakan pemilihan langsung kepala daerah di tahun 2018. Bayangkan betapa besar potensi konfliknya.
Ini semua, setidaknya bagi saya pribadi, sungguh melelahkan. Setiap tahun masyarakat dipaksa memihak kepada sekelompok politisi dan bersitegang dengan anggota masyarakat lain yang punya keberpihakan berbeda. Semua ini hanya untuk memilih pejabat publik yang, dalam banyak hal, tidak akan punya pengaruh banyak terhadap peningkatan taraf hidup warga negara. Justru sebaliknya: pejabat negara kerap memproduksi kebijakan yang menghambat lahirnya kesejahteraan (ingat kasus ojek online) dan rentan melakukan korupsi. Pejabat negara juga rentan melakukan kekerasan dan pelanggaran hak (ingat kasus-kasus penggusuran).
Pemilu adalah salah satu produk demokrasi yang dinilai terlalu berlebihan di dalam masyarakat modern. Para aktivis pemilu akan mengatakan pada kita bahwa “tanpa pemilu tidak akan ada demokrasi”, dan bahwa “undang-undang pemilu merupakan salah satu instrumen hukum paling vital dalam kehidupan berdemokrasi”. Tanpa undang-undang pemilu yang baik kehidupan berbangsa dan bernegara akan dipenuhi intrik dan money politics sehingga negara akan dikuasai oleh orang-orang jahat, kata mereka.
Jalan pikiran semacam itu berdiri di atas asumsi bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat hanya dapat diberikan oleh pemerintah, khususnya pemerintah yang lahir dari hasil pemilu yang bersih dan baik. Padahal, negara-negara yang paling makmur dan sejahtera di dunia adalah negara-negara yang tidak pernah terlalu ribut soal proses pemilu. Kita tidak pernah dengar, misalnya, warga Swiss, Hong Kong, dan Taiwan ribut-ribut soal hasil pemilu. (Sampai detik ini, saya bahkan yakin tidak banyak dari pembaca yang bisa menyebutkan nama presiden atau perdana menteri ketiga negara tersebut tanpa googling terlebih dulu).
Bukan kebetulan pula apabila jumlah pemilih yang datang ke TPS (voter turnout) di suatu negara berbanding terbalik dengan kemakmuran dan kesejahteraannya. Di negara-negara maju seperti Swiss, misalnya, voter turnout hanya berkisar 40-49 persen dari jumlah total pemilih. Ini rendah sekali. Bandingkan dengan pemilu di negara-negara berkembang seperti di Afrika dan Asia Tenggara yang voter turnout-nya mencapai 70 sampai 80 persen. Atau kasus ekstrem: satu-satunya negara di dunia dengan voter turnout 100 persen adalah negara paling totaliter di dunia, yakni Korea Utara.
Voter turnout akhirnya bisa kita gunakan sebagai semacam heuristics: semakin apatis warga negara terhadap proses pemilu, maka semakin makmur negaranya. Ini karena di dalam negara yang tidak terlalu mementingkan soal pemilu, tiap-tiap individu dapat dengan bebas mengejar mimpi, cita-cita, dan kesejahteraan mereka sendiri-sendiri tanpa harus diganggu oleh ribut-ribut politik tahunan yang tidak penting.
Inilah alasannya mengapa saya berpendapat bahwa sebaiknya pemilu jangan sering-sering. Apa yang terjadi di negeri ini tidak ideal. Setiap tahun selalu ada pemilu. Kita perlu mengurangi frekuensi pemilu, atau setidaknya mengatur ulang jadwal pemilu, agar warga tidak disibukkan dengan ribut-ribut kampanye dan gontok-gontokkan elektoral setiap tahun.
Untuk itu kita perlu mendukung upaya berbagai elemen masyarakat sipil aktivis pemilu dalam mendorong penerapan pemilu serentak (concurrent elections). Melalui pelaksanaan pemilu yang serentak, nantinya pemilu nasional legislatif (DPR, DPRD, dan DPD) dan eksekutif (pilpres) cukup dilaksanakan dalam satu hari saja. Begitu juga pemilihan kepala daerah, dilaksanakan secara serentak di seluruh Indonesia dalam satu hari. Dengan begini, warga negara hanya perlu bertemu dengan riuh-rendah pemilu 2-3 tahun sekali.
Tentu saja ini bukan berarti konflik sosial akibat kontestasi pemilu akan serta-merta hilang. Tetapi, dengan pemilu serentak, setidaknya kita tidak perlu lagi capek mengikuti gontok-gontokan pemilu setiap tahun. Masyarakat pun bisa lebih fokus pada hal-hal yang jauh lebih penting: mencari nafkah, aktualisasi diri, bersosialisasi, dan merayakan hidup seutuhnya. Bukan perang isu SARA sebagaimana yang terjadi sekarang ini.
Kita harus ingat bahwa pemilu dibutuhkan sebagai sebuah proses pemilihan pejabat publik yang akan menjalankan roda pemerintahan. Apa tugas utama pemerintah? Sekedar menjadi “wasit” alias penegak hukum agar kehidupan bermasyarakat menjadi lebih aman, tertib, dan adil. Dengan kata lain: tugas pemerintah adalah untuk melestarikan kebebasan belaka. Itu saja.
Jika akhir-akhir ini kita lihat banyak kawan atau saudara kita yang bertengkar karena perbedaan pilihan politik, itu artinya masyarakat kita sudah overdosis pemilu. Ini gejala yang tidak baik, dan kita sudah harus mulai mengurangi kecanduan tersebut pelan-pelan. Cara yang paling efektif menurut saya: mulai sadari bahwa banyak hal dalam kehidupan kita tidak bergantung pada kualitas pejabat publik yang kita pilih. Kitalah yang memegang kendali penuh atas hidup kita masing-masing. We are the master of our own well-being. Maka, jangan terlalu serius menanggapi pemilu. []
DJOHAN RADY
Tulisan dipublikasikan sebelumnya di Suarakebebasan.org melalui tautan berikut:
https://suarakebebasan.org/id/opini/item/841-pemilu-jangan-sering-sering