October 4, 2024

Perempuan di Pilkada 2017 dan Politik Afirmasi UU Pemilu (Rilis Pers dan Dokumen Presentasi)

MENGATASI KETIMPANGAN GENDER DI PILKADA
MELALUI JAMINAN PARTISIPASI PEREMPUAN DAN SUBSIDI PARTAI

Ketimpangan gender masih nyata di pencalonan pilkada. Dari 101 daerah penyelenggara Pilkada 2017, sebanyak 44 perempuan bertarung di 41 daerah yang tersebar di 28 kabupaten, 9 kota, dan 4 provinsi. Perludem melakukan pemetaan terhadap latar belakang 44 perempuan yang mendaftarkan diri sebagai kepala dan wakil kepala daerah.

Profil politik 44 perempuan calon kepala daerah didominasi oleh tiga latar belakang: eks legislator, kader partai, dan jaringan kekerabatan. Untuk calon kepala daerah, ada 69,57% yang berlatar belakang eks anggota dewan, 60.87% kader partai, dan 39,13% dengan jaringan kekerabatan. Untuk calon wakil kepala daerah, ada 33,33% yang berlatar belakang eks anggota dewan, 23,81% kader partai, dan juga 23,81% dengan jaringan kekerabatan.

Penyebab utama dari pencalonan perempuan itu terletak pada sikap dan perilaku partai. Pertama, partai cenderung berorientasi pada aspek elektabilitas dan kekuatan modal. Kedua, partai tak punya suplai kader perempuan memadai.

Dari dua faktor itu partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik bisa ditingkatkan apabila kita bisa mengubah paradigma dan perilaku partai jadi lebih terbuka terhadap kelompok perempuan. Partai dituntut untuk mencalonkan perempuan tidak hanya pertimbangan elektabilitas tapi juga kualitas. Kualitas perempuan bisa ditingkatkan dengan mendorong perempuan hadir dalam struktur pengurus harian dan perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan internal partai.

RUU Pemilu dan subsidi partai
Tuntutan itu sudah diakomodasi dalam UU 8/2012 Pasal 8 ayat (2) huruf e dan diadopsi dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Penyelenggaraan Pemilu Pasal 143 ayat 2. Tetapi partisipasi dan representasi perempuan dalam dua ketentutan ini hanya berlaku pada kepengurusan tingkat pusat.

Banyak perempuan calon kepala daerah berlatar belakang dewan dan kader partai menunjukan bahwa keterlibatan perempuan di kepengurusan partai singnifikan membentuk daya politik perempuan. Dalam ketimpangan gender pencalonan kepala daerah, perempuan berlatar belakang dewan dan kader partai mendominasi dalam jumlah keseluruhan perempuan calon kepada daerah.

Selain kebutuhan keterlibatan perempuan di tingkat daerah yang diwajibkan dalam UU Pemilu, regulasi mengenai pendanaan politik juga bisa memperkuat ketentuan 30 persen keterwakilan perempuan di struktur kepengurusan partai. Subsidi partai terhadap partisipasi perempuan yang sudah lazim diterapkan di sejumlah negara ini berpengaruh juga pada penguatan partai politik.

Di Perancis, misalnya. Pemerintah akan mengurangi jumlah dana subsidi kepada partai-partai yang tidak memenuhi persyaratan kesetaraan gender (disebut sebagai the parity rule) sebagaimana tercantum di dalam UU pemilu.

“Ancaman legal” itu terbukti efektif meningkatkan partisipasi kandidat perempuan dalam pemilu. Semenjak regulasi tersebut diterapkan pada tahun 2000, jumlah anggota parlemen perempuan naik hingga dua kali lipat. Regulasi semacam ini kemudian diadopsi juga oleh Portugal, Albania, dan Irlandia.

Pemerintah Indonesia bisa meniru regulasi-regulasi semacam itu untuk meningkatkan partisipasi dan keterwakilan perempuan. Pemerintah bisa memberikan insentif bantuan keuangan bagi partai yang memenuhi 30 persen keterwakilan perempuan di kepengurusan partai politik di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten. []