Pengajar Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan pencatutan data warga sebagai pendukung bakal calon perseorangan di Pilkada DK Jakarta 2024 melanggar empat undang-undang (UU), yakni UU Pilkada, UU Administrasi Kependudukan, UU Perlindungan Data Pribadi, dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pencatutan dilakukan dengan menggunakan dan mengunggah dokumen pribadi warga negara untuk disalahgunakan demi kepentingan pencalonan di Pilkada, serta tanpa sepengetahuan dari pemilik dokumen. Titi mendorong Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk menindak tegas pelanggaran tersebut.
“Kita tidak bisa memastikan data mana yang betul-betul memenuhi syarat, mana yang tidak. Yang bisa mengakses hanya penyelenggara pemilu, calon dan pengawas. Publik tidak bisa dikerahkan untuk mengecek, karena jangkauan informasi yang terbatas, kesadaran yang tidak sepenuhnya baik, dan seterusnya,” tegas Titi pada dialog “Skandal Catut KTP, Pencalonan Dharma-Kun Bisa Dibatalkan?” yang disiarkan oleh Metro TV pada Sabtu (17/8).
Selain pencatutan data warga yang merupakan tindak pidana, manipulasi atau mal administrasi dalam proses verifikasi dokumen dukungan bakal calon perseorangan juga merupakan pelanggaran pidana menurut UU Pilkada. Petugas verifikasi diwajibkan melakukan verifikasi faktual secara jujur. Petugas dilarang menyatakan memenuhi syarat dukungan seseorang yang belum dilakukan verifikasi faktual.
“Juga tindak pidana, ketika ditelusuri, seseorang terdata sebagai orang yang sudah terverifikasi faktual, atau terdata sebagai pendukung yang memenuhi syarat, padahal petugas yang melakukan verifikasi faktual tidak pernah memverifikasi,” pungkas Titi.
Bawaslu pun diminta untuk tak sekadar mengurangi jumlah dukungan terhadap total dukungan yang telah dinyatakan memenuhi syarat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), melainkan melakukan penelusuran secara tuntas agar dapat diketahui penyebab terjadinya pencatutan data warga. Pengusutan tak hanya dapat menyelamatkan kredibilitas pencalonan, namun juga merehabilitasi bakal calon perseorangan, apabila terbukti bukan pihaknya yang melakukan pencatutan.
“Justru tindak lanjut menyeluruh itulah yang akan membuat segala sesuatunya bisa menyelamatkan kredibilitas pencalonan, dan kredibilitas calon yang kadung kontroversial di ruang publik, sehingga bisa terklarifikasi dengan baik,” ujarnya.
Pencatutan yang terjadi di Pilkada DK Jakarta 2024 merupakan yang paling masif terjadi sepanjang penyelenggaraan pilkada dan pemilu di Indonesia. Pengawasan publik terhadap proses pencalonan di pilkada dimungkinkan karena dibukanya akses pengecekan terhadap data dukungan bakal calon perseorangan oleh K).
“Masalah pencatutan dalam proses pendaftaran calon di Pilkada atau DPD, itu sering terjadi, tapi yang keluhannya banyak dan eksposnya masif, memang baru di Pilkada DK Jakarta 2024 ini,” ujar Titi.