Pemerintah mewacanakan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) jika pengesahan Rancangan Undang-undang Pemilu (RUU) masih menemui jalan buntu. Substansi Perppu mengacu pada UU lama dengan perubahan pada konteks keserentakan pemilu.
“Tidak ada yang prinsip kok. Hanya keserentakan saja. Serentak yang bagaimana apakah jam yang sama, hari yang sama, atau bulan yang sama,” kata Tjahjo Kumolo, Menteri Dalam Negeri, saat ditemui di kompleks parlemen, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jakarta (14/6).
Langkah penerbitan Perppu adalah langkah terakhir. Pemerintah dan Pansus DPR masih mau menempuh musyawarah di tingkat rapat Pansus untuk memutuskan lima isu krusial. Jika buntu, pengambilan keputusan akan dibawa ke paripurna melalui mekanisme voting.
“Yang belum atau tidak memungkinkan diputuskan di Pansus lewat musyawarah akan dibawa ke paripurna. Kalau sampai deadlock di paripurna ya sudah kita kembali ke UU lama, paling ada Perppu dalam konteks putusan MK yang serentak,” tandas Tjahjo.
Sebelumnya, pada rapat Pansus, Selasa (13/6), hampir semua fraksi tak setuju adanya Perppu. Anggota Pansus dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Totok Daryanto, mengatakan bahwa Perppu merupakan pintu darurat yang patut dihindari dan mencerminkan ketidakpercayaan DPR terhadap Pemerintah. Dikeluarkannya perppu akan beresiko besar pada stabilitas politik tanah air.
“Tidak ada alasan untuk deadlock. Jangan ada yang berencana buat deadlock untuk kembali ke UU lama atau Perppu. Kalau Perppu ditempuh, resikonya sangat besar. Perppu pemilu gak boleh terjadi,” tegas Totok.