Dalam buku Modul Open Data Pemilu yang diterbitkan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), open data atau data terbuka dalam bahasa Indonesia adalah data yang dapat diakses oleh publik, dapat digunakan kembali, dan dapat digunakan oleh siapa saja. Ada setidaknya tiga prinsip data terbuka. Pertama, bebas diakses oleh semua orang, baik dari dalam maupun luar negeri, tanpa mesti meminta izin. Kedua, bebas dipergunakan sesuai tujuan pengambil data. Biasanya, penggunaan data diatur oleh lisensi data. Sebagai contoh, dengan Lisensi Creative Commons Attribution v.4, data boleh digunakan, didistribusikan, dan diolah oleh penggunanya baik untuk kepentingan komersial maupun nonkomersial. Ketiga, dapat digunakan oleh siapapun tanpa mesti memiliki keahlian komputer tertentu, sebab data berformat CSV atau format terbuka lain yang bisa dibaca oleh mesin.
Keterbukaan data menjadi tren teknologi dalam pemilu di Indonesia. Sejak Pemilu 2014, data terbuka telah disadari sebagai hak milik publik dan keberadaannya telah mendorong munculnya berbagai insisiatif masyarakat sipil. Pada Pemilu 2014, sedikitnya ada tiga aplikasi yang dibuat oleh masyarakat sipil sebagai bentuk partisipasi dalam perayaan demokrasi elektoral, yakni Kawal Pemilu, Hackathon dari Perludem, dan Mata Massa. Inisiatif tersebut muncul kembali di Pemilu Serentak pertama Indonesia yang digelar pada 2019. Bahkan, tak hanya dari masyarakat sipil, kini media menjadi aktor utama pengguna data terbuka yang disediakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pintar Memilih
Pintar Memilih merupakan aplikasi berbasis website yang dikembangkan oleh Perludem dan Google Indonesia. Melalui Pintar Memilih yang dapat diakses pada laman https://pintarmemilih.id/, pemilih dapat menelusuri latar belakang, visi misi, dan rencana program calon anggota legislatif (caleg) di daerah pemilihan (dapil) masing-masing. Tak hanya caleg Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, namun juga caleg DPR Daerah (DPRD) Provinsi.
Dalam pemanfaatannya, diakui Peneliti Perludem, Heroik Pratama, dihadapi sejumlah tantangan. Salah satunya yakni, tidak semua kandidat mengizinkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mempublikasi data diri mereka kepada publik. Sebabnya, pemilih tak dapat melihat profil seluruh kandidat.
“Kami menghadapi tantangan tentu saja. Tidak semua kandidat mengizinkan untuk mempublikasi profil mereka. Jadi, kami tidak bisa menampilkan profil mereka ke dalam aplikasi kami,” kata Heroik pada Regional Meeting Stakeholder Election Technology yang diselenggarakan oleh Regional Support for Election and Political Transitions (Respect) di Hotel Harris Tebet, Jakarta Selatan, Indonesia (30/9).
Melalui pintarmemilih.id pula, publik dapat melaporkan hoaks, disinformasi, dan ujaran kebencian melalui fitur yang tersedia. Fitur ini terhubung dengan kanal pelaporan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Sayangnya, manfaat ditur yang disediakan tak besar dampaknya lantaran Bawaslu tak menindaklanjuti laporan dengan cepat.
“Jadi, fitur ini terhubung dengan link pelaporan Bawaslu. Tapi sayangnya, Bawaslu tidak merespon cepat,” ujar Heroik.
Pada Pemilu 2019, tak hanya Perludem yang menginisiasi platform untuk memudahkan pemilih mengenali kandidat. Organisasi masyarakat sipil lainnya, antara lain Indonesia Corruption Watch (ICW), Kantor Berita Radio (KBR), Yayasan Satu Dunia, Wiki DPR, dan PARA Syndicate juga menyediakan platform serupa berkat keterbukaan data pemilu oleh KPU. Rekamjejak.net dibangun oleh ICW, Kenali Caleg oleh KBR, iklancapres.id oleh Yayasan Satu Dunia, wikidpr.org oleh Wiki DPR, dan calegpedia.id oleh PARA Syndicate.
Kawal Pemilu Jaga Suara 2019
Kawal Pemilu adalah kegiatan real count yang dilakukan oleh masyarakat sipil. Kawal Pemilu telah dimulai sejak Pemilu 2014, dan dilanjutkan pada Pemilu Serentak 2019. Jika pada Pemilu 2014 real count dilakukan dengan menghimpun data yang dipublikasi KPU melalui Sistem Informasi Penghitungan (Situng) website, di 2019, data juga diambil dari foto C1 plano dan C1 salinan yang diunggah oleh para relawan di tempat pemungutan suara (TPS).
