August 8, 2024

Perludem dan CSIS Setuju Pilkada Ditunda Hingga 2021

Rapat dengar pendapat (RDP) Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Selasa (14/4) menyepakati usulan Pemerintah agar hari pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 diubah menjadi tanggal 9 Desember 2020. Keputusan tersebut dikritik oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Central for Strategic International Studies (CSIS). Menurut keduanya, Pilkada sebaiknya ditunda hingga 2021.

Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustiyati mengatakan bahwa jika Pilkada dilaksanakan pada 9 Desember dengan tahapan dilanjutkan mulai Juni 2020, pelaksanaan Pilkada beresiko menyebarkan Coronavirus disease 2019 (Covid-19). Masa tanggap darurat akan berakhir pada 29 Mei, dan Juni dipandang sebagai masa pemulihan.

“Ketika tahapan Pilkada itu dimulai di Juni, kan situasinya belum betul-betul bersih. Mungkin kita masih recovery. Mungkin masih ada potensi penularan. Ini harus dipikirkan,” kata Khoirunnisa pada diskusi “Pilkada 2020: Ditunda, Lalu Bagaimana?” (16/4).

Menurutnya, penggunaan teknologi untuk tahapan Pilkada Serentak 2020 yang tersisa problematik. Pasalnya, tahapan Pilkada di Indonesia dinilai kompleks. Dikhawatirkan, memaksakan tahapan Pilkada berjalan di tengah situasi pemulihan Covid-19 menyebabkan kualitas penyelenggaraan berkurang.

“Konsekuensinya adalah apakah nanti kualitasnya akan maksimal? Kalau kita bicara tahapan penyelenggaraan Pilkada, kan bukan sekadar hari H-nya, bukan sekadar apakah kita menggunakan teknologi, pos, dan lain-lain, tapi ini tahapan yang kompleks,” ujar Khoirunnisa.

Ia juga mengingatkan perihal sengketa proses pemilu dan sengketa administrasi yang membutuhkan waktu cukup untuk penanganan. Jika Pilkada diundur ke 9 Desember, diduga tahapan akan dipadatkan.

“Sementara esensi dari electoral justice adalah mengembalikan hak elektoral pihak-pihak yang terciderai hak-haknya. Nah, apakah bisa dikembalikan kalau waktu penanganan sengketanya singkat?” ujarnya.

Senada dengan Khoirunnisa, Peneliti CSIS, Arya Fernandez juga menilai bahwa tahapan Pilkada 2020 yang dimulai pada bulan Juni nampaknya bukan waktu yang tepat. Yang paling moderat adalah hari pemungutan suara pada Maret 2021.

“Tren menaiknya kasus positif, meluasnya daerah yang terjangkit, dan program-program yang dilakukan, nampaknya belum efektif mengurangi Covid. Maka itu, saya pikir 9 Desember itu tidak mungkin dilakukan. Yang moderat adalah Maret 2021,” tandas Arya.

Arya mengatakan bahwa tolak ukur yang mesti dilihat untuk menentukan dimulainya tahapan Pilkada yakni pertama, penurunan kasus penularan Covid-19. Kedua, perkembangan daerah yang terjangkit Covid-19. Ketiga, jumlah pasien sembuh dari Covid-19.

“Kalau tidak ada perubahan sigifikan, beresiko melaksanakan Pilkada mendatang,” tukasnya.

Arya juga mengkhawatirkan apabila Pilkada dilaksanakan di kondisi Covid-19 yang belum pulih, akan terjadi penurunan partisipasi masyarakat di semua tingkatan. Petahana kepala daerah pun dipandang tak akan fokus pada penanganan Covid-19.

“Ini akan membuat petahanan tidak fokus. Apakah fokus pada pengananan Covid atau ke kampanye. Saya juga khawatir kalau Covid penanganannya lama, pelaksanaan Pilkada buru-buru, yang terjadi adalah tren partisipasi rendah. Partisipasi rendah untuk ikuti kampanye, juga rendah partisipasi di pencoblosan. Kandidat juga takut kampanye tatap langsung,” tutup Arya.