Keputusan cepat untuk menunda keseluruhan tahapan Pilkada Serentak 2020 akibat wabah Covid-19 akan memberikan kepastian hukum bagi bakal calon peserta pilkada, calon pemilih, serta penyelenggara pemilu. Hal ini juga bisa membuat perhatian masyarakat dan aparatur pemerintahan lebih fokus pada upaya menghentikan pandemi Covid-19.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) pekan lalu telah menunda empat tahapan Pilkada 2020 yang sedianya berlangsung pada Maret-Mei 2020. Namun, dalam surat keputusan penundaan itu, tidak dicantumkan batas waktu penundaan.
Adapun, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menetapkan status keadaan tertentu darurat bencana Covid-19 29 Februari 2020 hingga 29 Mei 2020. Adapun, pemungutan suara Pilkada 2020 dijadwalkan digelar pada 23 September 2020.
Direktur Pusat Studi Pancasila dan Konstitusi Universitas Negeri Jember, Jawa Timur, Bayu Dwi Anggono dihubungi dari Jakarta, Kamis (26/3/2020) mengatakan, saat ini tidak bisa ditentukan sampai kapan wabah Covid-19 akan berakhir, sehingga sebaiknya pilkada ditunda.
Konstitusi sudah menyediakan desain berupa peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), sehingga sebaiknya opsi penundaan itu diambil untuk memberikan kepastian hukum kepada penyelenggara, peserta, dan pemilih. Di sisi lain, keselamatan warga menjadi pertimbangan utama.
“Saat ini sebaiknya fokus menangani wabah Covid-19,” katanya.
Empat landasan
Anggota KPU Hasyim Asy’ari mengatakan tim hukum KPU mengkajian kemungkinan penundaan Pilkada 2020 sebagai bahan rapat pleno yang akan diadakan KPU, pekan depan. Kemungkinan penundaan akan dibahas di rapat tersebut.
Menurut Hasyim, ada empat landasan filsafat hukum yang digunakan dalam melihat kemungkinan penundaan pilkada akibat wabah Covid-19. Pertama, kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya harus berdasarkan kemaslahatan. Kedua, salah satu tujuan berhukum ialah memelihara kelangsungan hidup manusia. Karena itu tidak dibenarkan upaya-upaya yang berakibat pada hilangnya keberadaan manusia. Ketiga, menghindari keburukan harus diutamakan daripada meraih kemaslahatan. Keempat, keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi.
Untuk menunda pilkada, kata dia, bisa melalui dua pintu, yakni revisi terbatas UU 10/2016 tentang Pilkada atau penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) terhadap UU No 10/2016. Sebab ketentuan penyelenggaraan pilkada dijadwalkan pada September 2020 termaktub dalam Pasal 201 Ayat (1) UU Pilkada.
Sementara itu, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung menyampaikan, untuk mencegah penyebaran virus korona, penundaan Pilkada 2020 dinilai menjadi opsi yang paling tepat. Saat DPR kembali bersidang, pekan depan, Komisi II akan memprioritaskan pembahasan Pilkada 2020 dengan pemerintah dan penyelenggara pemilu. Apabila semua pihak sepakat menunda pilkada, menurut Doli, langkah selanjutnya yang paling memungkinkan adalah penerbitan perppu untuk menunda pemilihan.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, mengatakan perppu merupakan subyektivitas Presiden. Namun, dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan tiga syarat dikeluarkannya Perppu. “Tiga syarat untuk terpenuhinya perppu sudah cocok dengan kondisi saat ini,” katanya.
Syarat-syarat itu adalah, terjadinya kekosongan hukum sehingga memerlukan perppu. Lantas, ada hukum tetapi tidak mampu menyelesaikan masalah sehingga membutuhkan perppu. Ketiga, jikapun kekosongan hukum itu mau dipenuhi dengan membentuk UU baru, metode biasa pembentukan UU tidak bisa dilakukan. Pasalnya kondisi yang ada memerlukan kecepatan penanganan. (RINI KUSTIASIH, NIKOLAUS HARBOWO, DAN INGKI RINALDI)