Peneliti senior Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay, salah satu inisiator Kawal Pemilu Jaga Suara (KPJS) 2019, kegiatan monitoring hasil kembali dilakukan pada Pemilu 2019 karena Pemilu 2019 merupakan momen penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia, sebab pada 2019 pemilu eksekutif dan legislatif digelar secara serentak di satu hari yang sama. Kegiatan juga ditujukan untuk menjaga kemurnian suara pemilih, meningkatkan kepercayaan publik atas hasil yang diumumkan secara resmi oleh KPU, dan mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi suara.
“Saya mengikuti Pemilu sejak 1999. Dengan ratusan ribu orang yang mengawasi saat itu. Tapi kemudian jumlahnya terus berkurang. Meski sekarang ada Bawaslu hingga tingkat TPS, tapi jumlah pengawas Bawaslu tetap tidak sebesar pengawas sipil pada masa itu. Jadi, kegiatan ini ingin mengingatkan pentingnya pengawasan dan pengawalan pemilu kita,” jelas Hadar.
Mengenai relawan, KPJS membagi relawan ke dalam beberapa kategori. Ada relawan yang hanya bertugas memfoto Form C1 Plano di TPS dan mengunggahya ke server KPJS, ada moderator yang bertugas memverifikasi dan mendigitalisasi data hasil penghitungan suara dari foto C1 Plano yang diunggah relawan, dan ada administrator yang memonitor proses pengumpulan suara di server dan menghapus Form C1 Plano yang diunggah apabila dalam proses verifikasi, ditemukan kejanggalan.
“Administrator ini yang paling tinggi wewenangnya. Dia me-review the whole thing, bisa mengubah Form C1 yang diunggah atau membuat laporan yang bisa di-share ke KPU. Jadi, KPU punya informasi untuk memeriksa sesuatu, kalau ada yang janggal,” terang Hadar.
Tantangannya, karena para relawan tidak dilatih, banyak relawan yang tidak menjalankan tugas sebagaimana yang diharapkan. Beberapa foto C1 Plano yang diunggah tidak beresolusi tinggi sehingga informasi di dalamnya tidak dapat dilihat dengan jelas. Terjadi pula beberapa unggahan atas Form C1 di TPS yang, serta unggahan gambar yang tidak relevan. KPJS juga mengalami kekurangan data Form C1 Plano di banyak TPS sehingga akhirnya mengumpulkan data dari C1 Salinan yang diunggah oleh KPU di website Situng.
Hasil akhir dari tabulasi suara, hasil KPJS tidak berbeda jauh dengan baik hasil rekapitulasi suara yang diumumkan oleh KPU maupun rekapitulasi elektronik di Situng. Dengan demikian, keberadaan KPJS menetralisir situasi tegang politik dan mengurangi tuduhan bahwa KPU berbuat curang.
“Jika melihat hasil yang diumumkan oleh KPU secara resmi, dengan yang ditampilkan di Situng, juga dengan hasil yang kami posting, gap-nya tidak jauh. Di Indonesia, ada banyak orang yang memprotes hasil rekapitulasi suara. Mereka menuduh KPU telah curang. Tapi, dengan komparasi ini, bisa mendinginkan situasi politik kita,” pungkas Hadar.
Hasil rekapitulasi suara Pemilihan Presiden yang diumumkan resmi oleh KPU yakni: pasangan calon (paslon) Joko Widodo-Ma’ruf Amin 55,50 persen dan paslon Prabowo Subianto-Sandiaga Uno 44.50 persen. Hasil yang dipublikasi Situng: Jokowi-Ma’ruf 55,29 persen dan Prabowo-Sandi 44,71 persen. Hasil yang diproses KPJS 2019: Jokowi-Ma’ruf 55,19 persen dan Prabowo-Sandi 44,81 persen. Rekapitulasi manual berjenjang KPU memproses 100 persen TPS, Situng 95,98 persen TPS, dan KPJS 95,10 persen TPS.
Jurnalisme data
Media hari ini mengalami pergeseran seiring dengan bertambahnya jumlah pengguna internet. Zaman keemasan media cetak mundur, disusul media online, sehingga pembedaan kualitas jurnalisme menjadi poin penting agar media cetak tetap dapat bertahan.
