August 8, 2024
Sumber: akun Youtube Mahkamah Konstitusi RI

Penyatuan Pemilu DPRD dengan DPR Mendistorsi Kedaulatan Rakyat

Senin (27/9), Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perkara uji materi No.16/2021 mengenai desain pemilu serentak. Dalam sidang ini, para pemohon menghadirkan tiga orang ahli, yaitu Titi Anggraini, pegiat pemilu dan anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Ferry Kurnia Rizkyansyah, Direktur Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) dan mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI periode 2012-2017, dan Kris Nugroho, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga. Ketiga ahli menyoroti masalah kompleksitas dan beban berat penyelenggaraan pemilu yang menyatukan tiga pemilihan legislatif di satu hari yang sama, serta dampaknya terhadap kedaulatan suara rakyat, yang berimbas pada tercederainya asas pemilu.

Sistem proporsional daftar terbuka bukan padanan cocok pemilu legislatif serentak

Titi mengawali keterangannya dengan mengulas sejarah sistem pemilu di Indonesia. Pada masa Orde Baru, Pemilu Legislatif telah menyatukan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPR Daerah (DPRD) Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Namun, karena sistem pemilu yang diterapkan ialah sistem proporsional daftar partai atau tertutup sehingga pemilihan mudah dilakukan, tingkat surat suara tidak sah di bawah angka normal yang dimaklumi oleh internasional, yakni 4 persen. Begitu pula pada Pemilu 1999 dengan sistem yang sama persis, persentase suara tidak sah hanya 3,4 persen.

Suara tidak sah melonjak pada Pemilu Legislatif 2004. Ketiga empat pemilu legislatif, termasuk Pemilu Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dibarengkan, tetapi sistem pemilu yang diterapkan menjadi semi proporsional daftar calon atau terbuka. Kompleksitas pemilihan mewujud dalam tingginya persentase suara tidak sah, yaitu 8,8 persen.

Besarnya suara tidak sah terus terjadi hingga pemilu terakhir. Untuk Pemilu DPR, angka tidak sah mencapai 11,12 persen atau 17.503.953 suara pemilih. Suara tidak sah merupakan pemenang Pemilu ketiga setelah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).

“Jadi, kalau melihat data ini, bisa dikatakan kompleksitas teknis dan beban yang dirasakan oleh pemilih dalam memberikan suara bukanlah faktor khas Pemilu Serentak 2019, tetapi secara faktual merupakan konsekuensi ketika Pemilu DPRD bergabung dengan Pemilu DPR dengan kombinasi pilihan sistem pemilu proporsional daftar terbuka,” jelas Titi.

Fenomena yang sama dapat ditemukan di Brazil dan Honduras. Pada Pemilu Serentak Brazil 2018, dan Pemilu Serentak Honduras 2017, angka suara tidak sah tinggi, yaitu 16,03 persen dan 15,33 persen. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka solusi yang diambil oleh negara-negara lain ialah menghindari penyatuan pemilu DPR dengan DPRD, terutama jika pemilu DPRD menggunakan sistem pemilu proporsional terbuka.

Pilihan variabel penyelenggaraan pemilu yang tidak pas dinilai Titi sebagai masalah konstitusional. Sebabnya, pilihan itu mendistorsi asas kedaulatan rakyat yang tertuang di dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Oleh karena itu, mesti ada perubahan dalam penyelenggaraan pemilu, dalam hal ini bukan sistem pemilunya, tetapi desain keserentakan pemilu, agar pemilu merefleksikan kehendak rakyat secara murni.

“Bayangkan angka di atas 10 persen suara tidak sah tidak bisa dihitung ketika pemilik sudah memberikan suara-suara Padahal mereka adalah pemegang kedaulatan rakyat. Membiarkan suara tidak sah yang tidak wajar di atas rata-rata global tidak boleh dibiarkan dan tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang biasa saja.

Penyederhanaan teknis tak akan kurangi kompleksitas

Para hakim MK meminta pendapat para ahli mengenai penyederhanaan teknis pemilu, seperti menyederhanakan formulir dan menambah jumlah anggota penyelenggara pemilu ad hoc. Para hakim MK menawarkan opsi adanya sub khusus untuk masing-masing jenis pemilihan.

