August 8, 2024

Perempuan Bicara Pemilu: Kami Ingin Kompetisi yang Seimbang

Pada diskusi “Kartini Bicara Pemilu” (20/4) di Senayan, Jakarta Selatan, anggota Kaukasus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) berbagi pengalaman mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dan menjadi anggota legislatif. Dua perempuan mengatakan trauma setelah tiga kali mencalonkan diri dan gagal.

Mantan calon anggota legislatif (caleg) dari Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Rahmawati, mengatakan bahwa dirinya kecewa dengan kinerja Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang tak dapat mencegah dan menindak politik uang. Usaha kampanye yang telah dilakukan kandas karena praktek kotor yang terjadi di lapangan.

“Fungsi Bawalsu tidak efektif. Masih saja selalu terjadi serangan fajar. Jadi, mau seidealis apa pun, mau seluar biasa apa pun pengorbanan yang sudah saya lakukan, praktek di lapangan membuat saya trauma,” kata Rahmawati.

Pernyataan Rahmawati diiyakan oleh salah satu kader partai yang juga gagal mencalonkan diri, Nur Hayati. Ia menyesalkan tak adanya penyelesaian hukum atas kecurangan politik uang. Ia juga kecewa pada sikap partai yang tak memberikan perlakuan sama kepada semua caleg partai. Saksi partai di hari pemungutan suara, kata Nur, disediakan hanya untuk caleg nomor urut atas atau caleg yang memiliki banyak uang. Partai juga seringkali menyembunyikan form C1 dari beberapa caleg.

“Keadilan hukum jelas tidak ada. KPPI coba tolong adakan saksi independen untuk semua perempuan caleg yang bertarung di pileg (pemilihan legislatif). Itu akan sangat membantu sebagai modal hukum apabila ada proses yang tidak fair,” kata Nur.

Anggota legislatif dari Partai Golongan Karya (Golkar), Hetifah Sjaifudian, menanggapi curhatan tersebut. Ia mengatakan bahwa ongkos besar yang perlu dikeluarkan untuk berkampanye di pileg memang menjadi faktor utama yang membuat perempuan urung mencalonkan diri. Padahal, banyak kader partai perempuan yang memiliki kualitas dan kompetensi yang baik, dan telah mengabdi lama kepada partai.

“Perempuan saat ini tidak banyak yang memiliki pekerjaan sehingga kalau mau nyalon, mereka bingung uangnya dari mana. Ini yang akhirnya menjadi alasan bagi partai untuk belum berani mencantumkan aturan 30 persen perempuan di nomor urut satu karena sulit mencari perempuan yang mau jadi caleg,” kata Hetifah.

Hal tersebut, kata Hetifah, menimbulkan stigma bahwa perempuan yang terpilih adalah perempuan ber-uang banyak atau memiliki back up politik yang kuat. Sebagai contoh, caleg A terpilih karena suami atau kerabatnya adalah kepala daerah Z.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, berpendapat bahwa politik uang yang mengakibatkan kompetisi tidak seimbang kepada perempuan caleg mesti diakhiri dengan tidak membolehkan calon untuk memberikan materi dalam bentuk apapun. Kampanye di media elektronik juga mesti dibiayai seluruhnya oleh negara.

“Perempuan caleg punya masalah yang lebih banyak dari laki-laki. Kalau tadi para perempuan mengatakan trauma, trauma terjadi karena pileg menyisakan ketidakadilan hukum. RUU (Rancangan Undang-Undang) Pemilu mesti memiliki semangat untuk menciptakan keadilan pemilu dan kompetisi yang seimbang,” tukas Titi.

Titi menagih konsistensi sikap Panitia khusus (Pansus) RUU Pemilu atas keterwakilan perempuan di daftar calon. “Gak usah kasih kami angin segar dengan menawarkan blocking seat pada tempo hari. Tetapkan saja secepatnya aturan perempuan di nomor urut satu di 30 persen dapil,” kata Titi.

Titi menghimbau agar pimpinan partai politik turun tangan untuk memastikan isu keterwakilan perempuan mendapat tempat sesuai dengan aspirasi kelompok-kelompok perempuan yang telah diundang ke rapat dengar pendapat. Pimpinan partai harus memastikan wakil-wakilnya di parlemen berkomitmen untuk memperkuat keterwakilan perempuan.