Media di Indonesia, dalam momen Pemilu Serentak 2019 bekerja dalam arus polarisasi politik antara kubu Jokowi-Ma’ruf dan kubu Prabowo-Sandi. Ditengah situasi itulah, media independen berupaya unuk mengingatkan pentingnya makna demokrasi substansial, makna pemilu demokratis, dan bahaya populisme. Media independen bekerja mempertahankan wajah netralitas, sebab mengkritik hanya salah satu paslon akan dituduh sebagai media yang berpihak.
Menurut jurnalis senior, Anthony Lee, tren jurnalisme hari ini bergerak ke arah jurnalisme data. Data terbuka dan keterbukaan data berkontribusi pada kualitas jurnalisme yang lebih baik, pada peliputan yang lebih komprehensif. Data memungkinkan para jurnalis menulis dari sudut pandang helikopter, menyeluruh.
“Data menyediakan kita informasi sehingga kita bisa membuat tulisan dari helicopter view. Dengan data itu, kita bisa hubungkan dengan latar belakang kandidat dan banyak hal lain,” ungkap Anthony.
Dalam meliput Pemilu Serentak 2019, KPU sebagai penyelenggara pemilu menyediakan data kepada jurnalis. Data kepemiluan dipublikasi di Sistem Informasi Partai Politik (Sipol), Sistem Informasi Pencalonan (Slion), Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih), dan Situng. Dengan data tersebut, media dapat menentukan cerita tertentu untuk ditulis.
“Data sifatnya fundamental bagi artikel kami. Data mempermudah kerja kami. Jadi, kami mengumpulkan data, lalu kami tentukan apa cerita yang ingin kami sampaikan. Data membuat kami percaya diri atas apa yang kami tulis,” tandas Anthony.
Sebagai contoh, Anthony pernah menulis artikel tentang Pilkada calon tunggal pada momen Pilkada Serentak 2018. Artikel ini memotret data Situng dan Silon. Ia juga menulis artikel berjudul “Sulitnya Menjaga Hak Pilih Difabel Psikososial”, hasil analisis data Sidalih. Pada Pemilu Serentak 2019, fakta bahwa mayoritas caleg DPR RI berdomisili di Jakarta didapatkan dari data Silon.
Pada akhir presentasinya, Anthony menyampaikan keterbukaan data di Indonesia sejauh ini belum menghasilkan lebih banyak produk artikel pemilu berbasis data. Pada 2014, artikel berbasis data pemilu sebanyak 681 buah. Namun di 2019, jumlah ini menurun menjadi 568. Namun, jika membandingkan persentasenya dengan total artikel mengenai pemilu, angkanya bertambah sebanyak 4 persen. Pada Pemilu 2014, ada 2.690 artikel pemilu, dan Pemilu Serentak 2019, 1.951 artikel.
“Jadi, open data tidak berarti media memproduksi lebih banyak produk jurnalisme data. Tapi, ada harapan,” tukas Anthony.
Harapan yang dimaksud yakni, adanya data jurnalisme yang lebih banyak jika KPU bisa menyediakan data secara lebih cepat dna lebih akurat. Anthony berharap KPU segera mengembangkan One Data Election sebagai wadah untuk menyatukan semua data kepemiluan yang dimiliki KPU. Diharapkan juga tak hanya membuka data, tetapi menyediakan data dalam bentuk open data.
“Kalau kita mau open data, kita harus tahu betul karakteristik open data. Sangat sulit bagi kami mengolah data dalam bentuk pdf. Open data mestinya pakai format csv, atau excelm atau json,” tutur Anthony.
Pada realitasnya, data terbuka memungkinkan partisipasi publik yang luas dalam gelar demokrasi elektoral yang diselengarakan secara regular lima tahun sekali. Kehadirannya memunculkan inisatif-inisiatif dari berbagai pihak, utamanya masyarakat sipil dan media, dalam rangka menyediakan informasi yang kiranya dibutuhkan 192 juta pemilih Indonesia di tanah air maupun luar negeri. Jika Pintar Memilih dan aplikasi sejenis lainnya menyediakan ragam informasi data diri caleg beserta visi misinya sebagai bahan referensi pemilih untuk memilih, maka Kawal Pemilu Jaga Suara 2019 memberikan informasi data hasil penghitungan suara sebagai pembanding data yang dihimpun oleh KPU di dalam Situng. Media, sebagaimana halnya Kompas Cetak, menawarkan berita dan data terolah sehingga pemilih dapat turut menyaksikan penyelenggaraan pemilu secara lengkap di tiap tahapannya. Open data telah menjadi tren teknologi yang paling masif dimanfaatkan pada Pemilu Indonesia.