Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI akan mengeluarkan surat edaran baru sebagai pengganti surat edaran yang telah dikeluarkan dalam rangka menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Surat edaran lama dinilai terkesan membatasi jenis pemilih yang dapat mengurus surat pindah memilih hingga H-7 pemungutan suara.
“Surat edaran pertama seperti membatasi. Putusan MK itu, di penjelasannya menggunakan kata “seperti”, berarti masih banyak kasus yang lain. Makanya akan kami keluarkan surat edaran baru untuk memungkinkan teman-teman yang lain bisa urus surat A5 (pindah memilih),” kata anggota KPU RI, Hasyim Asyarie, pada diskusi “Mengawal Integritas Pemilu: Hak Pilih, Akuntabilitas Dana Politik, dan Penegakan Hukum” di Hotel Ashley, Gondangdia, Jakarta Pusat (5/4).
Putusan MK atas perkara No.20/2019 menyatakan bahwa pemilih yang karena kondisi yang tak dapat ditentukan, seperti pemilih yang sakit, mengalami bencana alam, harus menjalani hukuman penjara, dan harus menjalankan tugas pekerjaan, dapat mengurus surat pindah memilih hingga H-7 hari pemungutan suara. Surat diurus melalui Panitia Pemungutan Suara (PPS) atau KPU kabupaten/kota tempat asal atau KPU kabupaten/kota tempat tujuan memilih.
Data per 25 Maret, total jumlah pemilih pindahan mencapai angka 796.401 pemilih. Hasyim mengimbau agar pemilih memilih di tempat pemilih terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT). Pasalnya, lintas daerah pemilihan (dapil) menyebabkan pemilih kehilangan jenis surat suara tertentu.
“KPU mendorong agar pemilih memilih di tempatnya masing-masing. Karena Undang-Undang (UU) 7 ini beda dari UU Pemilu yang lalu. Kalau dulu, pindah memilih itu masih dapat empat surat suara, sekarang dibatasi,” ujar Hasyim.
KPU RI akan membuat tabel perolehan jenis surat suara yang diterima pemilih jika lintas dapil. Tujuannya, memudahkan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dalam menjalankan tugas dan meminimalisir kesalahan administrasi.
Rencana KPU mengeluarkan surat edaran baru menjawab kekhawatiran yang diutarakan oleh Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini. Titi mengkritik salah satu hakim MK, yakni I Dewa Gede Palguna, yang dalam pernyataannya kepada media melimitasi kategori pemilih yang mesti melaksanakan tugas pada hari pemungutan suara menjadi penyelenggara pemilu. Semestinya, kategori ini diberikan tafsir yang luas, yakni pekerja formal maupun non formal, terlepas dari apakah yang bersangkutan penyelenggara pemilu atau bukan.
“Salah satu hakim MK mengatakan di media bahwa itu hanya dibatasi pada penyelenggara pemilu. Artinya, kalau tafsirnya begitu, hanya jajaran KPU, Bawaslu (Badan Penyelenggara Pemilihan Umum) dan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu). Padahal, yang bertugas pada hari H bukan hanya penyelenggara pemilu, tetapi ada pemantau pemilu, saksi, jurnalis, dan tenaga medis. Jadi, putusan-putusan MK justru berupa limitasi dan tersandera pada prosedur administrasi, yang itu justru ingin kami cari solusinya,” tandas Titi.
Titi berharap agar KPU dapat mengoptimalkan putusan MK dengan mengakomodir masyarakat yang hendak menggunakan hak pilih di tempat tujuan memilih. KPU juga diminta untuk mensosialisasikan aturan baru dengan masif, dan menyeragamkan pemahaman penyelenggara pemilu di bawah dalam memberikan pelayanan hak pilih kepada warga negara.
“Pelaksanaannya dibawah, ada masyarakat yang sulit mengurus A5 karena mereka adalah pekerja informal yang tidak bisa menunjukkan surat tugas. Nah, KPU harus menjelaskan kepada semua jajarannya bahwa kategori pemilih yang mesti menjalankan tugas pada hari pemungutan suara tidak hanya ditafsirkan penyelenggara pemilu, tetapi juga para pekerja, baik di sektor formal maupun informal,” tegas Titi.