August 8, 2024

Penyederhanaan Pemilu

pilkada-pemilu

Kompleksitas pemilu yang tak terkelola bisa berdampak pada proses dan hasil pemilu yang tak demokratis. Pada Pemilu 2009, KPU melayani 170 juta pemilih di seluruh penjuru tanah air dan harus menyiapkan 700 juta lembar surat suara dengan 2.000-an varian sesuai jumlah daerah pemilihan. KPU akhirnya terjebak pada urusan teknis penyiapan pemilu. Kegiatan strategis seperti sosialisasi pemilu dan pendidikan pemilih terabaikan.

Di pihak peserta pemilu DPR dan DPRD, partai politik harus menyiapkan puluhan ribu calon legislatif. Kebutuhan anggaran yang sangat besar mendorong partai menjadi pragmatis. Penetapan calon berlandaskan popularitas dan modal materi, bukan kualitas serta representasi masyarakat.

Pemilih dihadapkan pada situasi tak demokratis itu. Masyarakat cenderung dimobilisasi, bukan berpartisipasi. Rakyat ditempatkan sebagai objek pendulang suara, bukan subjek pemilik kedaulatan. Menyukseskan pemilu bukan berangkat atas kesadaran politik melainkan ikut menjadi pragmatis.

Pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pilkada yang diselenggarakan dalam waktu yang berserakan menambah keadaan tak demokratis itu. Anggaran Negara dan ongkos politik partai dan caleg menjadi tinggi. Pemilih sulit bersikap rasional. Dan, penyelenggara menanggung beban pekerjaan tidak seimbang.

Pemerintahan tak efektif

Penyelenggaraan pemilu legislatif, pemilu presiden, dan pilkada yang berserak pun menghasilkan pemerintahan presidensial tak efektif. Pemerintahan nasional terbelah (divided government) secara horizontal karena presiden tak didukung parlemen yang kondusif. Pemerintahan nasional pun terputus secara vertikal karena pusat, provinsi, dan kabupaten/kota merepresentasikan kekuatan politik berbeda yang tak saling mendukung.

Sebagai contoh, periode pertama pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak efektif disebabkan sedikitnya kursi Partai Demokrat di DPR. Partai Bintang Mercy hanya punya 56 kursi (10,18% kursi DPR). Namun ketika Pemilu 2009, Partai Demokrat mendapatkan 148 kursi (26,43% kursi DPR), ketidakefektifan pemerintahan SBY-Boediono tetap terjadi. SBY-Boediono pun didukung 6 partai di parlemen yang berarti menguasai sekitar 75,53% kursi di DPR.

Penyebabnya, koalisi bongkar pasang pendukung pemerintah itu tak solid. Presiden gagal mengendalikan partai-partai koalisi. Sebaliknya, partai-partai tampak berhasil mendikte Presiden dalam membuat berbagai kebijakan. Terlihat bahwa pada pemerintahan Nasional, Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 menghasilkan pemerintahan terbelah. Eksekutif dikuasai partai-partai yang tidak sama dengan partai dominan di legislatif.

Kondisi lebih buruk terjadi pada pemerintahan daerah. Setelah pilkada, pasangan calon kepala daerah terpilih benar-benar terlepas dari pengaruh partai, meskipun partai itu memiliki kursi di DPRD. Fragmentasi partai yang tinggi di DPRD di satu pihak dan konflik internal parpol di lain pihak, membuat DPRD tidak solid mengimbangi eksekutif dalam pengambilan kebijakan dan pengawasan.

Sementara kepala daerah merasa tidak terikat lagi oleh garis perjuangan parpol. Mereka sudah “membayar lunas” kepada parpol pada saat pencalonan. Akibatnya kepala daerah menjalankan kebijakan sendiri. Bila terjadi tantangan dari DPRD akan diselesaikan melalui transaksi. Inilah yang melatar belakangi banyaknya kepala daerah yang terlibat kasus korupsi.

Serentak nasional dan serentak daerah

Menyederhanakan kompleksitas penyelenggaraan pemilu yang berserak, Tim Sekretariat Bersama Kodifikasi Undang-undang Pemilu merekomendasikan pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah. Tim yang merepresentasikan puluhan lembaga masyarakat sipil ini menjelaskan dalam naskah akademis kodifikasi UU pemilu bahwa, pemilu serentak nasional adalah penggabungan pemilu presiden, pemilu DPR dan pemilu DPD dalam satu waktu penyelenggaraan. Sedangkan, pemilu serentak daerah adalah penggabungan pilkada provinsi dan kabupaten/kota dengan pemilu DPRD provinsi dan kabupaten/kota dalam satu waktu penyelenggaraan.

