September 13, 2024

Perhatian Terserap ke Pilpres, Apa Kabar Pileg?

Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), August Melaz menyatakan prihatin terhadap perhelatan Pemilu Serentak 2019 dimana perhatian seluruh pihak, baik penyelenggara, pemerhati, pemantau, peserta pemilu, maupun pemilih tertuju ke Pemilihan Presiden (Pilpres). Hingga H-85 hari, belum ada perhatian khusus terhadap serba-serba Pemilihan Legislatif (Pileg).

“Antara 85 sampai 86 hari menuju hari H, tapi semua perdebatan di publik tersita untuk Pilpres. Pileg ini lepas dari pantauan kita semua. Lepas dari komitmen penyelenggara. Apalagi DPD (Dewan Perwakilan Daerah). DPD itu sudah gak dianggaplah. Apakah mereka masuk dalam skema pelatihan saksi atau enggak, gak tau,” tandas August pada diskusi “Citra Lembaga Penyelenggara Pemilu di Mata Publik” di kantor Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Gondangdia, Jakarta Pusat (22/14).

Semestinya, menurut August, penyelenggara pemilu juga pemantau dan lembaga-lembaga yang berfokus pada bidang pemilu dan demokrasi turut membangun diskusi mengenai Pileg. Penyelenggara diminta tak reaktif menanggapi isu-isu yang tak berkaitan dengan susbtansi penyelenggaraan Pemilu 2019.

“Mana informasi mengenai cara kerja sistem pemilu? Bagaimana memilih untuk legislatif.? Bagaimana kesiapan partai? Ini sama sekali absen. Penyelenggara, dari trend data, sebenarnya habis waktunya untuk mereaksi perkembangan publik yang kadang tidak ada kaitannya dengan substansi penyelenggaraan Pemilu 2019,” kata August.

Data dari hasil riset yang dikerjakan SPD bersama Founding Father House (FFH) menunjukkan, 80 persen pemilih milenial mau memilih pada hari pemungutan suara. Namun sayangnya, hanya sedikit pemilih milenial yang mengetahui informasi dasar mengenai Pemilu 2019, seperti jumlah partai politik peserta pemilu, ambang batas parlemen, dan sistem konversi suara ke kursi.

“Riset kami di enam provinsi, saat kami tanya mau tidak menggunakan hak pilih, 80 persen  jawab mau. Tapi ketika kita tanya lagi tentang teknis penyelenggaraan pemilu, mereka gak tau. Angka 80 persen ini adalah modalitas. Nah, ini mau diapakan oleh penyelenggara?” tukas August.

August mendorong agar penyelenggara pemilu, terutama Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan sosialisasi secara masif kepada pemilih dari berbagai kelompok pemilih. Pada Pileg 2014, jumlah suara tidak sah mencapai 10,31 persen atau setara dengan 14,3 juta pemilih. Angka ini lebih dari dua kali lipat perolehan suara Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) pada Pileg 2014 sebesar 6.579.498.

“10,31 persen ini artinya, setiap 10 pemilih di 2014, satu pemilih salah. Kalau di rata-rata, berarti 27 suara per TPS. Nah, Pemilu 2019 ini lebih kompleks, jadi penyelenggara mau bagaimana? Jangan dipikir, kalau Pilpres berjalan baik, pemilu lainnya ikut baik,” tegas August.