January 14, 2025

Mantan Penyelenggara Pemilu Ad Hoc: Pemilu Serentak 5 Kotak Tak Manusiawi

Empat mantan penyelenggara pemilu ad hoc di Pemilu Serentak 2019 mengajukan judicial review atau uji materi mengenai keserentakan pemilu. Permohonan uji materi ini dibantu oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Sebelumnya, pada 2019, Perludem pernah mengajukan uji materi mengenai keserentakan pemilu. Permohonan itu dijawab Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK No.55/2019 yang menyatakan bahwa model keserentakan pemilu tak mesti lima kotak atau seperti Pemilu Serentak 2019. Namun, terdapat model lain yang dapat dipilih oleh pembentuk undang-undang dengan nasihat agar desain keserentakan memperhatikan kemudahan bagi pemilih, dan beban kerja penyelenggara pemilu.

Berbeda dari uji materi sebelumnya yang menitikberatkan pada sistem pemilu dan sistem pemerintahan presidensil yang efektif, uji materi kali ini diajukan dengan argumen utama beban kerja penyelenggara pemilu yang terlampau berat dengan sistem keserentakan lima jenis pemilihan dalam satu hari yang sama. Tujuan dari uji materi ini yakni, agar MK memisahkan pemilihan DPRD provinsi dan kabupaten/kota dari pemilihan serentak nasional yang menggabungkan pemilihan presiden dengan pemilihan DPR dan DPD.

“Masuk melalui MK menjadi opsi (untuk mengubah desain keserentakan pemilu) karena revisi UU Pemilu tidak dilakukan oleh Pemerintah dan DPR,” kata Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati pada diskusi “Konstitusionalitas Pemilu Lima Kotak dan Beban Kerja Penyelenggara Ad Hoc”, Minggu (6/6).

Pemilu serentak lima kotak tak manusiawi

Mantan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Dimas Permana Hadi, menceritakan pengalaman menjadi PPK pada Pemilu Serentak 2019. Kelangkaan ruang penyimpanan kotak suara di beberapa desa di Kecamatan Ngaglik, dan lamanya penghitungan lima jenis surat suara menjadi sorotannya. Satu jenis surat suara atau pemilihan membutuhkan waktu penghitungan selama kurang lebih dua jam. Dengan lima jenis surat suara, maka waktu penghitungan suara memakan waktu sepuluh jam sejak penghitungan suara dimulai pada pukul 1 siang.

“Rata-rata tiap TPS selesai sekitar jam 11 atau 12 malem. Itu selesai mereka penghitungan suara. Belum lagi mereka harus nuang ke Form C1, salinan. Itu kira-kira selesai jam 1, jam 2 (pagi). Ada juga yang jam 6 pagi baru selesai karena mereka kesulitan mengisi form karena saking banyaknya form yang harus diisi.  Ini yang membuat KPPS kelelahan karena mereka H-1 sudah bekerja untuk mempersiapkan TPS. Makanya tidak heran banyak yang kecapekan. Belum lagi pengembalian logistiknya kan harus sesuai SOP. Banyak hal yang KPPS ternyata belum paham saking rumitnya,” kisah Dimas.

Kisah beratnya beban kerja juga diceritakan oleh mantan PPK Sukma Jaya, Kota Depok, Jawa Barat, Heri Darmawan. Banyaknya logistik lima pemilihan sekaligus menyebabkan kurangnya waktu persiapan logistik pungut hitung di kecamatan sehingga proses persiapan logistik diteruskan di kelurahan oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS). Akibatnya, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) mengantre di kelurahan hingga subuh hari untuk menjemput logistik pungut hitung.

“H-1 (pemungutan suara), kotak suara harus dikirim ke PPS. Itu kami masih belum selesai untuk memilah logistik. Karena sudah batas waktu harus digeser ke kelurahan. Mau tidak mau kita serahkan ke kelurahan. Sesampainya di kelurahan, PPS pun menyelesaikan kembali yang belum selesai di kecamatan. Nah, sore harinya, KPPS sudah mulai berdatangan meminta kotak suara. Nah, itu selesainya malam, sampai subuh mereka antre di kelurahan. Jadi, di H-1, mereka sudah begadang untuk antre kotak suara,” urai Heri.

Pekerjaan menyelenggarakan pemungutan suara yang mengharuskan KPPS untuk tetap terjaga selama dua malam menyebabkan KPPS kelelahan dan tidak fokus. Banyak kesalahan yang ditemukan selama rekapitulasi suara di kecamatan oleh PPK.

“Ketika rekap hasil penghitungan di TPS, itu banyak sekali saya temukan kesalahan. Salah menaruh jumlah pemilih perempuan, atau salah menaruh jumlah surat suara yang digunakan dan dipakai. Kadang saya sering menemukan juga ada yang salah memasukkan surat suara. Harusnya di (kotak) DPRD provinsi, tapi masuk di (kotak) DPRD kabupaten/kota,” jelas Heri.

Para mantan penyelenggara pemilu ad hoc ini berharap proses uji materi di MK dapat memberikan desain sistem pemilu yang lebih manusiawi. Pemilu serentak lima kotak yang kompleks menyebabkan kelelahan pada penyelenggara pemilu ad hoc.

“Saya harapkan, banyak orang menjadi terbuka, bagaimana agar pemilu ini lebih manusiawilah secara aturan maupun secara praktiknya. Jangan sampai kita sebagai warga yang menjadi penyelenggara pemilu ad hoc, dengan niat ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemilu, malah membahayakan fisik penyelenggara pemilu ad hoc ini,” tutup Dimas.

Dua pemohon lain uji materi keserentakan pemilu yaitu Akhid Kurniawan, mantan KPPS di Pemilu Serentak 2019, dan Subur Makmur, mantan PPS.