Per Selasa (23/4), total jumlah Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan Pengawas Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang meninggal akibat kelelahan yakni 152 orang. 119 KPPS, 33 Pengawas TPS.
Banyaknya penyelenggara pemilu yang meninggal mengundang tanda tanya terhadap rasionalitas beban desain pemilu serentak lima kotak. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) misalnya, menilai banyaknya penyelenggara pemilu yang meninggal disebabkan oleh beban pemilu serentak yang terlalu berat. Penyelenggara di TPS mesti menghitung lima jenis surat suara, ditambah mencatat hasil pemungutan suara dalam berbagai jenis formulir pemilihan.
“Pemilu serentak lima surat suara memang menyimpan kompleksitas dan membutuhkan tenaga ekstra dalam menjalankannya. Bagaimana tidak, dalam proses penghitungan suara di TPS saja, anggota KPPS memerlukan waktu sampai dengan lewat tengah malam untuk menyelesaikan penghitungan lima surat suara. Belum lagi ditambah beban untuk melakukan pengadministrasian hasil pemilu dalam berbagai jenis formulir yang banyak jumlahnya,” tandas Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini kepada rumahpemilu.org (23/4).
Agar beban pemilu rasional dan desain pemilu memiliki kontribusi terhadap efektivitas pemerintahan presidensil, Perludem merekomendasikan Indonesia menerapkan pemilihan serentak nasional dan lokal secara terpisah. Pemilihan serentak lokal, yakni pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi dan pemilihan DPRD kabupaten/kota, dapat diselenggarakan 2 atau 2,5 tahun setelah penyelenggaraan pemilihan serentak nasional. Pemilihan serentak nasional terdiri atas pemilihan presiden, pemilihan anggota DPR RI, dan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
“Kami sudah usulkan konsep ini sejak 2012. Menurut kami, selain mampu mengurangi beban kerja penyelenggara pemilu, kehadiran pemilu serentak dengan desain nasional dan lokal dapat memperbaiki sistem pemerintahan presidensial Indonesia. Dari pengalaman sejumlah negara di Amerika Selatan dan teori ilmu politik, pemilu serentak bisa memperbaiki negara presidensial multipartai seperti Indonesia,” jelas Titi.
Pemisahan antara pemilu serentak nasional dan lokal memungkinkan untuk dilakukan tanpa perlu merubah konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemilu serentak semestinya tak dipahami sebagai pemilihan serentak lima kotak, yang dipandang Perludem sebagai pemilu borongan.
“Kalau sekarang ini lebih pada pemilu borongan. Menimbulkan banyak kompleksitas. Karena pemilihan DPRD disatukan dengan DPR RI dan presiden, dan justru terpisah dari pilkada, makanya pemerintahan kita tidak kongruen,” kata Titi.
Selain itu, Perludem merekomendasikan agar pemerintah memperkecil besaran daerah pemilihan (dapil) untuk pemilihan legislatif. Tujuannya, agar pengorganisasian partai politik lebih terkonsolidasi serta meringankan beban petugas penyelenggara pemilu dan pemilih. Perludem juga mendorong penyelenggara pemilih mengoptimalkan rekrutmen petugas dan bimbingan teknis (bimtek), serta mempertimbangkan teknologi rekapitulasi suara secara elektronik untuk mengurangi beban pengadministrasian pemilu di TPS.
“E-rekap patut untuk dipertimbangkan. Selain dia mengurangi beban pengadministrasian pemilu yang melelahkan di TPS, juga bermanfaat untuk memotong rantai birokrasi rekapitulasi penghitungan suara yang terlalu panjang dan memakan waktu lama,” pungkas Titi.
Hasyim Asy’arie sejalan dengan Perludem
Anggota KPU RI, Hasyim Asy’arie memiliki pandangan sama dengan Perludem. Ia pun merekomendasikan diadakannya pemilu serentak dua jenis, yakni pemilihan serentak nasional dan lokal. Jika pemilihan serentak nasional diselenggarakan lima tahun sekali, semisal pada 2024, maka pemilu serentak lokal diselenggarakan di tengah kurun waktu lima tahunan pemilu nasional, yaitu tahun 2022.
Menurut Hasyim, pemisahan antara pemilihan nasional dan lokal memiliki sedikitnya empat manfaat. Satu, konsolidasi politik yang semakin stabil karena koalisi partai politik terbangun sejak masa pencalonan. Dua, beban penyelenggara pemilu lebih proporsional dan tidak terjadi penumpukan beban berlebih. Tiga, memudahkan pemilih menentukan pilihan. Empat, isu kampanye terfokus pada isu nasional dan isu daerah.
“Fakta dalam praktek ketatanegaraan, terutama sistem pemerintahan daerah, terdapat kecenderungan perbedaan antara pemenang pilkada dengan konfigurasi politik di DPRD. Penyebabnya lebih karena pengisian jabatan yang berbeda waktu, dan berakibat pada bedanya konfigurasi politik,” terang Hasyim.
Perbedaan konfigurasi politik yang dimaksud Hasyim yakni, sebagai contoh, pencalonan kepala daerah di Pilkada 2018 yang didasarkan atas hasil Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014. Konsolidasi politik demikian amat mungkin berubah, mengikuti konfigurasi politik baru yang akan terjadi pasca hasil Pemilu Serentak 2019.
“Kalau hasil Pemilu 2019 menghasilkan konfigurasi politik yang menguatkan kepala daerah hasil Pilkada 2018 tentu akan memperkuat stabilitas pemerintahan daerah. Tapi, bila hasil Pemilu 2019 konfigurasi politik DPRD berubah dan berlawanan dengan hasil Pilkada 2018, tentu akan merepotkan kepala daerah hasil Pilkada 2018,” ujar Hasyim.
KPU RI akan melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan Pemilu 2019. Berbagai pihak, termasuk partai politik dan organisasi masyarakat sipil, akan diundang.