August 8, 2024

Perludem: Kecurangan Pemilu Dapat Diselesaikan dengan Mekanisme Hukum

“Saya katakan, tidak mungkin pemilu tidak ada kecurangan. Tapi, di setiap negara yang menyelenggarakan pemilu secara berkala sebagai negara demokrasi, dimanapun itu, sudah disiapkan mekanisme yang tepat untuk menyalurkan ketidakpuasan terhadap hasil dan proses pemilu,” tegas Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Topo Santoso, pada diskusi “Jelang Penetapan Hasil Pemilu 2019: Menjaga Demokrasi Konstitusional” di Cikini, Jakarta Pusat (20/5).

Topo mengatakan bahwa adanya kecurangan dalam pemilu tak berarti menentukan sebuah pemilu gagal. Pasalnya, di dalam Undang-Undang (UU) Pemilu, terdapat mekanisme hukum yang dapat ditempuh oleh peserta pemilu. Selain itu, tak pernah ada protes dari peserta pemilu terhadap UU Pemilu.

“UU Pemilu itu kan sudah disahkan sejak 2017. Ada waktu dua tahun hingga Pemilu 2019. Tapi peserta tidak pernah protes UU Pemilu. Kalau ada kecurangan kenapa mekanisme begini begitu, tidak ada yang protes. Artinya, sebetulnya kerangka hukum untuk menangani berbagai kecurangan itu sudah disediakan,” jelas Topo.

Jika peserta pemilu memiliki bukti-bukti kecurangan, Topo mendorong agar peserta pemilu mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Membawa pelanggaran pemilu atau kecurangan ke lembaga hukum menunjukkan sistem penegakan hukum pemilu hidup dan berjalan.

“Banyaknya gugatan bukan berarti membuat pemilu menjadi tidak legitimate, justru menjadi penanda vitalitas hukum itu bekerja. Sesuatu yang tidak akan kita dapat pada masa Orde Baru,” tukas Topo.

Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini mendorong elit partai untuk menjaga proses pemilu sesuai dengan konstitusi dan UU Pemilu. Jika pihak yang kalah tak puas dengan rekapitulasi perolehan suara yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), mekanisme hukum sengketa hasil pemilihan umum dapat diajukan kepada MK. Kunci demokrasi konstitusional saat ini berada ditangan elit partai, bukan rakyat. Rakyat telah menjalankan tugasnya dengan memberikan suara pada 17 April 2019 secara damai.

“Menurut saya, bunuh diri kalau MK ditengah situasi seperti saat ini, main mata. Jadi, kunci demokrasi hari ini adalah kemauan elit untuk menghargai suara rakyat dan menghormati cara-cara yang dibenarkan konstitusi. Tidak ke MK tidak apa-apa, tapi artinya menerima. Kalau punya bukti, pergi ke MK. Itu juga cara untuk menghormati suara rakyat. Bawa suara mereka, perjuangkan ke MK,” tegas Titi.

Pasca tahapan Pemilu 2019 usai, Titi mengimbau agar partai politik yang menduduki kursi di parlemen untuk memperbaiki sistem dan penegakan hukum pemilu di dalam UU Pemilu agar segala bentuk kecurangan pemilu dapat dicegah dan diselesaikan dengan baik. Tuduhan bahwa pemilu curang akibat penyelenggara pemilu yang tak netral, serta kasus-kasus pelanggaran pemilu tak dapat ditindak tuntas merupakan dampak dari tak komprehensifnya UU Pemilu.