Maret 29, 2024
iden

Pemilu Serentak Sesuai Originial Intent UUD 45 Menerapkan Proporsional Daftar Tertutup

Pendiri Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Didik Supriyanto mengkritik Mahkamah Konstitusi (MK) yang tak konsisten dalam memutuskan uji materi tentang pemilu serentak. Pasalnya, jika konsisten menguji norma di dalam Undang-Undang (UU) Pemilu sesuai dengan original intent UU Dasar (UUD) 1945, mestinya MK memutuskan agar pemilu serentak dilaksanakan dengan sistem proporsional daftar tertutup untuk Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan DPR Daerah (DPRD).

“Jadi memang dulu, di panitia ad hoc, ada simulasi pemilu lima kotak. Pilpres, DPR, DPRD 1, DPRD 2, dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Sudah benar MK kalau berdasarkan original intent (menetapkan pemilu serentak). Tapi yang tidak benar dan tidak dibayangkan MK, bahwa waktu itu pemilu pakai proporsional tertutup. Jadi, kalau mau konsisten ya tertutup dong,” cerita Didik pada diskusi “Jelang Penetapan Hasil Pemilu 2019: Menjaga Demokrasi Konstitusional” di Cikini, Jakarta Pusat (20/5).

Didik melanjutkan, bahwa sistem proporsional daftar tertutup diterapkan pada saat itu untuk memudahkan pemilih. Pemilu serentak dirumuskan karena panitia ad hoc tak terbayang sistem pemilihan legislatif akan berubah menjadi proporsional daftar tertutup.

Menurutnya lagi, original intent mengenai sistem pemilihan legislatif bertentangan dengan putusan MK bahwa pilihan sistem merupakan kebijakan hukum terbuka pembuat UU. Terlebih, MK memutuskan bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) bukan pemilu. Dengan tidak diakuinya pilkada sebagai pemilu, maka tak bisa dilakukan pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal.

“Pak Hamdan menyelesaikan sengketa pilkada. Lalu dibilang kalau pilkada bukan pemilu. Nah artinya, gagasan pemilu nasional dan lokal yang disarankan oleh Perludem itu susah dilakukan kalau pilkada saja dianggap bukan pemilu,” tandas Didik.

Pemisahan antara pemilu serentak nasional dan lokal diusulkan Perludem untuk meengefektifkan pemerintahan dan membuat pemerintah terpilih di nasional dan lokal menjadi kongruen. Dengan pemilu serentak lokal yang diselenggarakan dua tahun setelah pemilu serentak nasional, partai politik dievaluasi lebih cepat, yakni dua tahun sekali. Mekanisme ini akan berdampak pada diperhatikannya pemilih lebih sering, ketimbang pemilu serentak lima tahun sekali.

“Kami sejak awal ingin pemilu itu nasional dan lokal sehingga efisien, praktis, dan partai politik kita control dua kali dalam lima tahun,” ujar Didik.