Per Senin (28/10), terdapat sepuluh kasus penggantian calon anggota legislatif (caleg) terpilih oleh partai politik, yakni empat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan enam dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Tiga kasus pembatalan dilakukan sebelum penetapan Surat Keputusan (SK) Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan tujuh kasus terjadi paska dikeluarkannya SK KPU dan sebelum dilaksanakannya pelantikan. Kasus penggantian caleg terpilih terjadi antara lain di daerah pemilihan (dapil) Sumatera Selatan I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, dapil Kalimantan Barat I DPR RI, dapil Jabar 11 DPR RI, dapil Jawa Tengah 1 DPR RI, dapil 2 DPR Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Selatan, dapil DPRD Provinsi Sulawesi Barat, dan dapil DPRD Provinsi Maluku.
Dari sepuluh kasus, satu caleg digantikan karena meninggal dunia, satu caleg mengundurkan diri, dan tujuh caleg diberhentikan sebagai anggota partai. Dari catatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), beberapa caleg yang diberhentikan tak mengetahui perihal pemecatan oleh partai, dan sisanya mengetahui tetapi tak tahu-menahu alasan pemecatan. Satu kasus terkonfirmasi dengan datangnya caleg terpilih Partai Gerindra dapil 2 DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, Misriani ke diskusi “Menjaga Kemurnian Suara Pemilih: Konsisten Menegakkan Sistem Pemilu“ di Cikini, Jakarta Pusat (28/10). Sambil menangis, Misriani menceritakan kisahnya.
“Saya dipecat satu hari sebelum pelantikan. Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri) tidak mencantumkan nama saya, padahal KPU sudah mengusulkan. Nama saya tidak diikutkan karena ada surat dari DPP (Dewan Pimpinan Pusat) yang mengatakan menunda pelantikan saya karena adanya penggantian calon terpilih. Sampai hari ini pun, saya tidak menerima surat resmi dari Partai Gerindra. Saya sudah berkirim surat satu bulan yang lalu untuk minta klarifikasi ke DPP, tapi belum ada jawaban,” cerita Misriani.
Adapun Misriani, meski mengalami pemecatan sepihak oleh Partai Gerindra, namun KPU masih mempertahankan namanya untuk dilantik oleh Kemendagri, dan belum menerbitkan SK penetapan caleg terpilih yang baru. Kasus lainnya, penggantian caleg terpilih oleh partai dengan pemecatan sebagai anggota partai diikuti dengan SK baru KPU, setelah klarifikasi kepada partai politik dilakukan.
Sistem pemilihan legislatif Indonesia
Indonesia menganut sistem proporsional daftar terbuka atau daftar calon. Desain sistem pemilihan dapat dilihat melalui Pasal 241 ayat (1) dan (2), Pasal 353 dan Pasal 420 Undang-Undang (UU) Pemilu No.7/2017.
Pada Pasal 241 ayat (1) dan (2) diatur agar partai politik peserta pemilu melakukan seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota secara demokratis dan terbuka sesuai dengan anggaran dasar (AD), anggaran rumah tangga (ART), dan/atau peraturan internal partai. Dengan aturan ini, diharapkan partai mengusung calon-calon yang berkualitas, yang dihasilkan dari proses rekrutmen yang demokratis.
Kemudian, pada Pasal 420 ditegaskan bahwa penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota didasarkan atas perolehan kursi partai politik peserta pemilu di suatu dapil, dan penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak yang diperoleh masing-masing calon yang tercantum dalam surat suara.
“Jadi, perolehan kursi partai didistribusikan kepada calon yang memperoleh suara terbanyak. Siapa yang terpilih, ya caleg yang memperoleh suara paling banyak. Jadi, subjek hukumnya adalah caleg,” tegas Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, pada diskusi yang sama.
Sistem pemilihan legislatif yang dinormakan di dalam UU Pemilu sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.22-24/2008. Putusan tersebut menyatakan bahwa pemilihan legislatif tidak boleh membenturkan perolehan suara caleg dengan nomor urut. Dalam sistem proporsional terbuka, penentuan caleg terpilih adalah berdasarkan suara terbanyak.
Lebih lanjut, Pasal 353 UU Pemilu menormakan pemberian suara kepada partai politik dan caleg sebagai metode pemberian suara yang sah. Dengan demikian, perolehan suara sah partai adalah hasil dari penjumlahan suara untuk caleg, suara untuk partai, dan suara pemilih yang mencoblos keduanya dalam surat suara.
