Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengkhawatirkan Pilkada Serentak yang dilanjutkan pada 15 Juni 2020 dengan hari pemungutan suara 9 Desember. Menurut Perludem, masa persiapan yang sempit dan belum meredanya Coronavirus disease 2019 (Covid-19) mengancam keselamatan jiwa pemilih dan penyelenggara pemilu. Per Kamis (28/5), Komisi Pemilihan Umum (KPU) hanya memiliki 18 hari tersisa sebelum tahapan kembali dimulai.
“Ini jelas keputusan yang sangat mengkhawatirkan. Meskipun sudah dapat diduga dari awal, karena memang pemerintah dan sebagian besar partai politik menginginkan tahapan Pilkada tetap dilanjutkan dan pemungutan suara dilaksanakan pada Desember 2020,” kata Manajer Program Perludem, Fadli Ramadhanil kepada rumahpemilu.org melalui Whats App (28/5).
Dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) hari Rabu (27/5), diputuskan pula penyelenggaraan Pilkada Serentak 2020 mesti dijalankan dengan protokol Covid-19 yang ketat. Pilkada dengan protokol kesehatan tak diatur di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.2/2020. Dengan demikian, tahapan Pilkada secara hukum tetap dijanlankan sesuai dengan peraturan di dalam Undang-Undang (UU) Pilkada, yakni penyelenggaraan Pilkada dengan kondisi normal.
“Pelaksanaan Pilkada 2020 yang akan dilaksanakan di 270 daerah belum memiiki kerangka hukum yang sejalan dengan protokol penanganan Covid-19. Perpu No.2/2020 sama sekali tidak mengatur pelaksanaan Pilkada dengan protokol penanganan Covid-19. Artinya, pelaksanaan Pilkada mesti menggunakan mekanisme normal, sebagaimana diatur di dalam UU Pilkada,” tandas Fadli.
Sebagai konsekuensi penyelenggaraan Pilkada di tengah Covid-19, KPU memerlukan anggaran tambahan sebesar 535 miliar rupiah untuk pengadaan logistik alat pelindung diri (APD), seperti masker, hand sanitizer, sarung tangan plastik sekali pakai, dan alat coblos sekali pakai. Anggaran tersebut akan diajukan kepada Menteri Keuangan.
Jika tahapan dimulai pada 15 Juni, maka pada tanggal tersebut, APD untuk penyelenggara pemilu yang melaksanakan tahapan verifikasi faktual dukungan calon perseorangan dan pemutakhiran data pemilih mesti telah siap digunakan.
“APD dan perangkat kesehatan lainnya akan langsung digunakan dalam lebih kurang 18 hari ke depan. Pertanyaannya, bagaimana mungkin pengadaan APD dan perangkat secara massal, distribusinya ke seluruh daerah pemilihan bisa selesai, sementara uangnya saja baru mulai mau dianggarkan? Sesuatu yang rasanya kurang rasional di dalam persiapan melanjutkan tahapan Pilkada 2020,” ujar Fadli.
Perludem juga mendorong agar proses pengadaan APD dilaksanakan dengan mekanisme yang benar, guna menghindari terjadinya kesalahan pertanggungjawaban keuangan negara. Kasus korupsi pengadaan barang dan jasa pemilu di masa lalu tak boleh terulang.
“Yang terjadi di masa lalu mestinya jadi pembelajaran luar biasa untuk tidak terulang, apalagi di tengah masa pandemi dan krisisi yang tengah kita hadapi,” tutur Fadli.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini meminta agar KPU, Pemerintah dan DPR mengevaluasi kesepakatan RDP tanggal 27 Mei. Keselamatan dan kesehatan masyarakat mesti ditempatkan sebagai prioritas dalam perhelatan Pilkada Serentak 2020. Dari petisi yang diinisiasi oleh Perludem, Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) dan lembaga masyarakat sipil lainnya, 1.378 orang mengingininkan Pilkada ditunda hingga 2021.
” Sudah semestinya suara elit mencerminkan suara dan kepentingan publik secara orisinil. Ini agar praktik demokrasi yang merupakan penghormatan pada martabat manusia melalui penghargaan pada setiap sauara pemilih yang ada, tidak diciderai akibat marabahaya paparan Covid-19 yang mengancam mereka karena penyelenggaraan pilkada yang berlangsung di tengah pandemi,” tutup Titi.