Desain penyederhanaan pemilu itu masih bisa diwujudkan dalam waktu dekat. Pertama, karena skema nasional-daerah tersebut punya dasar konstitusional, masa jabatan anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota hasil Pemilu 2014, diperpanjang sampai 2021 dan perpanjangan masa jabatan anggota DPRD tersebut bisa diatur melalui kodifikasi Undang-Undang Pemilu yang kini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016.

Kedua, dalam jangka pendek merevisi UU No 8/2015 tentang Pilkada, sehingga masa jabatan kepala daerah bisa disesuaikan dengan penyelenggaraan pemilu daerah 2021. Misalnya, untuk kepala daerah yang ikut pilkada serentak gelombang ketiga pada masa 2018 masa jabatan mereka berakhir pada 2021 atau hanya sekitar dua setengah tahun.

Berikut sembilan manfaat penyelenggaraan pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah:

  1. Efektivitas pemerintahan presidensial karena presiden akan mendapatkan dukungan solid dari DPR tidak hanya karena berasal dari koalisi partai yang sama tetapi juga karena memiliki misi dan program yang sama.
  2. Menyederhanakan jumlah partai politik secara alamiah dan demokratis (tanpa membuang suara sah dalam jumlah besar)
  3. Pemilu Nasional yang diselenggarakan lebih dahulu dari pada Pemilu Daerah tidak saja akan memfasilitasi sinergi kebijakan nasional dengan kebijakan daerah tetapi juga sinergi koalisi partai pada tingkat lokal.
  4. Pemilu Nasional akan fokus pada isu nasional, sedangkan Pemilu Daerah akan fokus pada isu lokal.
  5. Pemerintahan Presidensial akan menjadi lebih stabil karena Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah akan dapat difungsikan menjadi mekanisme mengakomodasi tuntutan akan perubahan pada masa jabatan presiden.
  6. Pemilih akan dapat memberikan suaranya secara cerdas antara lain karena yang dipilih  pada Pemilu Nasional hanya tiga, sedangkan pada Pemilu Daerah sebanyak empat penyelenggara Negara tetapi dengan isu yang berbeda.
  7. Kedaulatan pemilih makin meningkat karena pemilih akan menuntut akuntabilitas penyelenggara Negara hasil Pemilu Nasional pada Pemilu Daerah dan menuntut akuntabilitas penyelenggara Negara hasil Pemilu daerah pada Pemilu Nasional.
  8. Akuntabilitas partai kepada konstituen. Karena pemilih mengikuti terus menerus perilaku dan kinerjanya partai politik dan calon akan berupaya mendengarkan konstituen, menjelaskan apa yang dilakukan dan yang tidak dilakukan kepada konstituen serta menjawab pertanyaan dan kritik konstituen.
  9. Penyelenggaraan pemilu akan dapat dilakukan secara lebih efisien pada tiga aspek. Pertama, KPU beserta seluruh jajarannya akan dapat mempersiapkan, merencanakan,melaksanakan dan mengendalikan pemilu secara efisien. Kedua, biaya penyelenggaraan Pemilu Daerah memang akan lebih efisien karena berubah dari tiga kali pembiayaan pemilu. Ketiga, para anggota dan staf Sekertariat Jendral KPU pada tingkat nasional dan daerah akan bekerja sepanjang tahun.

Pemilu serentak nasional dan pemilu serentak daerah terpisah 24-30 bulan. Waktu ini diperkirakan menghasilkan konsekuensi politik positif. Hasilnya tidak hanya bagi efektivitas pemerintahan presidensial dan pemerintahan daerah tetapi juga konsolidasi demokrasi Indonesia. Berdasarkan pengalaman banyak Negara penganut sistem presidensial, pemilu serentak nasional dan serentak pemilu daerah dengan waktu yang terkelola baik berdampak signifikan bagi proses dan hasil pemilu yang demokratis. []

YAYAN HIDAYAT

Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Brawijaya