August 8, 2024

Perbaikan Permohonan, Pasal 167 Ayat 3 UU Pemilu Dinilai Bertentangan dengan 4 Pasal UUD 45

Senin (26/7), kuasa hukum para pemohon uji materi Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang (UU) Pemilu No.7/2017 membacakan permohonan perbaikan. Pada sidang pendahuluan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) meminta agar pemohon menegaskan kedudukan hukum pemohon, kerugian konstitusional atas berlakunya Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu, dan tawaran desain keserentakan pemilu. Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu berbunyi “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak pada hari
libur atau hari yang diliburkan secara nasional.”

Dalam perbaikan tersebut, para pemohon menilai bahwa Pasal 167 ayat (3) UU No.7/2017 bertentangan dengan empat pasal di dalam UU Dasar (UUD) 1945. Pertama, Pasal 1 ayat (2), “Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Menurut pemohon, sebagai pemilik kedaulatan, pemohon dirugikan hak konstitusinya ketika berpartisipasi sebagai penyelenggara pemilu sehingga pemohon memiliki kedudukan hukum.

Kedua, bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak” Menurut pemohon, berpartisipasi sebagai penyelenggara pemilu adalah hak dan kewajiban yang melekat pada diri pemohon sebagai warga negara. Beban pemilu serentak lima kotak tidak manusiawi sehingga merugikan pemohon sebagai warga negara yang berhak mendapatkan pekerjaan yang layak sebagai penyelenggara pemilu.

“Dalam konteks tersebut, para pemohon yakin bahwa hal ini tidak hanya dirasakan oleh para pemohon saja, tetapi mayoritas penyelenggara ad hoc pada Pemilu Serentak lalu,” ucap kuasa hukum pemohon uji materi, Fadli Ramadhanil, pada sidang virtual yang disiarkan pada Youtube Mahkamah Konstitusi, Senin (26/7).

Ketiga, Pasal 22E Ayat (1). “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.”

Juga dinilai bertentangan dengan Pasal 28 c ayat 2. “Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya”.

Disebutkan bahwa dengan berlakunya norma yang diujikan, pemohon sebagai warga negara terhambat dalam berpartisipasi di pemilu, sebab beban pemilu yang berat berisiko mengakibatkan kelelahan bahkan hilangnya nyawa.

“Ketika pemberlakuan UU a quo, itu hal yang berat sehingga menghambat para pemohon untuk berpartisipasi bagi masyarakat dan negaranya,” tukas Fadli.

Argumentasi permohonan

Selain menegaskan kerugian konstitusional para pemohon yang terdiri atas empat orang mantan penyelenggara pemilu ad hoc di Pemilu Serentak 2019, kuasa hukum juga menegaskan perbedaan argumentasi permohonan ini dengan permohonan sebelumnya. Di antaranya yakni, bahwa permohonan ini diajukan setelah adanya keadaan hukum baru, yakni Putusan MK No.55/2019 yang memberikan opsi-opsi desain pemilu serentak, serta tiadanya revisi UU Pemilu.

“Keputusan politik pembuat UU, mereka tidak merevisi UU pemilu. Jadi, dengan kondisi yang ada saat ini, pemilu lima kotak akan kembali dilakukan pada 2024, dan di November akan dilaksanakan pula Pilkada Serentak di seluruh provinsi dan kabupaten/kota,” tegas Fadli.

Dalam permohonan ini, para pemohon meminta Mahkamah untuk membatasi format keserentakan pemilu. Adapun pemohon juga menawarkan desain keserentakan pemilu yang dinilai manusiawi dengan beban pemilu yang rasional.

Tawaran yang diajukan yakni, pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi dan kabupaten/kota dikeluarkan dari pemilu serentak nasional, dan diselenggarakan bersamaan dengan Pemilihan Kepala Daerah pada 2026. Dengan demikian, Pemilu Serentak 2024 hanya memilih presiden, anggota DPR, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

“Yang mengakibatkan beban berat penyelenggara adalah menggabungkan empat pemilihan legislatif di satu hari yang sama. Oleh karena itu, melalui permohonan ini, penting kiranya untuk melakukan penelusuran kembali terhadap opsi keserentakan pemilu yang sudah pernah diputus oleh MK 2019 lalu dengan membatasi agar pemilihan legislatif yang empat jenis itu tidak digabungkan dalam satu hari yang sama,” kata Fadli.

Dengan dimundurkannya pemilihan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota ke tahun 2026, maka masa jabatan anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota hasil Pemilu Serentak 2019 diperpanjang selama dua tahun. Perpanjangan masa jabatan pernah dilakukan dalam sejarah pemilu di Indonesia, yakni pada tahun 1977.

“Contohnya di masa transisi, pernah dilakukan. Pemilu 1971, pemilu setelahnya baru dilakukan pada 1977,” ungkap Fadli.

Perpanjangan atau pemotongan masa jabatan, dinilai Fadli dapat dilakukan tanpa mengurangi hak pemilik jabatan jika dilakukan jauh hari sebelum pemotongan atau perpanjangan masa jabatan.

Para pemohon uji materi ini yakni, Akhid Kurniawan, Dimas Permana Hadi, Heri Darmawan, dan Subur Makmur.