“Jadi, gunanya memilih caleg langsung adalah untuk memberikan kursi kepada siapa. Kalau partai dapat 3 kursi, maka caleg pemilik suara terbanyak pertama, kedua, dan ketiga, itulah yang akan dapat kursi,” jelas Titi.
Berdasarkan desain sistem pemilihan legislatif tersebut, partai politik semestinya siap atas caleg manapun yang terpilih. Pun pasalnya, setiap caleg telah melalui proses rekrutmen yang terbuka dan demokratis.
“Partai sejak awal mestinya tau bahwa sistem proporsional terbuka suara terbanyak, siapapun orang yang ada di daftar calon, dia bisa terpilih. Partai mestinya paham konsekuensi dari orang yang dia tempatkan. Karena, mau di nomor berapapun, dia punya peluang untuk memenangkan suara terbanyak,” tandas Titi.
Alasan-alasan penggantian calon dalam peraturan perundang-undangan
Pasal 426 UU Pemilu memuat alasan yang dimaklumkan untuk mengganti caleg terpilih. Alasan itu yakni, meninggal dunia, mengundurkan diri, tidak lagi memenuhi syarat menjadi anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta terbukti melakukan tindak pidana pemilu berupa potitik uang atau pemalsuan dokumen berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Adapun rincian alasan tidak lagi memenuhi syarat antara lain masih berstatus kepala daerah atau wakil kepala daerah (wakada), kepala desa, aparatur sipil negara (ASN), anggota Tentara Nasional Indoensia (TNI), anggota Kepolisian RI (Polri), anggota Dewan Pengawas Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D) dan lain-lain, menjadi terpidana, diberhentikan dari partai atau yang bersangkutan mengundurkan diri dari partai politik, dan masih berstatus anggota DPR/D dari partai politik yang berbeda.
Menurut Titi, alasan penggantian caleg terpilih paling banyak karena yang bersangkutan diberhentikan dari partai politik. Memang, regulasi membuka ruang caleg terpilih diganti baik pada saat sebelum SK KPU terbit, setelah SK KPU terbit, dan setelah pelantikan.
“Memang dibuka ruangnya. Tapi, yang poin diberhentikan dari keanggotaan partai terjadi tanpa kontrol. Di beberapa kasus, misal di dapil Jawa Barat 11, dari Partai Gerindra dapat 3 kursi. Suara terbanyak ketiga dipecat, keempat dipecat, suara kelima naik ke kursi ketiga. Itu kasusnya diberhentikan partai,” tutur Titi.
Sejauh ini, dari pengamatan Perludem, caleg terpilih diberhentikan partai dengan alasan melanggar nilai-nilai partai, melanggar kode etik partai, dan melaksanakan putusan pengadilan. Melanggar nilai-nilai partai misalnya, melakukan politik uang, namun tak dibuktikan melalui proses di Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
Menjaga kemurnian sistem pemilu ditengah kekosongan hukum
Peneliti senior Netgrit, Hadar Nafis Gumay mengkritik kebijakan KPU yang menindaklanjuti penggantian caleg terpilih karena pemberhentian dari keanggotaan partai dengan hanya mengklarifikasi partai politik yang mencalonkan, tanpa mengklarifisi pula caleg yang bersangkutan. Menurut Hadar, KPU semestinya menjaga kemurnian sistem pemilu proporsional terbuka dengan kukuh mempertahankah caleg terpilih yang telah dipilih oleh pemilih berdasarkan suara terbanyak.
“Tidak bisa dilakukan hanya mengecek satu pihak saja yang sudah melakukan tugasnya. Maksudnya, ada partai yang memberhentikan caleg, lalu ada caleg terpilih yang diberhentikan. Nah, caleg-caleg ini perlu dipastikan bahwa mereka sudah cukup diberi ruang untuk menggunakan haknya untuk melakukan pembelaan. Ini soal proses, bahwa harus dikembalikan kepada suara rakyat yang telah menentukan,” kata Hadar pada diskusi yang sama.
Hadar, begitu pula yang diutarakan Titi, mengkritik ketidaksesuaian pandangan mengenai sistem pemilihan legislatif yang disampaikan oleh ahli, yang diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan di dalam putusannya No.520/Pdt.Sus.Parpol/2019/PN JKT.SEL. Ahli berpandangan, bahwa meskipun penentuan caleg berdasarkan perolehan suara terbanyak, namun apabila suara partai lebih besar dari suara caleg, maka penentuan caleg terpilih menjadi kewenangan absolut partai.Pandangan tersebut, meminjam istilah Titi, memporak-porandakan sistem pemilihan legislatif yang dianut Indonesia.
