Sanksi terhadap bakal pasangan calon, pendukung, dan berbagai pihak yang melanggar protokol kesehatan Covid-19 dalam tahapan pemilihan kepala daerah (Pilkada) belum bisa diterapkan. Undang-undang Pilkada belum memuat sanksi yang berkaitan dengan hal tersebut. Sanksi administrasi hingga berupa diskualifikasi tidak mungkin dilakukan.
“Tidak bisa diskualifikasi kecuali aturannya dibuat. Diskualifikasi untuk pelanggaran protokol Covid-19 kalau seandainya adai di undang-undang kan pasti bisa. Tapi kalau tidak diatur undang-undang bisa jadi masalah,” kata Rahmat Bagja, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam diskusi “Perlindungan Hak atas Kesehatan dalam Tahapan Pilkada di Masa Pandemi Covid-19” yang diadakan Komnas HAM (17/9).
Dengan aturan yang ada, Bagja memaparkan, pemberian sanksi diskualifikasi harus melalui proses yang panjang. Sanksi diskualifikasi baru bisa diterapkan jika sudah ada putusan pengadilan berkekuatan tetap atas pelanggaran pidana terhadap Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular.
“Diskualifikasi bisa lewat situ tapi itu porsesnya panjang,” tambah Bagja.
Titi Anggraini, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), memandang sanksi yang berkaitan dengan pelanggaran protokol kesehatan Covid-19 harus diatur holistik di undang-undang. Konstruksi sanksi harus menyeluruh dan menjangkau semua aktor.
“Ruang itu tidak diatur di dalam PKPU. Ruang itu harus ada pada level undang-undang,” kata Titi dalam diskusi yang sama (17/9)
Respon atas pelanggaran yang dilakukan terhadap protokol kerehatan tidak bisa dianggap biasa atau dilakukan pembiaran. Sanksi yang bisa diterapkan mencakup sanksi administrasi pemilihan—dari mulai dicabut haknya untuk kampanye hingga diskualifikasi, pidana umum, maupun sanksi administrasi pemerintahan bagi petahana.
“Kalau seandainya pemerintah memang ingin Pilkada dan tidak mau ditunda. Maka pilihan logisnya revisi uu pilkada melalu dua cara—bisa dengan Perpu, bisa dengan revisi terbatas,” tegas Titi.