“Oke ada kelelahan, penghitungan sampai malam. Pertanyaan saya begini, kalau soal kelelahan penyelenggara, apa sih konsekuensinya kalau jumlah penyelenggara di TPS ditambah? Misalnya ada sub khusus untuk Pilpres dan DPD, ada sub lagi untuk DPR RI, ada satu sub lagi untuk DPRD Provinsi, dan satu sub lagi untuk DPRD Kabupaten/Kota. Memang kami menyadari akan ada biaya yang muncul. Jika seperti itu, terkait penyelenggara di tingkat paling bawah bisa diselesaikan atau tidak?”, tukas hakim MK, Saldi Isra.

Menjawab pertanyaan tersebut, Titi menegaskan bahwa rekayasa teknis dalam pemilu serentak lima kotak tak akan cukup mengurangi kompleksitas yang ada. Justru, membuat lima sub pemilihan di TPS akan membuat kompleksitas baru, seperti menambah mahal biaya politik elektoral untuk pengawas TPS dan saksi peserta pemilu di TPS. Penyederhanaan formulir juga sulit dilakukan sebab sistem pemilu yang digunakan ialah sistem proporsional terbuka, di mana petugas harus juga menghitung perolehan suara masing-masing caleg.

“Ketika kita memecah penghitungan di TPS menjadi lima paralel, di saat yang sama harus ada 5 saksi partai, 5 pengawas TPS, dan harus ada tempat yang besar untuk teknis penyelenggaraannya. Ini akan membawa politik biaya tinggi yang terus bertambah di pemilu kita. Bukan hanya uang negara, tetapi juga uang yang dikeluarkan kontestan untuk mengawal prosesnya,” tandas Titi.

Menambahkan Titi, Ferry menilai penerapan lima sub khusus pemilu di TPS berkonsekuensi pada akses publik yang tidak lagi dapat menyaksikan keseluruhan proses pungut hitung di TPS. Perhatian publik akan terbagi dan hanya akan dapat menyaksikan proses penghitungan suatu lembaga perwakilan.

“Jika itu dilakukan, maka akses publik terhadap keseluruhan proses tidak bisa terpenuhi. Publik hanya dapat menyaksikan proses penghitungan satu lembaga perwakilan saja. Belum lagi ekses lain seperti manipulasi,” tegas Ferry.

Ketiga ahli kompak menyimpulkan bahwa mengurangi kompleksitas pemilu dan beban penyelenggara pemilu hanya efektif dilakukan dengan mengeluarkan pemilu DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dari pemilu DPR RI. Dan, merujuk Putusan MK No.55/2019, pemilu DPR RI harus dibarengkan dengan pemilu presiden dan DPD.

Kris menekankan pentingnya terobosan teknologi dalam proses penghitungan dan rekapitulasi suara. Teknologi dapat mempermudah kerja-kerja penyelenggaraan pemilu.

“Tidak bisa mengandalkan hitung manual. Perlu pemanfaatan teknologi digital. Ini harus ditindaklanjuti oleh undang-undang,” ujar Kris.

Tidak direvisinya UU Pemilu dipertanyakan

Titi mempertanyakan mengapa Pemerintah dan DPR tidak melakukan revisi UU Pemilu. Padahal, dalam pembahasan revisi UU Pemilu, dirinya dan para pakar lain telah dimintai pendapat sebanyak tiga kali, dan hampir semua pakar merekomendasikan agar model keserentakan pemilu ditinjau kembali. Selain itu, hasil analisis dan evaluasi pemilu oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (BPHN Kemenkumham) juga menyimpulkan bahwa pemilu serentak lima kotak membawa dampak dan implikasi bagi beban kerja dan kesehatan penyelenggara pemilu sehingga direkomendasikan untuk mengubahnya menjadi pemilu serentak nasional untuk memilih DPR, DPD, dan presiden, dan pemilu serentak daerah untuk memilih DPRD Provinsi DPRD Kabupaten/Kota dan kepala daerah.

Terhadap hal ini, hakim MK, Enny Nurbaningsih, meminta agar DPR menambahkan keterangan alasan DPR menarik revisi UU Pemilu dari Program Legislasi Nasional. Dalam keterangan yang disampaikan DPR pada sidang ini, DPR hanya meminta agar Mahkamah tidak menerima permohonan uji materi para pemohon karena model keserentakan pemilu merupakan wewenang pembentuk undang-undang.

Sidang akan dilanjutkan pada 28 Oktober pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan dua ahli dari Presiden.