“Putusan pengadilan itu memakai logika bahwa partai bisa menentukan suara dari partai itu mau dikasih ke siapa. Ini logika yang memprorak-porandakan sistem pemilu kita,” tegas Titi.
Terhadap kritik masyarakat sipil, anggota KPU RI, Evi Novida Ginting menyatakan pihaknya tak bisa masuk terlalu jauh ke dalam internal partai. Di dalam UU Pemilu, peserta pemilihan legislatif adalah partai politik, bukan perorangan caleg. KPU berpegang pada PKPU No.5/2019, dan bertindak berdasarkan dokumen berkekuatan hukum, seperti putusan pengadilan dan SK Pemberhentian dari partai.
“Ketika SK Pemberhentian itu diterima, kami lakukan klarifikasi ke partai politik. Partai kemudian karena dinyatakan benar, sekjennya mengklarifikasi terkait pemberhentian yang sudah dilakukan. Yang ingin kami sampaikan adalah, KPU juga terikat oleh PKPU. Kalau berlarut-larut, kami tidak memberi kepastian hukum. Jadi, kalau ada fakta yang berkaitan dengan persyaratan bahwa penggantian calon terpilih terpenuhi, kami tidak bisa menghindar,” ujar Evi.
Pada kasus Maluku dan Sulawesi Selatan, KPU belum merubah SK Penetapan Caleg Terpilih. Pasalnya, sekalipun Kemendagri telah mengeluarkan SK untuk menunda pelantikan caleg terpilih pilihan pemilih, belum ada proses yang ditempuh oleh partai. KPU meminta agar Kemendagri tetap melantik dua caleg yang berdasarkan SK Kemendagri, ditunda pelantikannya.
“Pada beberapa provinsi, kita melihat konteks kapan SK Pemberhentian dikeluarkan. Kalau kasus Maluku, kita tidak melakukan penggantian calonterpilih walaupun Mendagti tidak melantik yang bersangkutan berdasarkan SK Mendagri. Sikap kita sampai pelantikan, tidak ada fakta hukum yang menjadikan adanya penggantian calon terpilih,” tandas Evi.
Smenetara itu, peneliti Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Ihsan Maulana mengatakan KPU tak bisa sepenuhnya disalahkan. Sebab, saat ini, tak ada aturan mengenai mekanisme pemberhentian caleg yang berkeadilan. Namun, Ihsan tetap menyayangkan tindakan partai politik yang dinilainya menyebabkan ketidakpastian proses penegakan hukum pemilu. Semestinya, hasil pemilu yang telah ditetapkan oleh KPU setelah proses hukum di MK, selesai dan tak ada upaya hukum lain. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan seolah menandakan bahwa putusan MK tidaklah final dan mengikat.
“Pada sengketa pemilu kemarin, ada putusan Bawaslu terkait rekapitulais proses dadn sengketa rekapitulasi yang dinegasikan oleh MK. Karena MK menilai, ketika hasil sudah ditetapkan KPU, maka sengketanya menjaddi objek MK. Ketika objek ini dibuka kembali, padahal MK sudah menyelesaikan proses segketa, ada putusan yang merubah hasil keterwakilan caleg. Artinya, ada ketidakpastian dari proses penegakan hukum pemilu kita,” urai Ihsan.
Rekomendasi revisi UU Pemilu
Tiga rekomendasi diajukan oleh masyarakat sipil. KoDe Inisiatif merekomendasikan agar mekanisme pemberhentian caleg terpilih oleh partai diatur di dalam UU Pemilu. Tujuannya, agar tak ada pihak yang dirugikan, dan KPU dapat percaya diri mengambil tindakan.
Di sisi lain, Perludem dan Netgrit mendorong agar semua pihak menjaga kemurnian suara rakyat dan konsistensi sistem pemilihan legislatif. Jika pemilih memilih caleg A, mestinya caleg A pula yang ditetapkan. Dengan kata lain, tak boleh ada distorsi sistem pemilihan karena pemaksaan kehendak elit partai. Sikap progresif KPU ditunggu, dan KPU diharapkan menjaga prinsip penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil hingga tahap pelantikan caleg terpilih.
“Sistem Pemilu di Indonesia yang ada saat ini harus dihormati dan dilaksanakan secara konsisten. Tidak boleh dilakukan distorsi, apalagi karena kehendak elit yang tidak sejalan dengan suara rakyat,” tegas Titi.
Rekomendasi lain yang diusulkan yakni, revisi UU Pemilu dengan memasukkan persyaratan rekrutmen caleg sekurang-kurangnya menjadi kader partai selama tiga tahun sebelum pendaftaran caleg.